W3vina.COM Free Wordpress Themes Joomla Templates Best Wordpress Themes Premium Wordpress Themes Top Best Wordpress Themes 2012

Tag Archive | "Desember 2014"

aamir-liaquat-hussain-geotv-pakistan-anti-ahmadiyya

Aamir Liaquat Hussain Menyiarkan Pidato Kebencian anti-Ahmadiyah

Press Ahmadiyya. Saluran televisi nasional Pakistan menyiarkan hasutan dan tuduhan palsu dalam acara ‘Subah Pakistan’ pada tanggal 22 Desember 2014.

Jamaah Muslim Ahmadiyah mengutuk tayangan terbaru acara ‘Subah Pakistan’ yang disiarkan di Pakistan GEO TV pada tanggal 22 Desember 2014, dipandu oleh Aamir Liaquat Hussain, di mana para ulama membuat tuduhan yang benar-benar palsu tentang Jamaah Muslim Ahmadiyah .

Hal tersebut hanya dapat dijelaskan sebagai ‘hate-speech’, bahasa yang digunakan adalah hasutan dan fitnah dan jelas dirancang untuk menghasut kebencian agama terhadap umat Islam Ahmadi yang tinggal di Pakistan dan dimanapun.

Pada tahun 2008, program serupa disiarkan oleh GEO TV dan juga dipandu oleh Amir Liaquat Hussein menggambarkan Muslim Ahmadi sebagai ‘Wajibul qatl‘ – yang berarti bahwa adalah ‘tugas’ dari umat Islam untuk membunuh mereka. Setelah siaran tersebut 2 pemimpin Ahmadi Muslim disyahidkan secara brutal dalam waktu dua hari.

Dalam program yang ditayangkan pada tanggal 22 Desember baru-baru ini, Muslim Ahmadi digambarkan sebagai “musuh Islam” dan “musuh Pakistan”. Jamaah Muslim Ahmadiyah digambarkan sebagai “musuh bersama” untuk seluruh warga Pakistan. Pakistan didesak untuk mengesampingkan semua perbedaan agama mereka dan bersatu bersama melawan Jamaah Muslim Ahmadiyah.

Lebih lanjut dinyatakan bahwa -Naudzubillah- Muslim Ahmadi menghujat dan menghina tokoh pendiri Islam yang diberkati Nabi Muhammad saw.

Dinyatakan juga bahwa Muslim Ahmadi terlibat dalam berbagai ‘plot’ melawan Pakistan dan bahwa mereka harus disalahkan atas terorisme yang saat ini lazim di negara ini. Suatu usaha bahkan dibuat untuk menghubungkan Jamaah Muslim Ahmadiyah dengan serangan sekolah Peshawar pada 16 Desember – meskipun sebuah organisasi teroris yang terkenal secara terbuka dan dengan bangga mengaku telah melakukan serangan keji terhadap anak-anak sekolah yang tidak bersalah.

Jamaah Muslim Ahmadiyah dengan tegas menolak semua tuduhan tersebut sebagai sepenuhnya tidak berdasar dan tanpa dasar apapun. Tuduhan tersebut dibuat hanya untuk memprovokasi dan menghasut kebencian terhadap Muslim Ahmadi.

Kenyatannya adalah bahwa selama beberapa dekade, Muslim Ahmadi telah menjadi korban penganiayaan terus-menerus di Pakistan – dimana ratusan anggotanya telah dibunuh; mereka telah dinyatakan sebagai ‘non-Muslim'; mereka telah menderita segala bentuk diskriminasi sosial dan pendidikan dan  hak dasar kebebasan beragama dan sipil mereka hilang.

Meskipun demikian, setiap muslim ahmadi telah menunjukkan kesetiaan kepada negara Pakistan dan berusaha untuk membantu orang-orang dan masyarakat. Muslim Ahmadi adalah warga negara yang taat hukum dan hanya mencari kemajuan bangsa mereka.

Jamaah Muslim Ahmadiyah adalah sekte agama yang damai dan toleran yang tidak memiliki ambisi atau tujuan politik.

Terlepas dari penganiayaan yang dihadapinya, pemimpin Jamaah Muslim Ahmadiyah, Yang Mulia, Hazrat Mirza Masroor Ahmad telah berulang kali menasihati Muslim Ahmadi untuk berdoa bagi Pakistan dan rakyatnya.

