W3vina.COM Free Wordpress Themes Joomla Templates Best Wordpress Themes Premium Wordpress Themes Top Best Wordpress Themes 2012

Tag Archive | "Gus Dur"

Gus Dur sang pejuang toleransi

TAK heran jika Gus Dur melindungi kaum Ahmadiyah yang sering dikejar-kejar dan tak diberi ruang hidup dan berkembang oleh sekelompok masyarakat tertentu yang menginginkan apa yang mereka sebut sebagai ‘pemurnian agama’.

PortalKBR.com
Written by Antonius Eko Mon,29 December 2014 | 13:00

Serial tulisan terkait Gus Dur ini kami turunkan dalam rangka peringatan lima tahun meninggalnya tokoh toleransi Indonesia. Selain tulisan, kami juga menyajikan kutipan-kutipan menarik dari Gus Dur.

 

Abdurrahman Wahid (Gus Dur) dan toleransi adalah dua hal yang tak bisa dipisahkan. Salah tindakannya yang mendukung toleransi di negeri ini adalah membuat Konghucu menjadi sebuah agama yang resmi. Padahal, pada masa Orde Baru, agama yang satu ini dilarang.

Dia memberi ruang hidup yang lebih terhormat bagi kelompok minoritas keturunan Tionghoa untuk menjadi bagian dari bangsa Indonesia.

Tak ada lagi kebingungan di kalangan masyarakat Tionghoa di Indonesia mengenai pilihan antara mengambil pendekatan asimilasi atau integrasi seperti pada era Presiden Soekarno.

Berbagai aksara Tiongkok, yang pada era Presiden Soeharto amat ditabukan kecuali untuk surat kabar Indonesia beraksara Tiongkok, tidak mengalami penghitaman kembali oleh Kejaksaan Agung. Pertunjukan barongsai yang dulu dilarang, pada era Gus Dur juga diperbolehkan dan kelompok kesenian ini pun tumbuh bak jamur di musim hujan.

Agama Konghucu juga berkembang tanpa kekangan. Kebijakan untuk menghapus surat bukti kewarganegaraan Republik Indonesia (SBKRI) bagi orang Indonesia keturunan Tionghoa juga mulai dirintis sejak era Gus Dur.

Tak ada lagi perbedaan pribumi dan nonpribumi, bahkan Gus Dur mengaku, entah benar atau tidak, bahwa ada nenek moyangnya yang berasal dari Tiongkok.

Pada tanggal 10 Maret 2004, beberapa tokoh Tionghoa Semarang memberikan penghargaan KH Abdurrahman Wahid sebagai “Bapak Tionghoa”.

Melindungi minoritas

Gus Dur juga melindungi kelompok minoritas yang menganut agama atau kepercayaan di luar kelompok aliran utama agama-agama besar. Tak heran jika Gus Dur melindungi kaum Ahmadiyah yang sering dikejar-kejar dan tak diberi ruang hidup dan berkembang oleh sekelompok masyarakat tertentu yang menginginkan apa yang mereka sebut sebagai ‘pemurnian agama’.

Dalam banyak hal terkadang Gus Dur memilih bersebrangan dengan umat Islam yang lain. Misalnya ketika ada usulan untuk peraturan yang mewajibkan hukuman mati bagi orang Islam yang murtad, Gus Dur menentangnya. Ia beralasan, hal ini hanya akan mengotori nama Islam.

Dalam bukunya “Islamku, Islam Anda, Islam Kita” (2006), Gus Dur menjadikan pluralisme dan perbedaan sebagai kata kunci. Tulisannya ini berangkat dari perspektif korban, terutama minoritas agama, gender, keyakinan, etnis, warna kulit, posisi sosial.

Menurut Gus Dur ‘Tuhan tak perlu dibela, tapi manusia haruslah dibela’ dan salah satu konsekuensi dari pembelaannya itu adalah kritik dan terkadang harus mengecam jika sudah melewati ambang toleransi.

Gus Dur juga berani menentang sikap sejumlah ulama yang mengharamkan umat Islam memberikan ucapan selamat Natal.

Romo Antonius Benny Susetyo, Pastor dan Aktivis dalam buku berjudul: Damai Bersama Gus Dur, menulis begini: “Di tengah sakit yang mendera pada 25 Desember 2009, seperti biasanya Gus Dur masih menyempatkan diri menelepon untuk mengucapkan “Selamat Natal dan Tahun Baru”, sekaligus menyampaikan salam kepada Romo Kardinal dan teman-teman sejawat lainnya.”

