W3vina.COM Free Wordpress Themes Joomla Templates Best Wordpress Themes Premium Wordpress Themes Top Best Wordpress Themes 2012

Tag Archive | "PKI"

Gus Dur sang pejuang toleransi

TAK heran jika Gus Dur melindungi kaum Ahmadiyah yang sering dikejar-kejar dan tak diberi ruang hidup dan berkembang oleh sekelompok masyarakat tertentu yang menginginkan apa yang mereka sebut sebagai ‘pemurnian agama’.

PortalKBR.com
Written by Antonius Eko Mon,29 December 2014 | 13:00

Serial tulisan terkait Gus Dur ini kami turunkan dalam rangka peringatan lima tahun meninggalnya tokoh toleransi Indonesia. Selain tulisan, kami juga menyajikan kutipan-kutipan menarik dari Gus Dur.

 

Abdurrahman Wahid (Gus Dur) dan toleransi adalah dua hal yang tak bisa dipisahkan. Salah tindakannya yang mendukung toleransi di negeri ini adalah membuat Konghucu menjadi sebuah agama yang resmi. Padahal, pada masa Orde Baru, agama yang satu ini dilarang.

Dia memberi ruang hidup yang lebih terhormat bagi kelompok minoritas keturunan Tionghoa untuk menjadi bagian dari bangsa Indonesia.

Tak ada lagi kebingungan di kalangan masyarakat Tionghoa di Indonesia mengenai pilihan antara mengambil pendekatan asimilasi atau integrasi seperti pada era Presiden Soekarno.

Berbagai aksara Tiongkok, yang pada era Presiden Soeharto amat ditabukan kecuali untuk surat kabar Indonesia beraksara Tiongkok, tidak mengalami penghitaman kembali oleh Kejaksaan Agung. Pertunjukan barongsai yang dulu dilarang, pada era Gus Dur juga diperbolehkan dan kelompok kesenian ini pun tumbuh bak jamur di musim hujan.

Agama Konghucu juga berkembang tanpa kekangan. Kebijakan untuk menghapus surat bukti kewarganegaraan Republik Indonesia (SBKRI) bagi orang Indonesia keturunan Tionghoa juga mulai dirintis sejak era Gus Dur.

Tak ada lagi perbedaan pribumi dan nonpribumi, bahkan Gus Dur mengaku, entah benar atau tidak, bahwa ada nenek moyangnya yang berasal dari Tiongkok.

Pada tanggal 10 Maret 2004, beberapa tokoh Tionghoa Semarang memberikan penghargaan KH Abdurrahman Wahid sebagai “Bapak Tionghoa”.

Melindungi minoritas

Gus Dur juga melindungi kelompok minoritas yang menganut agama atau kepercayaan di luar kelompok aliran utama agama-agama besar. Tak heran jika Gus Dur melindungi kaum Ahmadiyah yang sering dikejar-kejar dan tak diberi ruang hidup dan berkembang oleh sekelompok masyarakat tertentu yang menginginkan apa yang mereka sebut sebagai ‘pemurnian agama’.

Dalam banyak hal terkadang Gus Dur memilih bersebrangan dengan umat Islam yang lain. Misalnya ketika ada usulan untuk peraturan yang mewajibkan hukuman mati bagi orang Islam yang murtad, Gus Dur menentangnya. Ia beralasan, hal ini hanya akan mengotori nama Islam.

Dalam bukunya “Islamku, Islam Anda, Islam Kita” (2006), Gus Dur menjadikan pluralisme dan perbedaan sebagai kata kunci. Tulisannya ini berangkat dari perspektif korban, terutama minoritas agama, gender, keyakinan, etnis, warna kulit, posisi sosial.

Menurut Gus Dur ‘Tuhan tak perlu dibela, tapi manusia haruslah dibela’ dan salah satu konsekuensi dari pembelaannya itu adalah kritik dan terkadang harus mengecam jika sudah melewati ambang toleransi.

Gus Dur juga berani menentang sikap sejumlah ulama yang mengharamkan umat Islam memberikan ucapan selamat Natal.

Romo Antonius Benny Susetyo, Pastor dan Aktivis dalam buku berjudul: Damai Bersama Gus Dur, menulis begini: “Di tengah sakit yang mendera pada 25 Desember 2009, seperti biasanya Gus Dur masih menyempatkan diri menelepon untuk mengucapkan “Selamat Natal dan Tahun Baru”, sekaligus menyampaikan salam kepada Romo Kardinal dan teman-teman sejawat lainnya.”

Cerita Romo Benny itu cukup menggambarkan betapa Gus Dur masih teguh memegang prinsip toleransi antar umat beragama di negeri yang majemuk ini.