Setelah serangan sekolah Peshawar, Yang Mulia Hazrat Mirza Masroor Ahmad mengatakan:

“Kami Muslim Ahmadi bersimpati dan mencintai kemanusiaan dan dimanapun manusia menderita dengan cara apapun ia membuat kita sedih dan terluka. Dalam hal ini mereka yang tewas adalah saudara-saudara kami sesama muslim dan sesama warga negara dan kesedihan kita bahkan lebih-lebih lagi. Hati kita dipenuhi dengan cinta dan kasih sayang bagi mereka. “

Jamaah Muslim Ahmadiyah meminta masyarakat internasional dan media untuk memperhatikan penganiayaan terus Muslim Ahmadi di Pakistan. Secara khusus diharapkan bahwa badan pengawas media Pakistan (PEMRA) memperhatikan acara tersebut dan mereka yang bertanggung jawab dimintai pertanggungjawaban.

Lebih lanjut diharapkan semua orang dan organisasi yang memegang nilai-nilai kebebasan beragama dan yang menentang segala bentuk ‘hate-speedch’ dan hasutan agama mengecam program GEO tanggal 22 Desember tersebut.(NAN)

Posted in Mancanegara, PersekusiComments (0)

KDD Manislor gelar aksi donor darah

Diterbitkan pada Minggu, 21 Desember 2014 19:24 Ditulis oleh Abdulloh

Kuningan Terkini – Komunitas Keluarga Donor Darah (KDD) Manislor kembali menggelar kegiatan donor darah, Jum’at (19/12). Aksi sosial ini dilaksanakan di Gor Padhal Umar Desa Manislor dan berhasil mengumpulkan 40 kantong darah dari pendonor yang selanjutnya akan disalurkan kepada masyarakat yang membutuhkan melalui Unit Donor Darah (UDD) Palang Merah Indonesia (PMI) Kabupaten Kuningan.

Saat ini donor darah bukan kegiatan yang tabu lagi namun dapat dijadikan sebagai gaya hidup pada masyarakat. Kedepannya sosialisasi gerakan donor darah ini akan terus berlanjut kepada siapa saja, dimana saja, dan kapan saja senantiasa bisa menjadi budaya hidup masyarakat Kab.Kuningan khususnya dan masyarakat Indonesia pada umumnya.

Menurut saalah seorang panitia, Jack, kegiatan donor darah rutin ini merupakan sebuah komitmen Komunitas Kelurga Donor Darah Manislor kepada masyarakat sebagai wujud kepedulian sosial. Selain itu sebagai wujud konsistensi Komunitas mewujudkan masyarakat yang peduli akan kesehatan serta kemanusiaan.

“Diharapkan semangat sosial serta kemanusiaan yang di galakan KDD Manislor akan terus dapat direalisasikan dalam program sosial lainnya. Hampir setiap 3 bulan KDD Manislor menggelar kegiatan donor darah karena rata-rata kebutuhan darah setiap bulannya meningkat. Dalam setahun ada empat kali kita melakukannya,” katanya kepada Kuningan Terkini menjelaskan.

Jack menambahkan, mendonorkan darah memiliki banyak manfaat di antaranya bisa merangsang sumsum tulang tetap keadaan aktif. Darah yang didonorkan sekitar 350 cc akan digantikan dengan 350 cc darah baru yang mempunyai fungsi dan kekuatan lebih optimal guna mengangkut nutrisi dan oksigen ke seluruh tubuh sehingga tubuh secara umum akan terjaga kesehatannya.

“KDD Manislor juga siap membantu siapa saja kapan saja 24 jam ketika ada yang membutuhkan darah dan pada saat bersamaan stok Di PMI sedang Kosong,” jelasnya.

Ditempat yang sama, salah seoran pelajar yang baru pertama kali mendonorkan darahnya, Diki Abu Bakar mengungkapkan, ini kali pertama Ia melakukan donor. saa mau diambil darahnya, Diki mengaku takut. Namun, rasa ingin berbagi dengan yang membutuhkan mengalahkan rasa takut akan jarum yang menusuk kulitnya. (Abdulloh)

Posted in Dakwah, Kemanusiaan, Nasional, RabthahComments (0)

Diskusi Publik; Kasus intoleransi beragama bahayakan psikologis anak

PEMANTAUAN dilakukan dengan wawancara dan diskusi kelompok terfokus bersama 407 narasumber yang terdiri dari 326 korban, 48 aparat negara, 9 pelaku intoleran, dan 24 anggota organisasi masyarakat. Kasus utama yang diangkat menjadi potret umum adalah kasus Ahmadiyah, GKI Yasmin, HKBP Cikeuting, HKBP Filadelfia, Syiah dan Baha’i.