Cerita Romo Benny itu cukup menggambarkan betapa Gus Dur masih teguh memegang prinsip toleransi antar umat beragama di negeri yang majemuk ini.

Satu hal yang juga kontroversial, Gus Dur bahkan menjadi anggota masyarakat epistemik agama Yahudi. Bagi Gus Dur, mereka yang menganut agama samawi keturunan Nabi Ibrahim adalah bersaudara. Ini sesuai dengan rukun iman dalam Islam yang mengakui kitab-kitab Allah dari Taurat, Zabur, Injil sampai Alquran.

Ini juga sesuai dengan makna surat Al-Kafirun, ”Bagimu agamamu, bagiku agamaku” tanpa harus menyebut mereka yang tak menganut Islam sebagai ‘kafir’.

Selain berani membela hak minoritas, Gus Dur juga merupakan pemimpin tertinggi Indonesia pertama yang menyatakan permintaan maaf kepada para keluarga PKI yang mati dan disiksa (antara 500.000 hingga 800.000 jiwa) dalam gerakan pembersihan PKI oleh pemerintahan Orde Baru.

Menjaga NKRI

Setelah jatuhnya rezim Soeharto, Indonesia mengalami ancaman disintegrasi kedaulatan Negara, konflik pun meletus di berbagai daerah. Menghadapi hal itu, Gus Dur melakukan pendekatan yang lunak terhadap daerah-daerah yang berkecamuk.

Gus Dur mengeluarkan kebijakan untuk mengganti nama Provinsi Irian Jaya menjadi Provinsi Papua pada tahun 2000 dan menyebut orang Irian sebagai orang Papua. Dia juga memberi bantuan dana bagi tokoh-tokoh masyarakat Papua untuk menggelar Kongres Nasional Rakyat Papua II pada Maret 2000. Kongres itu kemudian menetapkan berdirinya Presidium Dewan Papua yang dipimpin oleh dua tokoh Papua,Theys Hiyo Eluay asal Sentani dan Tom Beanal asal Pegunungan Tengah.

Tak cuma itu, Gus Dur bahkan memperbolehkan berkibarnya bendera Bintang Kejora sebagai simbol adat Papua bersama Sang Saka Merah Putih sebagai bendera negara. Bahkan lagu “Hai Tanahku Papua” pun boleh didendangkan setelah lagu kebangsaan Indonesia Raya.

Gus Dur menjadi pemimpin yang meletakan pondasi perdamaian Aceh. Pada masa pemerintahan Gus Dur lah terjadi pembicaraan damai antara Gerakan Aceh Merdeka (GAM). Meski sejumlah tokoh nasional mengecam pendekatannya dengan Aceh, Gus Dur tetap memilih pendekatan penyelesaian yang simpatik dengan mengajak tokoh GAM duduk satu meja untuk membicarakan Aceh secara damai.

Pada Maret tahun 2000, pemerintahan Gus Dur mulai melakukan negosiasi dengan GAM. Hasilnya, dua bulan kemudian pemerintah menandatangani kesepahaman dengan GAM.

Posted in Nasional, PerspektifComments (0)

Aparat negara saling lempar urusi pelanggaran kemerdekaan beragama

KASUS utama yang diangkat untuk memotret pengalaman ini adalah kasus Ahmadiyah, Gki Yasmin, HKBP Cikeuting dan HKBP Filadelfia, Syiah, Bahai, komunitas Islam lainnya yang kesulitan mendirikan mesjid.

Era Baru
Dibuat: 26 Desember 2014 Ditulis oleh Muhamad Asari

Jakarta – Sejatinya aparat negara sebagai pelaksana Negara yang merupakan state partics yang terikat, menjamin kebebasan beragama dan berkeyakinan bagi rakyat. Namun demikian, fakta yang terjadi di Indonesia antar aparat negara saling lempar tanggung jawab ketika pelenggaran kebebasan beragama terjadi.

“Pemerintah itu saling lempar misalnya masalah Gereja Yasmin,” kata Istri Presiden RI ke-4 almarhum Gus Dur, Shinta Nuriyah Wahid di Jakarta, Senin (22/12/2014).

Menurut dia selaku pelapor khusus Komnas Perempuan tentang pelanggaran kekerasan umat beragama, lempar tanggungjawab yang terjadi misalnya terhadap penghambatan pendirian Gereja GKI Taman Yasmin, Bogor, Jawa Barat.

