W3vina.COM Free Wordpress Themes Joomla Templates Best Wordpress Themes Premium Wordpress Themes Top Best Wordpress Themes 2012

Tag Archive | "CNN Indonesia"

Diskusi Publik; Kasus intoleransi beragama bahayakan psikologis anak

PEMANTAUAN dilakukan dengan wawancara dan diskusi kelompok terfokus bersama 407 narasumber yang terdiri dari 326 korban, 48 aparat negara, 9 pelaku intoleran, dan 24 anggota organisasi masyarakat. Kasus utama yang diangkat menjadi potret umum adalah kasus Ahmadiyah, GKI Yasmin, HKBP Cikeuting, HKBP Filadelfia, Syiah dan Baha’i.

Hanna Azarya Samosir, CNN Indonesia
Selasa, 23 Desember 2014; 05:51 WIB

Jakarta, CNN Indonesia — Korban intoleransi beragama yang terjadi di Indonesia dipastikan bukan hanya berasal dari kalangan dewasa, namun juga anak-anak. Komisioner Komisi Perlindungan Anak Indonesia, Maria Aviati, menilai anak-anak lebih rentan menjadi korban secara psikis kasus-kasus intoleransi tersebut.

Menurut Maria, kondisi seorang anak sangat terkait dengan orang tuanya. Ketika orang tuanya mendapat perlakuan intoleran, anak-anak akan dengan mudah merasa gamang.

“Mereka akan bertanya mengapa ia tidak boleh beribadah. Mereka akan bingung mengapa mau beribadah harus melalui proses sulit,” ujar Maria dalam diskusi publik di Hotel Bidakara, Jakarta, Senin (22/13).

Tidak hanya itu, perlakuan kasar dan dikucilkan dari lingkungan tumbuh kembang yang rentan terjadi akibat intoleransi, dikatakan Maria, dapat menimbulkan kekhawatiran baru. Dia menyebutkan, dampak dari intoleran sangat mungkin membuat anak-anak kelak menganggap bahwa kekerasan dan kebencian adalah hal yang biasa.

Berkaitan dengan pernyataan Maria, Ketua Pelapor Khusus Kebebasan Beragama Komisi Nasional Perempuan, Sinta Nuriyah Wahid, menganggap pendidikan anak merupakan tanggung jawab perempuan sebagai ibu.

“Ketakutan perempuan (dalam kasus intoleransi) lebih besar. Tidak hanya dirinya, tapi juga anaknya. Mungkin buat laki-laki tidak terpikirkan sejauh itu, tapi ibu punya tanggung jawab moral,” tuturnya.

Melihat dampak besar dari kondisi ini, Maria meminta pemerintah untuk mendengarkan keluhan masyarakat tanpa pandang bulu. “Jangan seperti selama ini. Kalau yang menyampaikan pihak yang dipandang, baru direspons. Kalau masyarakat biasa, menguap begitu saja,” tutur Maria.

Semua ini, menurut Maria, tidak sesuai dengan Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak. Dalam Pasal 21 dikatakan bahwa Negara, Pemerintah, dan Pemerintah Daerah berkewajiban dan bertanggung jawab menghormati pemenuhan hak anak tanpa membedakan suku, agama, ras, golongan, jenis kelamin, etnik, budaya, dan bahasa, serta status hukum, urutan kelahiran, dan kondisi fisik dan mental.

Dalam acara ini, Sinta memaparkan hasil pantauan intoleransi beragama di 40 kota/kabupaten di 12 provinsi sejak Juni 2012 sampai Juni 2013. Pemantauan dilakukan dengan wawancara dan diskusi kelompok terfokus bersama 407 narasumber yang terdiri dari 326 korban, 48 aparat negara, 9 pelaku intoleran, dan 24 anggota organisasi masyarakat. Kasus utama yang diangkat menjadi potret umum adalah kasus Ahmadiyah, GKI Yasmin, HKBP Cikeuting, HKBP Filadelfia, Syiah dan Baha’i.