Satu hal yang juga kontroversial, Gus Dur bahkan menjadi anggota masyarakat epistemik agama Yahudi. Bagi Gus Dur, mereka yang menganut agama samawi keturunan Nabi Ibrahim adalah bersaudara. Ini sesuai dengan rukun iman dalam Islam yang mengakui kitab-kitab Allah dari Taurat, Zabur, Injil sampai Alquran.

Ini juga sesuai dengan makna surat Al-Kafirun, ”Bagimu agamamu, bagiku agamaku” tanpa harus menyebut mereka yang tak menganut Islam sebagai ‘kafir’.

Selain berani membela hak minoritas, Gus Dur juga merupakan pemimpin tertinggi Indonesia pertama yang menyatakan permintaan maaf kepada para keluarga PKI yang mati dan disiksa (antara 500.000 hingga 800.000 jiwa) dalam gerakan pembersihan PKI oleh pemerintahan Orde Baru.

Menjaga NKRI

Setelah jatuhnya rezim Soeharto, Indonesia mengalami ancaman disintegrasi kedaulatan Negara, konflik pun meletus di berbagai daerah. Menghadapi hal itu, Gus Dur melakukan pendekatan yang lunak terhadap daerah-daerah yang berkecamuk.

Gus Dur mengeluarkan kebijakan untuk mengganti nama Provinsi Irian Jaya menjadi Provinsi Papua pada tahun 2000 dan menyebut orang Irian sebagai orang Papua. Dia juga memberi bantuan dana bagi tokoh-tokoh masyarakat Papua untuk menggelar Kongres Nasional Rakyat Papua II pada Maret 2000. Kongres itu kemudian menetapkan berdirinya Presidium Dewan Papua yang dipimpin oleh dua tokoh Papua,Theys Hiyo Eluay asal Sentani dan Tom Beanal asal Pegunungan Tengah.

Tak cuma itu, Gus Dur bahkan memperbolehkan berkibarnya bendera Bintang Kejora sebagai simbol adat Papua bersama Sang Saka Merah Putih sebagai bendera negara. Bahkan lagu “Hai Tanahku Papua” pun boleh didendangkan setelah lagu kebangsaan Indonesia Raya.

Gus Dur menjadi pemimpin yang meletakan pondasi perdamaian Aceh. Pada masa pemerintahan Gus Dur lah terjadi pembicaraan damai antara Gerakan Aceh Merdeka (GAM). Meski sejumlah tokoh nasional mengecam pendekatannya dengan Aceh, Gus Dur tetap memilih pendekatan penyelesaian yang simpatik dengan mengajak tokoh GAM duduk satu meja untuk membicarakan Aceh secara damai.

Pada Maret tahun 2000, pemerintahan Gus Dur mulai melakukan negosiasi dengan GAM. Hasilnya, dua bulan kemudian pemerintah menandatangani kesepahaman dengan GAM.

Posted in Nasional, PerspektifComments (0)

‘Senyap’ screened at IAIN Gorontalo

The film screening was the second in the city as Gorontalo’s Independent Journalists Alliance screened the film at its office on Dec. 11, which was attended by people from minority groups, such as lesbian, gay, bisexual and transgender people and members from Ahmadiyah Muslim groups.

The Jakarta Post, Gorontalo | Archipelago | Wed, December 24 2014, 7:46 AM

Banned in several places in Yogyakarta and other cities, the Senyap (Look of the Silence) film directed by filmmaker Joshua Oppenheimer was screened on Monday night at the State Academy of Islamic Studies (IAIN) in Gorontalo.

Organized by IAIN’s Sulampala Scout Movement, the film screening attracted dozens of spectators, including Miss Gorontalo Siti Nuzlan Rahman and student activists from the Association of Islamic Students (HMI) and the Indonesian Islamic Students Movement (PMII).

The Scout’s chairman Wahyudin Alif Gobel admitted that he was once afraid that he would receive threats and intimidation due to the planned screening, which tells of the bloody tragedy in 1965 that claimed hundreds of thousands of supporters of the Indonesia Communist Party (PKI), as had happened in other cities.

“Thank God, after we explained the film and the need for the young generation to know their history, the campus allowed us to go ahead as planned,” Wahyudin said.

The film screening was the second in the city as Gorontalo’s Independent Journalists Alliance screened the film at its office on Dec. 11, which was attended by people from minority groups, such as lesbian, gay, bisexual and transgender people and members from Ahmadiyah Muslim groups.