Saat menemui para aparat di lapangan, lanjut dia, para aparat negara awalnya mendukung untuk pemberian kemerdekaan beragama bagi jamaah GKI Yasmin. Namun demikian, mereka justru saling lempar tanggungjawab dari aparat di bawah hingga ke jajaran tingkat atas.

Shinta Nuriyah mencontohkan lempar tanggungjawab yang terjadi adalah para pejabat mulai dari Bupati dan Gubernur saling melempar tanggungjawab ke pejabat di atas mereka hingga ke tingkat menteri. Semestinya selaku aparat negara, para pejabat seharusnya menjelaskan kepada masyarakat tentang persoalan yang terjadi.

“Jangan main lempar-lempar seperti itu, tidak mendidik rakyat,” tegasnya.

Menegaskan hasil pemantauan pelaporan khusus kekerasan terhadap umat beragama, Komnas Perempuan menyebutkan bahwa peranan pemerintah daerah yang disertai peranan kelompok intoleran berperan aktif menjalankan lembaga negara bersifat diskiminatif.

“Memainkan peran lembaga diskriminatif dengan lewat kebijakan yang diksriminatif,” ujar Komisioner Komnas Perempuan, Andy Yentriyani.

Tidak hanya soal kebijakan diskriminatif, tambah Andy, masih terjadi perkara mengkriminalkan di luar agama dari enam agama yang diakui oleh pemerintah. Bahkan fakta yang terjadi, masyarakat menolak mengakui penganut aliran kepercayaan dengan menolak pemakaman jenazah penganut.

Menurut Andy, warga negara yang dimaksud menjadi korban itu, justru terjebak dengan istilah diakui dan tidak diakui oleh Negara. Bahkan berpengaruh kepada catatan kartu penduduk hingga terhadap kaum penghayat. Petugas negara dinilai lebih memihak kepada kelompok intoleransi dengan mendengarkan pendapatan kelompok intoleransi.

Berdasarkan laporan yang dirilis pada hasil pemantauan Pelapor Khusus dan timnya di 40 kota/kabupaten di 12 provinsi se-Indonesia, sejak Juni 2012 sampai dengan Juni 2013. Hasil pemantauan menyebutkan bahwa kerentanan kaum perempuan semakin meningkat ketika ia menjadi bagian dari komunitas minoritas agama dalam situasi intoleransi.

Kasus utama yang diangkat untuk memotret pengalaman ini adalah kasus Ahmadiyah, Gki Yasmin, HKBP Cikeuting dan HKBP Filadelfia, Syiah, Bahai, komunitas Islam lainnya yang kesulitan mendirikan mesjid.

Posted in Nasional, Persekusi, PerspektifComments (0)

Intoleransi beragama, ini saran Sinta ke Jokowi

“TERUTAMA bagi jemaah Ahmadiyah dan Syiah dengan jaminan keamanan dan peristiwa serupa tidak berulang kembali,” katanya.

SENIN, 22 DESEMBER 2014 | 19:48 WIB

TEMPO.CO, Jakarta – Ketua Pelapor Khusus Kebebasan Beragama dari Komnas Perempuan, Sinta Nuriyah Wahid, memberikan beberapa saran kepada pemerintah yang dinilai sebagai salah satu pelaku intoleransi beragama di Tanah Air.

“Presiden selaku kepala negara dan kepala pemerintahan harus menyikapi isu intoleransi,” kata Sinta dalam acara Laporan Pelapor Khusus Komnas Perempuan tentang Kekerasan dan Diskriminasi terhadap Perempuan dalam Konteks Pelanggaran Hak Konstitusional Kebebasan Beragama di Hotel Bidakara, 22 Desember 2014.

Sinta meminta Presiden Joko Widodo memerintahkan kepala daerah untuk tunduk pada hukum dengan melaksanakan putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap. Salah satunya pada contoh kasus GKI Yasmin dan HKBP Filadelfia.

“Mengawalinya bisa dengan memastikan jaminan keamanan bagi penyelenggara ibadah Natal 2014 di lokasi masing-masing,” katanya. (Foto: Sinta Nuriyah Hadiri Maulid Nabi dan Haul Gus Dur di PPP)

Sinta pun meminta kepada kepala daerah dan Menteri Agama untuk memfasilitasi perbaikan rumah-rumah ibadah yang dirusak atau disegel. Selain itu, Sinta meminta pemerintah menyediakan lokasi ibadah bagi komunitas minoritas agama yang belum dapat memenuhi prasyarat pendirian rumah ibadah.