(meg)

Posted in Nasional, Persekusi, PerspektifComments (0)

Kasus Intoleransi Beragama;Sinta Nuriyah: Perempuan Pikul Beban Lebih Berat

image

Senin, 22/12/2014 15:29
Reporter: Hanna Samosir, CNN Indonesia

GAMBAR (ilustrasi): Sejumlah perempuan warga negara Indonesia (WNI) korban sindikat perdagangan manusia tiba di Bareskrim Mabes Polri, Jakarta, Rabu, 3 Desember 2014. Mereka diduga akan disalurkan ke beberapa negara di Timur Tengah. CNN Indonesia/Safir Makki

Jakarta, CNN Indonesia – Intoleransi beragama di Indonesia seolah masih terus menjadi bara api yang membakar banyak korban. Ketua Pelapor Khusus Kebebasan Beragama Komisi Nasional Perempuan, Sinta Nuriyah Wahid, menganggap bahwa perempuan sebagai korban memikul beban yang lebih berat.

Di awal penjelasannya, istri dari mendiang Presiden RI ke-4 Abdurrahman Wahid (Gus Dur) ini menyayangkan masyarakat yang kurang memerhatikan peran sentral perempuan dalam komunitas minoritas. Padahal, menurutnya perempuan justru menanggung beban yang lebih berat.

“Perempuan mengalami beberapa bentuk kekerasan, tidak hanya psikis, fisik, ekonomi, tapi juga seksual,” ujar Sinta dalam diskusi publik yang diselenggarakan di Jakarta, Senin (22/12).

Beban fisik, menurut Sinta, masih dapat dialami oleh pria. Namun, beban psikis dan seksual lebih berat dipikul oleh kamu perempuan.

“Ketakutan lebih besar. Tidak hanya dirinya, tapi juga anaknya. Mungkin buat laki-laki tidak terpikirkan sejauh itu,” katanya. Sinta menuturkan perempuan memiliki kewajiban moral untuk tetap mendidik anaknya tidak membenci pihak mayoritas.

Tak hanya itu, Sinta melihat bahwa para ibu memiliki tanggung jawab sendiri untuk memelihara perdamaian di lingkungan sekitar.

Lebih jauh lagi, dalam kasus Ahmadiyah dan Syiah di Sampang, Sinta menemukan banyak perempuan diancam akan diceraikan. “Itu akan menjadi beban moral, bagaimana ia menjadi janda,” tuturnya.

Selain itu, perempuan juga kerap mendapatkan diskriminasi. Hal pertama yang disorot adalah masalah pembedaan layanan kesehatan. “Dalam kasus Ahmadiyah, Baha’i, dan Syiah, banyak perempuan hamil digalangi untuk mendapatkan pelayanan yang baik,” papar Sinta.

Hambatan dalam proses pencatatan Akta Pernikahan juga dianggap sangat memberatkan perempuan. “Kalau itu lama dikeluarkan, akan ada stigma masyarakat bahwa dia perawan tua. Keterlambatan hamil juga berisiko besar bagi wanita,” kata Sinta.

Yang tak kalah penting, menurut Sinta, adalah pencerabutan sumber nafkah bagi perempuan kaum minoritas. Sering kali, perempuan yang suaminya menjadi korban pengeroyokan seperti dalam kasus Ahmadiyah mendapatkan diskriminasi dari tempat kerja. “Saat mencari kerja, orang akan menganggap ia berasal dari kelompok yang tidak sepatutnya mendapatkan hak seperti orang lain,” tutur Sinta.

Di akhir pemaparannya, Sinta berkata, “Semoga bara ini tidak membakar hangus, tapi bisa untuk membakar jagung.”

Menguatkan laporan Sinta, Wakil Ketua Komnas Perempuan Masrucha juga menilai perempuan menanggung beban yang sangat berat. “Beban fisik masih bisa ditahan, beban moral dan psikis adalah dua beban berat bagi peerempuan,” ujar Masrucha pada di acara yang sama.