Hanna Azarya Samosir, CNN Indonesia
Selasa, 23 Desember 2014; 05:51 WIB

Jakarta, CNN Indonesia — Korban intoleransi beragama yang terjadi di Indonesia dipastikan bukan hanya berasal dari kalangan dewasa, namun juga anak-anak. Komisioner Komisi Perlindungan Anak Indonesia, Maria Aviati, menilai anak-anak lebih rentan menjadi korban secara psikis kasus-kasus intoleransi tersebut.

Menurut Maria, kondisi seorang anak sangat terkait dengan orang tuanya. Ketika orang tuanya mendapat perlakuan intoleran, anak-anak akan dengan mudah merasa gamang.

“Mereka akan bertanya mengapa ia tidak boleh beribadah. Mereka akan bingung mengapa mau beribadah harus melalui proses sulit,” ujar Maria dalam diskusi publik di Hotel Bidakara, Jakarta, Senin (22/13).

Tidak hanya itu, perlakuan kasar dan dikucilkan dari lingkungan tumbuh kembang yang rentan terjadi akibat intoleransi, dikatakan Maria, dapat menimbulkan kekhawatiran baru. Dia menyebutkan, dampak dari intoleran sangat mungkin membuat anak-anak kelak menganggap bahwa kekerasan dan kebencian adalah hal yang biasa.

Berkaitan dengan pernyataan Maria, Ketua Pelapor Khusus Kebebasan Beragama Komisi Nasional Perempuan, Sinta Nuriyah Wahid, menganggap pendidikan anak merupakan tanggung jawab perempuan sebagai ibu.

“Ketakutan perempuan (dalam kasus intoleransi) lebih besar. Tidak hanya dirinya, tapi juga anaknya. Mungkin buat laki-laki tidak terpikirkan sejauh itu, tapi ibu punya tanggung jawab moral,” tuturnya.

Melihat dampak besar dari kondisi ini, Maria meminta pemerintah untuk mendengarkan keluhan masyarakat tanpa pandang bulu. “Jangan seperti selama ini. Kalau yang menyampaikan pihak yang dipandang, baru direspons. Kalau masyarakat biasa, menguap begitu saja,” tutur Maria.

Semua ini, menurut Maria, tidak sesuai dengan Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak. Dalam Pasal 21 dikatakan bahwa Negara, Pemerintah, dan Pemerintah Daerah berkewajiban dan bertanggung jawab menghormati pemenuhan hak anak tanpa membedakan suku, agama, ras, golongan, jenis kelamin, etnik, budaya, dan bahasa, serta status hukum, urutan kelahiran, dan kondisi fisik dan mental.

Dalam acara ini, Sinta memaparkan hasil pantauan intoleransi beragama di 40 kota/kabupaten di 12 provinsi sejak Juni 2012 sampai Juni 2013. Pemantauan dilakukan dengan wawancara dan diskusi kelompok terfokus bersama 407 narasumber yang terdiri dari 326 korban, 48 aparat negara, 9 pelaku intoleran, dan 24 anggota organisasi masyarakat. Kasus utama yang diangkat menjadi potret umum adalah kasus Ahmadiyah, GKI Yasmin, HKBP Cikeuting, HKBP Filadelfia, Syiah dan Baha’i.

(meg)

Posted in Nasional, Persekusi, PerspektifComments (0)

Sinta Wahid Kritik Polisi Memihak di Konflik Agama

SENIN, 22 DESEMBER 2014 | 19:42 WIB

TEMPO.CO, Jakarta – Ketua Pelapor Khusus Kebebasan Beragama dari Komnas Perempuan, Sinta Nuriyah Wahid, mengatakan polisi banyak disorot oleh komunitas korban intoleransi agama.

Polisi, yang seharusnya berada di garis depan dalam menjaga ketertiban dan menjamin keamanan warga negara, menunjukan sikap yang tidak netral dalam menyelesaikan sengketa antarkomunitas. (Baca: 5 Lembaga Desak Jokowi Sikapi Ahmadiyah NTB)

“Bahkan, ketika kelompok agama tertentu mendapat perlakuan jahat dari organisasi tertentu, polisi justru melakukan pembiaran,” kata Sinta dalam acara Laporan Pelapor Khusus Komnas Perempuan Tentang Kekerasan dan Diksriminasi terhadap Perempuan dalam Konteks Pelanggaran Hak Konstitusional Kebebasan Beragama di Hotel Bidakara 22 Desember 2014. (Baca: Daftar Kekerasan FPI di Lima Provinsi)

Forum Kerukunan Umat Beragama adalah badan bentukan pemerintah yang berisikan tokoh agama dengan maksud membuka ruang dialog lintas kelompok.