Istri almarhum Gus Dur ini juga memerintahkan pemulangan pengungsi korban intoleransi agama ke kampung halamannya. “Terutama bagi jemaah Ahmadiyah dan Syiah dengan jaminan keamanan dan peristiwa serupa tidak berulang kembali,” katanya.

Sinta juga meminta Presiden Joko Widodo memerintahkan penanganan komprehensif bagi korban intoleransi. Dalam hal peraturan, Sinta berharap agar Presiden dan DPR RI segera melakukan perubahan terhadap berbagai peraturan perundang-undangan yang membatasi jaminan kebebasan beragama atau berkeyakinan.

Sedangkan kepada Menteri Hukum dan HAM Yasonna Laoly, Sinta berharap agar bisa bekerja sama dengan Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, Kementerian Kesehatan, serta Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan untuk menyediakan ruang informasi tentang fakta pelanggaran bagi korban. “Mereka juga perlu publikasi tentang korban diskriminasi. Selain itu, negara membutuhkan sistem pemulihan dan pendidikan toleransi,” ujar Sinta.

Sinta baru saja melaporkan hasil pemantauan tim di 40 kota dan kabupaten di 12 provinsi. Pemantauan ini berlangsung sejak Juni 2012 hingga 2013. Selama itu, Sinta telah melakukan wawancara dan diskusi kelompok dengan 407 narasumber yang terdiri atas 326 orang korban. Lalu ada anggota komunitas korban intoleransi, 48 aparat negara, 9 pelaku intoleran, dan 24 anggota organisasi masyarakat yang berada di sekitar lokasi pemantauan.

MITRA TARIGAN

Posted in Nasional, Persekusi, PerspektifComments (0)

Istri Gus Dur bela hak warga Syiah dan Ahmadiyah

“SEJAK tahun 2001 hingga akhir 2013 tercatat setidaknya 38 kebijakan daerah yang terkait dengan pelarangan penyebarluasan ajaran Ahmadiyah di Jawa Barat dan Nusa Tenggara Barat,” kata Sinta.

SENIN, 22 DESEMBER 2014 | 18:02 WIB

TEMPO.CO, Jakarta – Ketua Pelapor Khusus Kebebasan Beragama dari Komnas Perempuan, Sinta Nuriyah Wahid, mengkritik negara terlibat dalam hal penghakiman atas keyakinan. Sinta bercerita, pada 15 Januari 2008, negara membentuk Badan Koordinasi Pengawasan Aliran Kepercayaan Masyarakat (Bakorpakem) yang berwenang melakukan pengawasan terhadap keberadaan organisasi dan kelompok aliran keagamaan. (Baca: UGM Galang Dukungan Lawan Massa Anti-Film Senyap)

Bakorpakem pada 16 April 2008 menyatakan Ahmadiyah menyimpang dari Islam. “Sejak tahun 2001 hingga akhir 2013 tercatat setidaknya 38 kebijakan daerah yang terkait dengan pelarangan penyebarluasan ajaran Ahmadiyah di Jawa Barat dan Nusa Tenggara Barat,” kata Sinta. (Baca: Jokowi Diminta Buka Segel Gereja GKI Yasmin)

Sinta juga menyesalkan kebijakan pemerintah dalam menangani pengungsi yang terkait dengan sengketa agama. “Pengungsi yang mendapat akibat intoleransi contohnya adalah Ahmadiyah dan Syiah,” kata Sinta. Ia menyatakan hal ini dalam Laporan Pelapor Khusus Komnas Perempuan tentang Kekerasan dan Diskriminasi terhadap Perempuan dalam Konteks Pelanggaran Hak Konstitusional Kebebasan Beragama di Hotel Bidakara, Senin, 22 Desember 2014.

Pengungsi Ahmadiyah juga mengalami perampasan hak atas kemerdekaan beragama dalam hal hak atas jaminan rasa aman, hak atas kehidupan yang layak, serta hak atas properti dan bertempat tinggal. (Baca: 5 Lembaga Desak Jokowi Sikapi Ahmadiyah NTB)

Kantor urusan agama sebagai perpanjangan pemerintah dalam hal mengurus administrasi pernikahan juga menjadi salah satu tempat terjadinya intoleransi oleh negara. Sinta menjelaskan ada beberapa kelompok agama minoritas, salah satunya Ahmadiyah, yang merasa dipersulit dalam urusan pencatatan sipil.

“Mereka sulit mengakses layanan publik itu. Banyak kelompok Ahmadiyah yang diminta menyatakan dirinya secara Islam sebelum menikah di KUA,” ujarnya.