Semua hal tersebut merupakan bagian dari hasil pemantauan Komnas Perempuan di 40 kota/kabupaten di 12 provinsi sejak Juni 2012 sampai Juni 2013. Pemantauan dilakukan dengan wawancara dan diskusi kelompok terfokus bersama 407 narasumber yang terdiri dari 326 korban, 48 aparat negara, 9 pelaku intoleran, dan 24 anggota organisasi masyarakat. Kasus utama yang diangkat menjadi potret umum adalah kasus Ahmadiyah, GKI Yasmin, HKBP Cikeuting, HKBP Filadelfia, Syiah, dan Baha’i.

Posted in Nasional, PerspektifComments (0)

LAPORAN AKHIR TAHUN KOMNAS HAM: Pelanggaran Kasus Kebebasan Beragama Melonjak

Nasional
Selasa, 23/12/2014 15:43

Reporter: Yohannie Linggasari, CNN Indonesia

image

GAMBAR: Ketua Komnas HAM Hafid Abbas (tengah) bersama Komisioner Komnas HAM Siane Indriani (kiri) dan Ansori Sinungan (kanan) saat memaparkan hasil temuan kasus bentrokan antara oknum TNI-Polri Batam, Jakarta, Jumat (21/11). ANTARA FOTO/Yudhi Mahatma

Jakarta, CNN Indonesia – Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) menyatakan adanya penambahan pengaduan masyarakat terkait tindakan pelanggaran kebebasan beragama/ berkeyakinan di tahun ini. 

Apabila pada 2013 jumlah pengaduan yang diterima Komnas HAM berjumlah 39 berkas, pada 2014 meningkat menjadi 67 berkas.

Ada tiga kategori tema pengaduan kebebasan beragama/berkeyakinan yang dilaporkan pada 2014 ini. Pertama, tindakan penyegelan, perusakan, atau penghalangan pendirian rumah ibadah yang berjumlah 30 berkas.

Kedua, diskriminasi, pengancaman, dan kekerasan terhadap pemeluk agama dan keyakinan tertentu sebanyak 22 berkas. Ketiga, penghalangan terhadap ritual pelaksanaan ibadah sebanyak 15 berkas. 

Dari pantauan Komnas HAM selama satu tahun terakhir, kasus-kasus terkait rumah ibadah cenderung meningkat. “Pelanggaran kebebasan beragama/berkeyakinan dalam bentuk penutupan, perusakan, penyegelan, atau pelarangan rumah ibadah merupakan isu menonjol,” kata Komisioner Komnas HAM Imdadun Rahmat saat konferensi pers di Kantor Komnas HAM, Jakarta, Selasa (23/12).

Komnas HAM menilai peningkatan kasus-kasus terkait pendirian rumah ibadah terjadi karena lemahnya penegakan hukum di lapangan. Selain itu, juga disebabkan tidak efektifnya regulasi yang mengatur pendirian rumah ibadah. 

“Keberadaan Peraturan Bersama Menteri Nomor 9 dan 8 Tahun 2006 tidak diimplementasikan secara konsisten di lapangan. Meskipun beberapa rumah ibadah sudah memenuhi ketentuan di PBM, namun rumah ibadah tetap tidak bisa didirikan,” katanya.

Komnas HAM menemukan keberadaan PBM justru membatasi kebebasan mendirikan rumah ibadah itu sendiri. PBM juga dinilai menjadi landasan pikir dan tindakan aparat negara melakukan tindakan diskriminasi dan tindakan pelanggaran HAM. 

Beberapa kasus pengabaian pemerintah dalam menyelesaikan kasus-kasus lama pelanggaran kebebasan beragama/berkeyakinan, di antaranya: pengabaian penyelesaian pembangunan Masjid Nur Musafir di Batuplat, Kupang, Nusa Tenggara Timur, pengabaian penyelesaian pembangunan gereja HKBP Filadelfia, Bekasi, Jawa Barat, serta pengabaian penyelesaian pemulangan warga Ahmadiyah Lombok dari tempat pengungsian Mataram, Nusa Tenggara Barat. 