Berdasarkan hasil pemantauan, tim Pelapor Khusus ini mencatat beberapa kasus intoleransi terhadap pendirian rumah ibadah yang justru tidak dapat diselesaikan karena komposisi representasi di dalam FKUB. (Baca: Gubernur Minta Polisi Tangani Kekerasan Terhadap Ahmadiyah)

“Komposisi anggota FKUB yang menggunakan politik representasi kelompok bisa menyebabkan FKUB menjadi media untuk menghalang halangi daripada memfasilitasi berdirinya rumah ibadah,” kata Sinta.

MITRA TARIGAN

Posted in Nasional, Persekusi, PerspektifComments (0)

Komnas HAM sebut pelanggaran kebebasan beragama naik di 2014

DIA menyebutkan beberapa kasus tersebut antara lain, pembangunan Gereja Taman Yasmin Bogor, pembangunan Musala Asyafiiyyah di Denpasar, pemulangan pengungsi warga Syiah Sampang dari tempat pengungsian, dan pemulangan warga Ahmadiyah Lombok.

Reporter: Sherly Iskandar | Selasa, 23 Desember 2014 15:25

Merdeka.com – Tindak pelanggaran kebebasan beragama dan berkeyakinan di 2014 terpantau meningkat dari tahun lalu. Hal tersebut disampaikan oleh Komisi Nasional Hak Asasi Manusia dalam laporan akhir tahunnya.

“Jumlah pengaduan yang diterima Komnas HAM pada tahun 2013 sebanyak 39 berkas. Pada tahun 2014 ini naik menjadi 67 berkas,” kata Komisioner Komnas HAM Imdadun Rahmat, di ruang paripurna Komnas HAM, Selasa (23/12).

Imdadun memaparkan, kasus-kasus tersebut terpecah menjadi tiga kategori. Antara lain, penyegelan dan penghalangan pendirian rumah ibadah, diskriminasi dan kekerasan terhadap pemeluk agama dan keyakinan tertentu, dan penghalangan terhadap ritual pelaksanaan ibadah.

“Kami menemukan pelanggaran kebebasan beragama dan berkeyakinan berbentuk penutupan, perusakan, penyegelan, atau pelarangan rumah ibadah cenderung meningkat dalam satu tahun terakhir,” lanjut Imdadun.

Pihaknya juga mengamati, pemerintah melakukan tindakan pengabaian dalam penyelesaian kasus-kasus lama pelanggaran kebebasan beragama dan berkeyakinan. Dia menyebutkan beberapa kasus tersebut antara lain, pembangunan Gereja Taman Yasmin Bogor, pembangunan Musala Asyafiiyyah di Denpasar, pemulangan pengungsi warga Syiah Sampang dari tempat pengungsian, dan pemulangan warga Ahmadiyah Lombok.

“Kasus-kasus tersebut adalah kasus lama yang hingga saat ini belum diselesaikan oleh pemerintah. Terlepas dari kendala yang ada, kasus tersebut mengakibatkan terabaikannya hak-hak dan kebebasan beragama warga negara. Khususnya mengakibatkan ketidakpastian nasib bagi korban,” ujarnya.

Komnas HAM menyimpulkan, tingginya tindak pelanggaran dapat dikaitkan dengan keberadaan kebijakan diskriminatif. Salah satunya SKB 3 menteri pada tahun 2008 tentang Peringatan dan Perintah kepada Penganut, Anggota dan/atau Pengurus Jemaat Ahmadiyah Indonesia.

Untuk itu Komnas HAM merekomendasikan agar peraturan perundang-undangan dan kebijakan di tingkat nasional dan daerah dikaji kembali.

Ke depannya, Komnas HAM berharap agar negara dapat memberikan kepastian hukum dan pemulihan bagi korban kasus-kasus pelanggaran kebebasan beragama dan berkeyakinan.

“Kita harapkan tahun depan menjadi tahun penyelesaian dan rekonsiliasi para korban,” pungkas Imdadun.