Posted in Nasional, PerspektifComments (0)

Kolom agama dalam perspektif HAM

Kompas.com

Malah, tak sedikit yang dibunuh dan diusir. Warga Ahmadiyah dan Syiah mengalami hal itu sampai hari ini. Kita telah membuat diskriminasi dan segregasi!

Kamis, 27 November 2014 | 14:22 WIB

Oleh: Todung Mulya Lubis

KOMPAS.com – NANI Maryani Ramli, seorang perempuan, pada 1956 memiliki surat keterangan penduduk (belum disebut kartu tanda penduduk atau KTP) untuk Daerah Kota Praja Jakarta Raya. Di sana tak tersua kolom agama.

Yang ada hanya kolom nama, jenis kelamin, bangsa (suku), umur (tanggal kelahiran), tempat kelahiran, pekerjaan, dan alamat. Sama sekali tak ada kolom agama. KTP perempuan tersebut dikeluarkan Lurah Petojo dengan stempel kelurahan.

Di Surabaya pada 1958, Soemiati mendapat kartu penduduk warga negara Indonesia yang kolom-kolomnya lebih kurang sama: tak juga memiliki kolom agama. Saat itu tiada yang mempertanyakan mengapa tidak ada kolom agama sebab agama diper- lakukan sebagai kawasan pribadi, dalam arti: merupakan urusan manusia bersangkutan. Negara tak perlu tahu agama apa yang dianut seseorang.

Konsep kewargaan

Kolom agama kala itu tak ada karena, meski dalam jagat politik Indonesia, partai-partai Islam sangat kuat (Masyumi, NU, PSII, Persis, dan lain-lain). Banyak juga partai beraliran nasionalis, sosialis, dan komunis (PNI, PSI, PKI, Murba, dan lain-lain). Apakah tidak adanya kolom agama karena kesepahaman para pemimpin negeri yang menganggap agama bukan urusan negara? Atau, tak adanya kolom agama itu dikarenakan kompromi politik antarsemua kekuatan politik?

Tak ada yang bisa menjawab pasti. Namun, kita bisa berspekulasi bahwa pada zaman yang banyak diasosiasikan sebagai zaman liberal itu, turunannya adalah bahwa konsep kewargaan lebih diutamakan. Yang terpenting apakah seseorang itu warga negara atau bukan. Seorang warga negara bebas memeluk agama atau kepercayaan atau tak beragama sama sekali. Biarlah urusan agama itu terpulang kepada manusia bersangkutan. Nyatanya, pabrik masyarakat kita tetap kukuh meski isinya kumpulan manusia dari beragam agama dan ideologi politik. Negeri ini tetap utuh. Kohesi sosial terjaga.

Kapan isu agama muncul dalam kebijakan pemerintah? Pada 1965, melalui UU No 1/PNPS/1965 tentang Penyalahgunaan dan Penodaan Agama, disebutkan dalam penjelasannya bahwa agama yang dipeluk penduduk di Indonesia adalah Islam, Kristen, Katolik, Hindu, Buddha, dan Konghucu. Tak salah apabila orang menafsirkan, adanya pengakuan negara terhadap agama tertentu ini dipicu juga oleh ketakutan atas bahaya komunisme yang dianggap tak beragama.

Tuduhan kudeta oleh PKI saat itu membuat mutlaknya seseorang memiliki agama jadi penting. Mereka yang tak beragama akan mudah sekali dituduh sebagai komunis dan ditangkap atau hilang. Pertanyaannya: bagaimana dengan agama lainnya, seperti Ahmadiyah, Bahai, Yahudi, dan semua aliran kepercayaan?

Di sinilah diskriminasi itu bermula. Orang Tionghoa sejak 1967 dilarang melaksanakan upacara agama mereka secara terbuka. Lebih jauh dalam KTP tak boleh ada agama Konghucu dan orang Tionghoa harus menggunakan nama Indonesia, bukan nama Tionghoa. Mereka kehilangan hak-hak sipil mereka. Bayangkan, bagaimana nasib penganut agama dan kepercayaan lainnya?

Pengukuhan keberadaan agama yang diakui negara kembali dilakukan melalui Instruksi Presiden Nomor 1470 Tahun 1978 yang ditegaskan Surat Edaran Mendagri No 477/1978 yang intinya hanya mengakui lima agama: Islam, Kristen Katolik, Kristen Protestan, Hindu, dan Buddha. Selanjutnya, dalam Tap MPR No II/MPR/1998 dikatakan bahwa penganut kepercayaan tak boleh mengarah pada pembentukan agama baru dan sedapat mungkin diarahkan bergabung dengan salah satu agama yang diakui negara. Tiada tempat buat agama lain dan kepercayaan.