Selain itu, ada pula kasus pengabaian penyelesaian pembangunan musala Asyafiiyyah, Denpasar, Bali, GKI Taman Yasmin Bogor, dan pengabaian penyelesaian pemulangan pengungsi warga Syiah Sampang dari tempat pengungsian di Surabaya, Jawa Timur.

Keberadaan kebijakan diskriminatif juga dinilai menjadi penyebab tingginya tindak pelanggaran kebebasan beragama/berkeyakinan, yaitu Penetapan Presiden RI Nomor 1/PNSP/1965 tentang Pencegahan Penyalahdayagunaan dan/atau Penodaan Agama. 

Selain itu, juga Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan dan Keputusan Bersama Menteri Agama, Jaksa Agung, dan Menteri Dalam Negeri RI Nomor 3 Tahun 2008.

“Kami telah merekomendasikan untuk mengkaji ulang peraturan yang tergolong diskriminatif ini,” kata Imdadun. Sejumlah rekomendasi juga telah disampaikan Komnas HAM ke aparat negara, tetapi belum mendapatkan respons.

Posted in Persekusi, PerspektifComments (0)

Tak ada kepastian hukum bikin warga Ahmadiyah cemas

Tri Wahyuni, CNN Indonesia | Selasa, 09/12/2014 05:40 WIB

Jakarta, CNN Indonesia — Pengungsi jemaat Ahmadiyah hingga kini masih mengalami diskriminasi. Hal itu juga didukung dengan lemahnya perlindungan hukum bagi kelompok minoritas tersebut.

Wakil Ketua Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) Lili Pintauli Siregar mengatakan jemaat Ahmadiyah mengalami banyak persoalan terkait penyelesaian hukum.

“Ketidakjelasan status penyelesaian hukum terkait penyerangan, pengusiran dan acaman tidak juga didapatkan jemaat,” kata Lili dalam Peluncuran Laporan Tim Gabungan Advokasi Untuk Pemulihan Hak-Hak Pengungsi Ahmadiyah di Nusa Tenggara Barat (NTB) di Gedung Ombudsman RI, Senin (8/12).

Lili mengatakan proses penegakkan hukum atas persoalan yang dialami kelompok minoritas Ahmadiyah mandeg. Selain itu, tidak ditemukan petugas yang biasanya mendampingi persoalan hukum jemaat Ahmadiyah.

Dia juga menilai aparat penegak hukum tidak serius dalam menangani dan menuntaskan laporan yang dialami jemaat Ahmadiyah. Hal tersebut berdampak secara signifikan terhadap jaminan perlindungan hukum.

Tidak adanya kepastian hukum, kata Lili, menimbulkan kekhawatiran terus menerus pada warga Ahmadiyah. Paslanya, setiap tahun terjadi penyerangan secara berulang.

“Hal ini juga bisa merusak citra penegak hukum karena masyarakat jadi apatis,” ujar dia.

Pihaknya kemudian mengharapkan agar kepolisian daerah NTB bisa memberikan kepastian hukum atas penyerangan yang dialami jemaat Ahmadiyah serta memberikan perlindungan hukum agar warga bisa memiliki rasa aman.

Berbicara dalam kesempatan yang sama, anggota Ombudsman Bidang Penyelesaian Laporan dan Pengaduan, Budi Santoso, membenarkan adanya kelambanan dalam proses hukum terhadap kelompok intoleran.

“Ombudsman akan mendorong terciptanya penegakkan hukum termasuk pemenuhan kebutuhan hak dasar dan akses atas keadilan,” ujar dia.

Lebih jauh lagi, Budi mengatakan penyebab dari mandegnya proses hukum adalah akibat pola pikir penegak hukum yang menganggap aliran Ahmadiyah itu sesat.