[did]

Posted in Nasional, Persekusi, PerspektifComments (0)

Komnas HAM: Pemerintah gagal lindungi kelompok minoritas

HAFID mengakui, hingga saat ini masih terjadi aksi kekerasan dan perlakuan tidak adil yang diterima beberapa kelompok agama minoritas. Ia mencontohkan apa yang terjadi kepada umat Kristiani di Bogor dan Bekasi. Selain itu, juga terhadap pemeluk keyakinan Ahmadiyah di beberapa daerah di Indonesia.

Kamis, 25 Desember 2014 | 17:16 WIB

JAKARTA, KOMPAS.com – Ketua Komisi Nasional Hak Azasi Manusia (Komnas HAM) Hafid Abbas mengakui, pemerintah gagal melindungi kelompok-kelompok minoritas saat menjalankan aktivitas keagamaan. Menurut Hafid, masalah kebebasan beragama belum berjalan dengan baik di Indonesia.

“Memang, masih ada kegagalan-kegagalan. Negara tidak sepenuhnya hadir melindungi kebebasan beragama, belum ada perhatian lebih dari pemerintah,” ujar Hafid saat dihubungi Kompas.com, Kamis (25/12/2014).

Hafid mengakui, hingga saat ini masih terjadi aksi kekerasan dan perlakuan tidak adil yang diterima beberapa kelompok agama minoritas. Ia mencontohkan apa yang terjadi kepada umat Kristiani di Bogor dan Bekasi. Selain itu, juga terhadap pemeluk keyakinan Ahmadiyah di beberapa daerah di Indonesia.

Hafid mengatakan, toleransi antar umat beragama tidak pernah lepas dalam sejarah panjang perjalanan bangsa Indonesia. Untuk itu, Komnas HAM mengajak semua lapisan masyarakat agar momentum Natal ini dapat digunakan sebagai perekat emosi sosial.

Hafid juga mendesak kepada pemerintah, khususnya Presiden Joko “Jokowi” Widodo, agar memberikan perhatian lebih kepada masalah-masalah yang berkaitan dengan kebebasan beragama. Menurut Hafid, masalah tersebut tidak boleh dibiarkan terlalu lama.

“Saya optimis pemerintahan Jokowi mampu mengatasi permasalahan itu. Terutama, melihat agenda dalam Nawa Cita, saya yakin pemerintah bisa memberikan suatu kepastian,” kata Hafid.

Penulis: Abba Gabrillin
Editor: Hindra Liauw

Posted in Nasional, Persekusi, PerspektifComments (0)

Tata kelola pemerintahan inklusif datang dari daerah

“Meskipun terdapat halangan di tingkat pusat seperti adanya UU nomor 24 tahun 2014 yang menempatkan agama sebagai urusan pusat, UU nomor 1 PNPS 1964 yang dijadikan legitimasi perlakuan diskriminatif atas sekte atau agama dan kepercayaan di luar yang enam, serta SKB 3 menteri tentang Ahmadiyah tahun 2008,” imbuh Suaedy.

Hardiat Dani Satria – 24 Desember 2014 16:26 wib

MetroTVNews.com, Jakarta: Abdurrahman Wahid Centre – Universitas Indonesia (AW Centre-UI) menyebut tata kolola pemerintahan yang inklusif justru datang dari pemerintah daerah atau inisiatif lokal. Hal ini juga didukung dengan adanya beberapa pemimpin yang menjadi inisator dalam menciptakan tata kelola pemerintahan yang inklusif.

“Dalam riset AW Center-UI menunjukkan kreativitas tata kelola pemerintahan yang inklusif justru datang dari pemerintahan daerah yang telah dilakukan oleh beberapa pemimpin dan pemerintahan daerah,” kata Koordinator AbdurrahmanWahid Center-UI, Ahmad Suaedy, saat merilis hasil penelitian “Tatakelola Pemerontahan Inklusif dan Inisatif Lokal: Tiga Kasus Kab. Wonosobo, Kota Surakarta dan Prov DKI Jakarta”, di Kompleks Kantor Balai Kota DKI Jakarta, Jl Medan Merdeka Selatan, Rabu (24/12/2014).

Dalam penelitian ini AW Center-UI melakukan penelitian di tiga tempat, yaitu Kabupaten Wonosobo, Kota Solo, dan Provinsi DKI Jakarta. Dari penelitian tersebut menujukkan bahwa tata kelola pemerintahan inklusif datang dari pemerintahan daerah atau inisiatif lokal beserta peran pemimpinnya.