MITRA TARIGAN

Posted in Nasional, Persekusi, PerspektifComments (0)

Kasus Intoleransi Beragama;Sinta Nuriyah: Perempuan Pikul Beban Lebih Berat

image

Senin, 22/12/2014 15:29
Reporter: Hanna Samosir, CNN Indonesia

GAMBAR (ilustrasi): Sejumlah perempuan warga negara Indonesia (WNI) korban sindikat perdagangan manusia tiba di Bareskrim Mabes Polri, Jakarta, Rabu, 3 Desember 2014. Mereka diduga akan disalurkan ke beberapa negara di Timur Tengah. CNN Indonesia/Safir Makki

Jakarta, CNN Indonesia – Intoleransi beragama di Indonesia seolah masih terus menjadi bara api yang membakar banyak korban. Ketua Pelapor Khusus Kebebasan Beragama Komisi Nasional Perempuan, Sinta Nuriyah Wahid, menganggap bahwa perempuan sebagai korban memikul beban yang lebih berat.

Di awal penjelasannya, istri dari mendiang Presiden RI ke-4 Abdurrahman Wahid (Gus Dur) ini menyayangkan masyarakat yang kurang memerhatikan peran sentral perempuan dalam komunitas minoritas. Padahal, menurutnya perempuan justru menanggung beban yang lebih berat.

“Perempuan mengalami beberapa bentuk kekerasan, tidak hanya psikis, fisik, ekonomi, tapi juga seksual,” ujar Sinta dalam diskusi publik yang diselenggarakan di Jakarta, Senin (22/12).

Beban fisik, menurut Sinta, masih dapat dialami oleh pria. Namun, beban psikis dan seksual lebih berat dipikul oleh kamu perempuan.

“Ketakutan lebih besar. Tidak hanya dirinya, tapi juga anaknya. Mungkin buat laki-laki tidak terpikirkan sejauh itu,” katanya. Sinta menuturkan perempuan memiliki kewajiban moral untuk tetap mendidik anaknya tidak membenci pihak mayoritas.

Tak hanya itu, Sinta melihat bahwa para ibu memiliki tanggung jawab sendiri untuk memelihara perdamaian di lingkungan sekitar.

Lebih jauh lagi, dalam kasus Ahmadiyah dan Syiah di Sampang, Sinta menemukan banyak perempuan diancam akan diceraikan. “Itu akan menjadi beban moral, bagaimana ia menjadi janda,” tuturnya.

Selain itu, perempuan juga kerap mendapatkan diskriminasi. Hal pertama yang disorot adalah masalah pembedaan layanan kesehatan. “Dalam kasus Ahmadiyah, Baha’i, dan Syiah, banyak perempuan hamil digalangi untuk mendapatkan pelayanan yang baik,” papar Sinta.

Hambatan dalam proses pencatatan Akta Pernikahan juga dianggap sangat memberatkan perempuan. “Kalau itu lama dikeluarkan, akan ada stigma masyarakat bahwa dia perawan tua. Keterlambatan hamil juga berisiko besar bagi wanita,” kata Sinta.

Yang tak kalah penting, menurut Sinta, adalah pencerabutan sumber nafkah bagi perempuan kaum minoritas. Sering kali, perempuan yang suaminya menjadi korban pengeroyokan seperti dalam kasus Ahmadiyah mendapatkan diskriminasi dari tempat kerja. “Saat mencari kerja, orang akan menganggap ia berasal dari kelompok yang tidak sepatutnya mendapatkan hak seperti orang lain,” tutur Sinta.

Di akhir pemaparannya, Sinta berkata, “Semoga bara ini tidak membakar hangus, tapi bisa untuk membakar jagung.”

Menguatkan laporan Sinta, Wakil Ketua Komnas Perempuan Masrucha juga menilai perempuan menanggung beban yang sangat berat. “Beban fisik masih bisa ditahan, beban moral dan psikis adalah dua beban berat bagi peerempuan,” ujar Masrucha pada di acara yang sama.

Semua hal tersebut merupakan bagian dari hasil pemantauan Komnas Perempuan di 40 kota/kabupaten di 12 provinsi sejak Juni 2012 sampai Juni 2013. Pemantauan dilakukan dengan wawancara dan diskusi kelompok terfokus bersama 407 narasumber yang terdiri dari 326 korban, 48 aparat negara, 9 pelaku intoleran, dan 24 anggota organisasi masyarakat. Kasus utama yang diangkat menjadi potret umum adalah kasus Ahmadiyah, GKI Yasmin, HKBP Cikeuting, HKBP Filadelfia, Syiah, dan Baha’i.