“Padahal menentukan sesat atau tidak sesat bukan domain penegak hukum. Akhirnya mereka jadi semena-mena,” kata dia.

Berdasarkan penelusuran tim Gabungan Advokasi, ditemukan beberapa catatan diskriminasi terhadap pengungsi jemaat Ahmadiyah yang perlu mendapatkan perhatian serius pemerintah, diantaranya gugatan status hukum pernikahan terhadap perempuan yang menikah dengan orang non-Ahmadiyah, ancaman perkosaan dan pelecehan seksual, penyerangan dan pengusiran, serta sulitnya mengurus Kartu Tanda Penduduk, akta nikah, kartu keluarga hingga pembedaan rapor siswa warga Ahmadiyah.

Hingga kini, tercatat jumlah pengungsi Ahmadiyah di Nusa Tenggara Barat mencapai 200 pengungsi atau 42 Kepala Keluarga yang terpencar di daerah Transito dan Praya.

(utd/sip)

Posted in Nasional, Persekusi, PerspektifComments (0)

Kebebasan Beragama; Anak Ahmadiyah di NTB diperlakukan diskriminatif

Tri Wahyuni, CNN Indonesia | Selasa, 09/12/2014 06:45 WIB

Jakarta, CNN Indonesia — Konflik Ahmadiyah di sejumlah wilayah menyisakan persoalan. Salah satu permasalahan yang muncul dalam konflik Ahmadiyah di Nusa Tenggara Barat (NTB) adalah hak anak yang tidak terpenuhi.

Komisioner Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) Bidang Sosial dan Bencana Maria Ulfah menyatakan, ketika orang tua tidak mendapat kenyamanan dan pemenuhan hak asasinya, saat itu pemenuhan hak anak ikut terganggu.

“Kalau orang tua tidak dapat surat nikah, anak juga terhambat dalam mendapatkan akta kelahiran,” kata Maria dalam Peluncuran Laporan Tim Gabungan Advokasi Untuk Pemulihan Hak-Hak Pengungsi Ahmadiyah di NTB, di Gedung Ombudsman, Senin (8/12).

Menurut Maria, tidak memiliki akta kelahiran akan berdampak terhadap pemenuhan pendidikan dan hak anak yang lain.

Berdasarkan hasil temuan Tim Gabungan Advokasi, sejumlah anak di pengungsian Transito mengalami hambatan persyaratan masuk sekolah. Mereka menerima perlakuan berbeda ketika akan masuk sekolah.

Di Sekolah Dasar Negeri 42 Mataram, terdapat 10 anak yang pada saat pembagian rapot mendapati tulisan ‘Rapot Anak Ahmadiyah’. Ketika ujian mereka menerima jadwal yang berbeda dengan siswa lain, yaitu harus menjalankan ujian enam mata pelajaran dalam waktu satu hari.

Perlakuan diskriminatif tersebut tak lagi terjadi ketika Tim Advokasi melakukan pendampingan.

Tidak hanya oleh sekolah, diskriminasi juga dilakukan guru dan teman mereka. Seorang guru agama menanyai mereka siapa nabi terakhir, apakah mereka bisa bersyahadat, ditanya kitab Tadzkirah, dan dites membaca Al-quran.

Terkait temuan tersebut, KPAI menilai telah terjadi pelanggaran yang dilakukan aparat dan negara terkait pemenuhan hak asasi. Situasi itu mangarah pada pelanggaran terhadap hak konstitusi yang dilakukan secara sistemik.

“Padahal konstitusi itu tidak punya agama dan keyakinan,” ujar Maria.