Seperti halnya pada kasus Bupati Wonosobo, Kholik Arif, yang telah menunjukkan kearifan untuk memberikan tempat kepada semua minoritas baik dalam masyarakat maupun dalam pelayanan pemerintahan formal. Meskipin secara hukum mungkin bertentangan dengan aturan atau hukum pusat.

“Meskipun terdapat halangan di tingkat pusat seperti adanya UU nomor 24 tahun 2014 yang menempatkan agama sebagai urusan pusat, UU nomor 1 PNPS 1964 yang dijadikan legitimasi perlakuan diskriminatif atas sekte atau agama dan kepercayaan di luar yang enam, serta SKB 3 menteri tentang Ahmadiyah tahun 2008,” imbuh Suaedy.

Pada kasus kedua, Pemerintahan Solo dinilai telah memberikan contoh yang baik bagi pelayanan difabel dan PKL dengan memberikan tempat bagi mereka terkait kesamaan akses dan pelayanan formal pemerintah. “Menjadikan mereka memperoleh kesamaan dengan kelompok masyarakat mayoritas lain,” ujar Suaedy.

Selain itu, Pemerintah DKI Jakarta juga telah memberikan contoh bagi inklusi pedagang kaki lima Tanah Abang ke Blok G dan relokasi sebagai pemukim liar di Waduk Pluit ke Rusunawa Marunda.

LAL

Posted in Nasional, PerspektifComments (0)

Wonosobo, Solo dan Jakarta jadi contoh kota ramah kaum minoritas

Rabu, 24/12/2014 15:50 WIB
Mulya NurbilkisdetikNews

Jakarta – Wonosobo, Solo dan Jakarta menjadi kota-kota yang ramah pada kaum minoritas. Wonosobo sebagai kota yang ramah pada kaum Ahmadiyah dan sekte-sekte keagamaan. Sementara Solo sebagai kota ramah pada kaum disabilitas.

“Mengikutkan semua sekte dan aliran pada kegiatan yang melibatkan kaum mayoritas yang di tempat lain dilarang. Meski ada SKB 3 Menteri yang melarang Ahmadiyah, tadi dia menerobos,” kata Koordinator Peneliti Abdurrahman Wahid Center, Ahmad Suedy.

Hal itu disampaikannya dalam diskusi Catatan Akhir Tahun 2014: ‘Tatakelola Pemerintahan Inklusif dan Inisiatif Daerah’ di blok G Balai Kota, Jalan Medan Merdeka Selatan, Rabu (24/12/2014). Diskusi ini dihadiri politisi PDIP Eva Kusuma Sundari dan beberapa PNS Pemprov DKI.

Ia menjelaskan bahwa kemerdekaan para penganut aliran, sekte dan kelompok agama karena kemampuan Kholiq Arif (bupati Wonosobo, red) memimpin.

Penelitian soal kaum minoritas ini dilakukan di 3 kota yakni Wonosobo, Solo dan Jakarta. Di Solo, mereka melihat upaya FX Rudi selaku walikota Solo untuk meramahkan kendaraan umum untuk kaum disabilitas.

Kalau di Jakarta, ia mencontohkan perbaikan PKL Tanah Abang dan relokasi warga Waduk Pluit ke Marunda yang dinilai berhasil. Namun, menurutnya ada banyak kekurangan dari langkah yang dilakukan Jokowi saat masih menjabat sebagai Gubernur DKI.

“Masalahnya di Tanah Abang jembatan blok G belum kunjung terbangun sampai sekarang. Dan ada kebiasaan kaki lima transaksinya alamiah. Ketika pindah di toko resmi dan tampilannya bersih, tidak ada persiapan kultural dari pedagang dan pemilik gedung sehingga banyak yang tidak siap,” sambungnya.

Politisi PDIP Eva Sundari sendiri mengatakan bahwa para pemimpin daerah tersebut didorong oleh PDIP. Meski begitu, ia mengakui bahwa keberhasilan mereka memberi ruang untuk kaum minoritas karena faktor personal.

“Walaupun secara ideologi PDIP inklusif dan bahkan pada taraf ekstrim melindungi kelompok-kelompok itu, kenapa tidak semua daerah? Saya harus legowo. PDIP memberikan habitat tapi pada inisitif pimpinan daerah,” ucap Eva.