Baru pada 2000, 35 tahun kemudian, ketika Gus Dur menjadi Presiden, keluar Keppres No 6/2000 yang mengatakan bahwa upacara keagamaan penganut Konghucu bisa dilaksanakan secara terbuka tanpa memerlukan izin. Inilah salah satu produk reformasi yang penting. Sepertinya iklim kebebasan beragama sudah mulai tumbuh dan Presiden Gus Dur yang sangat pro kemajemukan memang memberi angin segar untuk tumbuhnya masyarakat yang pluralistis.

Namun, dalam praktik, iklim masyarakat yang pluralistis itu tidak sepenuhnya mulus. Dalam kartu identitas penduduk atau KTP, misalnya, dalam kolom agama, pemilik KTP tersebut harus mencantumkan agamanya dan agama tersebut harus salah satu dari agama yang diakui. Seorang penganut agama Bahai mengeluhkan bahwa dia tak boleh mencantumkan agama Bahai di kolom agama di KTP-nya. Dia harus menulis salah satu agama yang diakui oleh negara untuk memperoleh KTP itu.

Semua ini mempunyai dampak turunan: kesulitan mengurus dan mencatatkan perkawinan, kesulitan mendapatkan akta kelahiran anak, memperoleh pekerjaan, dan sebagainya. Diskriminasi disyahkan. Akibatnya, banyak orang yang memilih tidak mempunyai KTP. Lebih jauh, dalam masyarakat mereka, yang bukan berasal dari agama yang diakui akan dituduh sebagai tak beragama atau mengikuti aliran agama sesat.

Kebebasan beragama

Meski Reformasi sudah mulai sejak 1998 dan Indonesia memiliki jaminan hak asasi yang kuat untuk menjalankan agama dan keyakinannya, baik itu atas dasar UUD 1945 maupun Kovenan Hak Sipil dan Politik, persoalan kebebasan beragama ini tak mendapat jaminan. Banyak kasus ketika penganut agama minoritas dan agama yang tak diakui negara mengalami intimidasi, teror, dan kesulitan menjalankan agama mereka. Malah, tak sedikit yang dibunuh dan diusir. Warga Ahmadiyah dan Syiah mengalami hal itu sampai hari ini. Kita telah membuat diskriminasi dan segregasi!

Ihwal kolom agama yang harus diisi dengan agama yang diakui hanya satu soal, tetapi ini soal yang sangat mengganggu dan menghambat banyak orang yang mencari pekerjaan, mendapatkan pelayanan pemerintah, dan sebagainya. UU No 23/2006 tentang Administrasi Kependudukan sepertinya memberi jalan keluar dengan membolehkan kolom agama tak diisi dan mereka tetap bisa memperoleh KTP dan data mereka dicatat dalam database kependudukan.

Namun, dalam praktik, kolom agama itu dipaksakan diisi. Sedi- kit yang berani melawan. Syukur- lah, Menteri Dalam Negeri Tjahjo Kumolo membikin gebrakan dengan mengatakan bahwa kolom agama itu tidak perlu diisi. Mendagri memulihkan kembali hak warga negara memilih agama mereka dan tak perlu mencatatkannya dalam dokumen apa pun, termasuk KTP.

Langkah Mendagri ini terbilang maju walau seyogianya Mendagri harus melangkah selangkah lagi: menghapus saja kolom agama pada KTP. Harus diakui bahwa pencantuman kolom agama ini sangat mungkin menjadi sumber diskriminasi, dan sebagai negara yang mengakui semua warga negara bersamaan kedudukannya dalam hukum, merupakan kewajiban kita menghilangkan semua peluang terjadinya diskriminasi.

Seandainya secara statistik negara memerlukan data mengenai jumlah penganut setiap agama, data itu bisa diperoleh melalui berbagai survei dan sensus yang secara berkala dilaksanakan.

Perihal kolom agama ini tak perlu diperdebatkan terlalu panjang. Kebanyakan negara di dunia, termasuk negara tetangga dan negara Timur Tengah, tidak punya kolom agama dalam KTP mereka. Kebijakan tentang KTP tanpa kolom agama bukanlah sesuatu yang ahistoris.

Todung Mulya Lubis
Ketua Dewan Pendiri Imparsial

Posted in Kemanusiaan, Nasional, PerspektifComments (0)

@WartaAhmadiyah

Tweets by @WartaAhmadiyah

http://www.youtube.com/user/AhmadiyahID

Kanal Youtube

 

Tautan Lain


alislam


 
alislam


 
alislam


 
alislam

Jadwal Sholat

shared on wplocker.com