Untuk itu, KPAI mengajukan rekomendasi kepada pemerintah terkait persoalan intoleransi. “Kami mendorong pemerintah agar masalah intoleransi dan dampaknya menjadi agenda prioritas. Sembilan tahun di pengungsian sudah terlalu lama,” kata Maria. (rdk)

Posted in Nasional, Persekusi, PerspektifComments (0)

Pengungsi Ahmadiyah; Ombudsman: Jokowi mesti contoh Gus Dur dalam kasus Ahmadiyah

Home / Nasional / Berita Peristiwa
Tri Wahyuni, CNN Indonesia | Senin, 08/12/2014 14:15 WIB

Jakarta, CNN Indonesia — Ombudsman Republik Indonesia (ORI) meminta Presiden Joko Widodo untuk menyelesaikan persoalan pengungsi jemaat Ahmadiyah. ORI menilai selama ini penanganan pengungsi Ahmadiyah masih jauh dari visi misi Nawa Cita Jokowi.

Anggota Ombudsman Bidang penyelesaian Laporan dan Pengaduan, Budi Santoso, mengatakan Jokowi perlu membuktikan Revolusi Mental yang digembar-gemborkan selama masa kampanye untuk menyelesaikan persoalan Ahmadiyah.

“Kalau dilihat Nawa Cita itu keinginan kuat bahwa negara harus hadir di semua persoalan masyarakat,” katanya dalam Peluncuran Laporan Tim Gabungan Advokasi Untuk Pemulihan Hak-Hak Pengungsi Ahmadiyah di Nusa Tenggara Barat (NTB) di Gedung Ombudsman, Jakarta, Senin (8/12).

Dalam persoalan Ahmadiyah, Budi melihat absennya peran negara sehingga nasib jemaat masih jauh dari ideal untuk menjalani kehidupan secara normal. Hal tersebut, katanya, terutama pemenuhan hak dasar seperti administrasi kependudukan untuk akses pendidikan.

Sejauh ini, pihaknya telah berupaya memberikan pemenuhan hak dasar tersebut. Namun, hal itu dinilai belum cukup. Budi berharap negara bisa hadir di tengah pengungsi Ahmadiyah untuk mengupayakan hak dasar memeluk keyakinan yang dipilih.

Lebih jauh lagi, Budi menilai persoalan intoleransi merupakan persoalan yang mesti diselesaikan oleh negara. “Mudah-mudahan dalam persoalan Ahmadiyah Jokowi bisa meniru sikap Gusdur yang jelas dan tegas keberpihakan pada minoritas, suku dan agama,” ujar dia.

Tim Gabungan Advokasi terdiri atas beberapa lembaga penggiat Hak Asasi Manusia (HAM) dan keadilan sosial seperti Komnas HAM, Komisi Nasional Anti Kekerasan Terhadap Perempuan (Komnas Perempuan), Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI), Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) dan Ombudsman RI. “Kami mendesak Presiden Jokowi menjadikan isu perlindungan hak atas kebebasan beragam dan berkeyakinan sebagai agenda prioritas,” ujar dia.

Sementara itu, Jayadi Damanik dari Komnas HAM mengatakan hingga saat ini perilaku diskriminasi terhadap pengungsi jemaat Ahmadiyah di NTB meningkat. Perilaku diskriminatif tersebut dilakukan mulai dari pejabat publik hingga aparat kepolisian. “Saya melihat dan mendengar sendiri pejabat pemerintahan di sana berkata,’Agama saya Islam. Bagi saya Ahmadiyah itu sesat,” kata dia mengutip pernyataan pejabat bersangkutan.

Berdasarkan penelusuran tim Gabungan Advokasi, ditemukan beberapa catatan diskriminasi terhadap pengungsi jemaat Ahmadiyah yang perlu mendapatkan perhatian serius pemerintah, diantaranya gugatan status hukum pernikahan terhadap perempuan yang menikah dengan orang non-Ahmadiyah, ancaman perkosaan dan pelecehan seksual, penyerangan dan pengusiran, serta sulitnya mengurus Kartu Tanda Penduduk, akta nikah, kartu keluarga hingga pembedaan rapor siswa warga Ahmadiyah.