Posted in Nasional, PerspektifComments (0)

Korban Kekerasan Paling Banyak Dialami oleh Perempuan

Senin, 22 Desember 2014 13:10 WIB

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Sinta Nuriyah Wahid, istri Presiden ke-4 RI, almarhumAbdurrahman Wahid (Gus Dur) menyebut kasus kekerasan dalam konteks pelanggaran hak kebebasan agama paling banyak merugikan kaum perempuan.

“Kekerasan yang dialami perempuan bukan saja kekerasan psikis, tetapi fisik, ekomoni dan kekerasan seksual,” kata Sinta di Hotel Bidakara, Jakarta, Senin (22/12/2014).

Menurut Ketua Pelapor Khusus Komisi Nasional Perempuan tentang Kekerasan dan Diskriminasi dalam konteks Pelanggaran Hak Kebebasan Beragama ini, konflik-konflik bernuansa agama menimbulkan trauma yang panjang bagi korban termasuk bagi kalangan ibu dan anak-anak.

Dalam kasus kekerasan yang melibatkan perempuan dan anak, Sinta menjabarkan kelompok kaum perempuan dari kelompok Ahmadiyah tercatat paling banyak menjadi korban kekerasan yakni sekitar 46 orang, kelompok Gereja tercatat di urutan kedua dengan korban mencapai 33 orang.

Sementara untuk kalangan Syiah 15 orang, Baha’i enam orang dan kaum minoritas lain sebanyak dua orang, sehingga sekitar 301 korban dari perempuan yang mengalami kekerasan dan diskriminasi.

“Faktor kekerasan yang paling mengalami, paling merasakan adalah kaum perempuan, dari yang kebanyakan orang bayangkan selama ini,” kata Sinta.

Pemantauan yang dilakukan oleh Pelapor khusus ini dilaksanakan pada Juni 2012 hingga Juni 2013 di 12 provinsi dan 40 Kabupaten atau Kota di Indonesia.

Mengenai pengumpulan data, menggunakan metode kualitatif dan wawancara mendalam kepada 326 korban dan anggota komunitas korban.

Posted in Nasional, PerspektifComments (0)

istri_gus_dur_bela_ahmadiyah

Istri Gus Dur Bela Hak Warga Syiah dan Ahmadiyah

SENIN, 22 DESEMBER 2014 | 18:02 WIB

TEMPO.COJakarta - Ketua Pelapor Khusus Kebebasan Beragama dari Komnas Perempuan, Sinta Nuriyah Wahid, mengkritik negara terlibat dalam hal penghakiman atas keyakinan. Sinta bercerita, pada 15 Januari 2008, negara membentuk Badan Koordinasi Pengawasan Aliran Kepercayaan Masyarakat (Bakorpakem) yang berwenang melakukan pengawasan terhadap keberadaan organisasi dan kelompok aliran keagamaan.

Bakorpakem pada 16 April 2008 menyatakan Ahmadiyah menyimpang dari Islam. “Sejak tahun 2001 hingga akhir 2013 tercatat setidaknya 38 kebijakan daerah yang terkait dengan pelarangan penyebarluasan ajaran Ahmadiyah di Jawa Barat dan Nusa Tenggara Barat,” kata Sinta. (Baca: Jokowi Diminta Buka Segel Gereja GKI Yasmin)

Sinta juga menyesalkan kebijakan pemerintah dalam menangani pengungsi yang terkait dengan sengketa agama. “Pengungsi yang mendapat akibat intoleransi contohnya adalah Ahmadiyah dan Syiah,” kata Sinta. Ia menyatakan hal ini dalam Laporan Pelapor Khusus Komnas Perempuan tentang Kekerasan dan Diskriminasi terhadap Perempuan dalam Konteks Pelanggaran Hak Konstitusional Kebebasan Beragama di Hotel Bidakara, Senin, 22 Desember 2014.

Posted in Nasional, PerspektifComments (0)

Pengungsi Ahmadiyah; Ombudsman: Jokowi mesti contoh Gus Dur dalam kasus Ahmadiyah

Home / Nasional / Berita Peristiwa
Tri Wahyuni, CNN Indonesia | Senin, 08/12/2014 14:15 WIB

Jakarta, CNN Indonesia — Ombudsman Republik Indonesia (ORI) meminta Presiden Joko Widodo untuk menyelesaikan persoalan pengungsi jemaat Ahmadiyah. ORI menilai selama ini penanganan pengungsi Ahmadiyah masih jauh dari visi misi Nawa Cita Jokowi.