Namun, toleransi tersebut disebut Ahmad terkendali pada sistem hukum dan kemauan politik yang belum maksimal sehingga sangat bergantung pada individu pemimpin daerahnya. Karena itu, ia merekomendasikan agar pemerintah pusat. Membuat langkah-langkah baru yang sistematis dan berkelanjutan yang mendukung pemerintah yang ramah pada kaum minoritas.

(bil/rmd)

Posted in Nasional, PerspektifComments (0)

Pelanggaran kebebasan beragama dan berkeyakinan meningkat

KOMNAS HAM mencatat pemerintah melakukan tindakan pengabaian dalam penyelesaian kasus-kasus lama pelanggaran kebebasan beragama dan berkeyakinan. Kasus-kasus tersebut antara lain, pembangunan Gereja Taman Yasmin Bogor, Gereja HKBP Filadelfia Bekasi, pembangunan Mushaala Asyafiiyyah di Denpasar, pemulangan pengungsi warga Syiah Sampang dan pemulangan warga Ahmadiyah Lombok.

EraBaru; dibuat: 23 Desember 2014 Ditulis oleh Muhamad Asari

Jakarta – Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) RI mencatat pelanggaran terhadap kebebasan beragama dan berkeyakinan pada 2014 mengalami peningkatan dibandingkan dengan tahun sebelumnya berdasarkan jumlah pengaduan yang masuk ke Komnas HAM.

“Apabila pada 2013, jumlah pengaduan yang diterima Komnas HAM berjumlah 39 berkas, maka pada 2014 naik menjadi 67 berkas,” kata Komisioner Komnas HAM RI, M.Imdadun Rahmat dalam jumpa pers di Kantor Komnas HAM RI, Jakarta, Selasa (23/12/2014).

Menurut dia selaku Pelapor Khusus Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan Komnas HAM, kasus-kasus yang diadukan sepanjang 2014 terdiri dari tiga kategori pengaduan kebebasan beragama dan berkeyakinan.

Kategori yang dimaksud adalah Pertama, tindakan penyegelan, pengrusakan atau penghalangan pendirian terhadap rumah ibadah 30 berkas. Kedua, Diskriminasi, pengancaman dan kekerasan terhadap pemeluk agama dan berkeyakinan tertentu 22 berkas. Ketiga, penghalangan terhadap ritual pelaksanaan ibadah 15 berkas.

Temuan Komnas HAM menyebutkan bahwa pelanggaran kebebasan beragama/berkeyakinan dalam bentuk penutupan, perusakan, penyegelan atau pelarangan rumah ibadah merupakan isu menonjol yang perlu mendapat perhatian paling serius karena terus meningkat dari setiap laporan pengaduan.

Menurut Komnas HAM, lemahnya penegakan hukum di lapangan merupakan faktor utama menjadi penyebab meningkatnya kasus-kasus terkait pendirian rumah ibadah. Keberadaan Peraturan Bersama Menteri (PBM) No 9 dan No 8 Tahun 2006 tidak mampu mewujudkan secara konsisten di lapangan.

Pertemuan yang digelar oleh Komnas HAM menyimpulkan terjadi di daerah kelompok atau ormas intoleran. Selain itu, PBM menjadi landasan parkir, sikap dan tindakan warga serta apratus negara melakukan tindakan diskriminasi dan pelanggaran HAM.

Komnas HAM mencatat pemerintah melakukan tindakan pengabaian dalam penyelesaian kasus-kasus lama pelanggaran kebebasan beragama dan berkeyakinan. Kasus-kasus tersebut antara lain, pembangunan Gereja Taman Yasmin Bogor, Gereja HKBP Filadelfia Bekasi, pembangunan Mushaala Asyafiiyyah di Denpasar, pemulangan pengungsi warga Syiah Sampang dan pemulangan warga Ahmadiyah Lombok.

Imdadun menambahkan peningkatan tindakan terkait keterlibatan aparatutr negara dan pelanggaran kebebasan beragama serta berkeyakinan terkait dengan keberadaan Perda Diskriminatif seperti tentang pelarangan kegiatan Jamaah Ahmadiyah Indonesia. Keberadaan regulasi ini, lanjut dia, melanggar HAM karena negara membatasi warga negara meyakini agama dan melakukan peribadatan.

“Contoh kongkrit penyegelan di Jawa Barat secara bersama-sama oleh Pemda, ada unsur satpol PP, Kesbangpol, Kepolisian bahkan libatkan Bupatinya,” ujar dia.