Hingga kini, tercatat jumlah pengungsi Ahmadiyah di Nusa Tenggara Barat mencapai 200 pengungsi atau 42 Kepala Keluarga yang terpencar di daerah Transito dan Praya. (utd/sip)

Posted in Nasional, PerspektifComments (0)

Kekerasan agama; Pemerintah didesak bereskan masalah Ahmadiyah

Jakarta, CNN Indonesia — Isu Intoleransi terhadap penganut Ahmadiyah sampai saat ini belum juga menemukan titik terang. Pemerintah dan lembaga-lembaga penegak hukum dituntut untuk segera memberikan jalan keluar bagi kelompok agama minoritas ini.

“Coba anda kaji sejarahnya. Ahmadiyah itu sudah ada di Indonesia sejak 1925 dan mereka sama-sama berdarah berjuang dengan kita merebut kemerdekaan. Mengapa tiba-tiba disebut sesat?” kata Sekretaris Jenderal Aliansi Nasional Bhinneka Tunggal Ika, Nia Sjarifudin, dalam diskusi memperingati Hari Toleransi Internasional, di Jakarta, Senin (17/11).

“Negara mana yang punya pengungsi sampai sembilan tahun? Hanya di Indonesia. Apa kita bangga?” kata Nia, retoris.

Menurutnya, itu adalah tindakan yang tidak adil dan tidak seharusnya dilakukan. Dia menuntut agar masalah ini segera diselesaikan dan agar penganut Ahmadiyah diberi jaminan untuk hidup damai di Indonesia.

Selain itu, dia juga menyesalkan tindakan Badan Koordinasi Pengawasan Aliran Kepercayaan Masyarakat (Bakor Pakem) yang merekomendasikan kepada Jaksa Agung, Menteri Dalam Negeri dan Menteri Agama untuk membubarkan Jamaah Ahmadiyah Indonesia.

Tuntutan ini ditanggapi oleh Effendi Kalimudi, perwakilan dari Badan Pendidikan dan Pelatihan Kejaksaan Agung. “Saya sepakat Ahmadiyah sudah ada sejak 1925 dan kemudian berkembang. Namun dalam perkembangannya itu Ahmadiyah berkembang menjadi dua aliran,” ujar Effendi.

Effendi menjelaskan, Bakor Pakem bukan alat kekuasaan negara untuk menentukan sesat atau tidaknya sebuah agama. Menurutnya, Bakor Pakem sama sekali tidak mempunyai kewenangan untuk melakukan itu.

“Bakor Pakem hanya merekomendasikan,” ujar Effendi.

Dia juga mengungkapkan, dalam menyusun rekomendasinya, Bakor Pakem mengundang semua pemangku kepentingan untuk berdiskusi apakah suatu agama dapat dikatakan menyimpang atau tidak. Dia menegaskan, tidak pernah sekalipun Bakor Pakem melarang Ahmadiyah di Indonesia.

“Tidak ada satu larangan pun untuk mereka hidup di Indonesia. Tapi ingat, harus juga menghargai enam agama yang ada,” katanya.

Pemeluk Ahmadiyah selama ini telah mengalai berbagai perbuatan tidak menyenangkan, mulai dari pengusiran dari tanah kelahiran mereka di Desa Pancor, Lombok Timur, hingga penyerangan dan pembakaran mesjid di Tasikmalaya.

Hingga saat ini, di Indonesia, pemeluk Ahmadiyah belum bisa menjalankan ibadah sesuai kepercayaan mereka dengan damai.

(sip/sip)

Rinaldy Sofwan & , CNN Indonesia Selasa, 18/11/2014 07:47 WIB

Posted in Nasional, PerspektifComments (0)

@WartaAhmadiyah

Tweets by @WartaAhmadiyah

http://www.youtube.com/user/AhmadiyahID

Kanal Youtube

 

Tautan Lain


alislam


 
alislam


 
alislam


 
alislam

Jadwal Sholat

shared on wplocker.com