Anggota Ombudsman Bidang penyelesaian Laporan dan Pengaduan, Budi Santoso, mengatakan Jokowi perlu membuktikan Revolusi Mental yang digembar-gemborkan selama masa kampanye untuk menyelesaikan persoalan Ahmadiyah.

“Kalau dilihat Nawa Cita itu keinginan kuat bahwa negara harus hadir di semua persoalan masyarakat,” katanya dalam Peluncuran Laporan Tim Gabungan Advokasi Untuk Pemulihan Hak-Hak Pengungsi Ahmadiyah di Nusa Tenggara Barat (NTB) di Gedung Ombudsman, Jakarta, Senin (8/12).

Dalam persoalan Ahmadiyah, Budi melihat absennya peran negara sehingga nasib jemaat masih jauh dari ideal untuk menjalani kehidupan secara normal. Hal tersebut, katanya, terutama pemenuhan hak dasar seperti administrasi kependudukan untuk akses pendidikan.

Sejauh ini, pihaknya telah berupaya memberikan pemenuhan hak dasar tersebut. Namun, hal itu dinilai belum cukup. Budi berharap negara bisa hadir di tengah pengungsi Ahmadiyah untuk mengupayakan hak dasar memeluk keyakinan yang dipilih.

Lebih jauh lagi, Budi menilai persoalan intoleransi merupakan persoalan yang mesti diselesaikan oleh negara. “Mudah-mudahan dalam persoalan Ahmadiyah Jokowi bisa meniru sikap Gusdur yang jelas dan tegas keberpihakan pada minoritas, suku dan agama,” ujar dia.

Tim Gabungan Advokasi terdiri atas beberapa lembaga penggiat Hak Asasi Manusia (HAM) dan keadilan sosial seperti Komnas HAM, Komisi Nasional Anti Kekerasan Terhadap Perempuan (Komnas Perempuan), Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI), Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) dan Ombudsman RI. “Kami mendesak Presiden Jokowi menjadikan isu perlindungan hak atas kebebasan beragam dan berkeyakinan sebagai agenda prioritas,” ujar dia.

Sementara itu, Jayadi Damanik dari Komnas HAM mengatakan hingga saat ini perilaku diskriminasi terhadap pengungsi jemaat Ahmadiyah di NTB meningkat. Perilaku diskriminatif tersebut dilakukan mulai dari pejabat publik hingga aparat kepolisian. “Saya melihat dan mendengar sendiri pejabat pemerintahan di sana berkata,’Agama saya Islam. Bagi saya Ahmadiyah itu sesat,” kata dia mengutip pernyataan pejabat bersangkutan.

Berdasarkan penelusuran tim Gabungan Advokasi, ditemukan beberapa catatan diskriminasi terhadap pengungsi jemaat Ahmadiyah yang perlu mendapatkan perhatian serius pemerintah, diantaranya gugatan status hukum pernikahan terhadap perempuan yang menikah dengan orang non-Ahmadiyah, ancaman perkosaan dan pelecehan seksual, penyerangan dan pengusiran, serta sulitnya mengurus Kartu Tanda Penduduk, akta nikah, kartu keluarga hingga pembedaan rapor siswa warga Ahmadiyah.

Hingga kini, tercatat jumlah pengungsi Ahmadiyah di Nusa Tenggara Barat mencapai 200 pengungsi atau 42 Kepala Keluarga yang terpencar di daerah Transito dan Praya. (utd/sip)

Posted in Nasional, PerspektifComments (0)

Membedah hukum dewasa ini

Oleh Prof J.E. Sahetapy(*)
HukumOnline.com

SAYA perlu menyebut beberapa pelanggaran HAM berat agar tidak kelupaan dan semoga bisa diselesaikan dalam waktu dekat ini oleh Pemerintah Jokowi-JK: 1. Kelompok Syiah terusir dari desa Karangayam, Kecamatan Omben dan desa Bluuran, Kecamatan Karangpenang, Sampang di Madura; 2. Kelompok Ahmadiyah terkatung-katung di pengungsian di Asrama Transito, Mataram, Lombok; 3. Penyegelan Gereja Kristen Indonesia Yasmin di Bogor, Jawa Barat (sudah 5 tahun); 4. Izin pendirian Masjid Baluplat di NTT (3 tahun); 5. Penyegelan Gereja HKBP di Bekasi (2 tahun) di Jawa Barat (sumber Kompas 2 November 2014).