Dalam hal ini pelanggaran kebebasan beragama dan berkeyakinan, Komnas HAM telah memberikan rekomendasi penyelesaian maupun perlindungan hak dan kebebasan beragama, khususnya kepada kelompok minoritas tetapi tidak mendapat respon dan tindak lanjut penyelesaian yang selayaknya.

Komnas HAM merekomendasikan Presiden Joko Widodo untuk mewujudkan dengan tindakan nyata antara lain memberikan kepastian hukum dengan memberikan perlindungan melalui akses kebenaran, keadilan dan pemulihan bagi korban-korban kasus lama pelanggaran kebebasan beragama dan berkeyakinan.

Posted in Nasional, Persekusi, PerspektifComments (0)

Intoleransi beragama, ini saran Sinta ke Jokowi

“TERUTAMA bagi jemaah Ahmadiyah dan Syiah dengan jaminan keamanan dan peristiwa serupa tidak berulang kembali,” katanya.

SENIN, 22 DESEMBER 2014 | 19:48 WIB

TEMPO.CO, Jakarta – Ketua Pelapor Khusus Kebebasan Beragama dari Komnas Perempuan, Sinta Nuriyah Wahid, memberikan beberapa saran kepada pemerintah yang dinilai sebagai salah satu pelaku intoleransi beragama di Tanah Air.

“Presiden selaku kepala negara dan kepala pemerintahan harus menyikapi isu intoleransi,” kata Sinta dalam acara Laporan Pelapor Khusus Komnas Perempuan tentang Kekerasan dan Diskriminasi terhadap Perempuan dalam Konteks Pelanggaran Hak Konstitusional Kebebasan Beragama di Hotel Bidakara, 22 Desember 2014.

Sinta meminta Presiden Joko Widodo memerintahkan kepala daerah untuk tunduk pada hukum dengan melaksanakan putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap. Salah satunya pada contoh kasus GKI Yasmin dan HKBP Filadelfia.

“Mengawalinya bisa dengan memastikan jaminan keamanan bagi penyelenggara ibadah Natal 2014 di lokasi masing-masing,” katanya. (Foto: Sinta Nuriyah Hadiri Maulid Nabi dan Haul Gus Dur di PPP)

Sinta pun meminta kepada kepala daerah dan Menteri Agama untuk memfasilitasi perbaikan rumah-rumah ibadah yang dirusak atau disegel. Selain itu, Sinta meminta pemerintah menyediakan lokasi ibadah bagi komunitas minoritas agama yang belum dapat memenuhi prasyarat pendirian rumah ibadah.

Istri almarhum Gus Dur ini juga memerintahkan pemulangan pengungsi korban intoleransi agama ke kampung halamannya. “Terutama bagi jemaah Ahmadiyah dan Syiah dengan jaminan keamanan dan peristiwa serupa tidak berulang kembali,” katanya.

Sinta juga meminta Presiden Joko Widodo memerintahkan penanganan komprehensif bagi korban intoleransi. Dalam hal peraturan, Sinta berharap agar Presiden dan DPR RI segera melakukan perubahan terhadap berbagai peraturan perundang-undangan yang membatasi jaminan kebebasan beragama atau berkeyakinan.

Sedangkan kepada Menteri Hukum dan HAM Yasonna Laoly, Sinta berharap agar bisa bekerja sama dengan Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, Kementerian Kesehatan, serta Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan untuk menyediakan ruang informasi tentang fakta pelanggaran bagi korban. “Mereka juga perlu publikasi tentang korban diskriminasi. Selain itu, negara membutuhkan sistem pemulihan dan pendidikan toleransi,” ujar Sinta.

Sinta baru saja melaporkan hasil pemantauan tim di 40 kota dan kabupaten di 12 provinsi. Pemantauan ini berlangsung sejak Juni 2012 hingga 2013. Selama itu, Sinta telah melakukan wawancara dan diskusi kelompok dengan 407 narasumber yang terdiri atas 326 orang korban. Lalu ada anggota komunitas korban intoleransi, 48 aparat negara, 9 pelaku intoleran, dan 24 anggota organisasi masyarakat yang berada di sekitar lokasi pemantauan.

MITRA TARIGAN

Posted in Nasional, Persekusi, PerspektifComments (0)

Page 2 of 41234

@WartaAhmadiyah

Tweets by @WartaAhmadiyah

http://www.youtube.com/user/AhmadiyahID

Kanal Youtube

 

Tautan Lain


alislam


 
alislam


 
alislam


 
alislam

Jadwal Sholat

shared on wplocker.com