SENIN, 01 DESEMBER 2014

Harus terus dibina dan dipupuk budaya malu seperti di Jepang dan budaya rasa bersalah seperti di Eropa.

Bergen kan men zien, maar het recht kan men niet zien.
(Gunung-gunung dapat dilihat, tetapi hukum tidak dapat dilihat)

L.J. van Apeloorn (1954)

TIDAK dikandung maksud untuk membedah hukum secara holistik. Itu tidak mungkin dilakukan di atas kertas beberapa lembar ini. Yang dibedah hanyalah hukum pidana ; itupun dari perspektif kriminologi dan viktimologi. Pernah ditulis oleh Vrij, Guru Besar hukum pidana Belanda (tahun lupa), bahwa “De kriminologie riep het strafrecht tot de werkelijkheid” (Kriminologi menyadarkan hukum pidana akan kenyataan yang ada). Hal inipun dilakukan dalam tulisan ini dalam segenggam dari perspektif kriminologi dan viktimologi dalam konteks implementasi.

Sejak Proklamasi 17 Agustus 1945 hingga runtuhnya Orde Baru yang diperjuangkan oleh para mahasiswa, dalam garis besar dalam segenggam, hukum pidana dalam implementasinya, untuk meminjam lagi ungkapan Van Apeldoorn (1954) ialah ”Wanneer wij het recht zo zien: als ordening der menselijke levensverhoudingen, dan krijgen ook de dode wetsartikelen voor ons een andere betekenis” (Apabila kami melihat hukum demikian: sebagai penataan dari hubungan kehidupan kemanusiaan, maka juga pasal-pasal mati undang-undang yang kita dapati mempunyai arti yang lain).

Tidak dikandung maksud untuk mengangkat dan membedah kembali, apalagi menggali pengalaman-pengalaman yang menyedihkan, yang merisaukan hati dan pikiran pada waktu itu, yang bukan saja memperkosa kebenaran dan keadilan, tetapi juga HAM seolah-olah di-”desavoueer” atau tidak diakui. Untuk itu bertalian dengan implementasi hukum, juga yang dilakukan di dan oleh pengadilan, pada waktu itu saya menggunakan ungkapan ”power by remote control”.

Sampai pada suatu tahap dan aras tertentu, hal itu yaitu pelanggaran HAM masih berlaku dan dengan frekuensi yang menakjubkan. Mustahil alat-alat negara dan aparat penegak hukum tidak tahu, apalagi Presiden SBY. Kalau pelanggaran HAM di Miami, Amerika Serikat direspon oleh Presiden SBY dengan wawancara di halaman istana negara demi konsumsi politik dalam negeri, maka ibarat pepatah: ”kuman di seberang lautan tampak, gajah dipelupuk mata tidak tampak”. Ini yang disebut politik pencitraan yang munafik alias mencla-mencle. Bahkan kasus HAM yang sudah ”in kracht van gewijsde” oleh Mahkamah Agung RI tidak digubris oleh SBY sebagai ”commander in chief RI”.

Secara menyolok meskipun KPK telah membantai orang-orang terhormat di jajaran pemerintahan, di Senayan sampai di daerah-daerah luar Jawa dan disiarkan oleh semua media pers, masih belum tampak juga bahwa fenomena korupsi itu telah berakhir atau selesai. Kata orang Negeri Kincir Angin: ”voor hoe lang nog!” (masih berapa lama lagi), meskipun disadari bahwa itu baru puncak gunung es. Sudah demikian parahkah mental dan rusaknya budaya bangsa ini !? Simak berita kompas (11-11-14) : “Meski Bergaji Besar Pegawai Tetap Korupsi”. Jadi inikah ”mafia negara” atau ”negara mafia”.

Dan Presiden-Presiden setelah Soeharto lebih banyak ”mendandani” diri dan kelompoknya, belum tampak ada gebrakan yang keras dan tegas terhadap korupsi. Gus Dur mungkin sebagai Presiden perkecualian sampai melabel Senayan sebagai taman kanak-kanak, cahaya harapan kebersihan tanpa korupsi di ufuk timur belum tampak terbit juga. Kemudian muncul pahlawan dengan sejumlah janji dalam bakul politik pencitraan. Sayang, sampai pada ”de laatste stuiptrekken” alias ”nafas terakhir” sehingga muncul dua kubu politik seperti tidak kenal alias lupa pada ”Weltanschauung” Pancasila, SBY seperti terus keliru bermain kartu as politiknya. Dalam jagad media sosial muncul plesetan SBY yaitu antara lain ”Shamed By You”. Apakah ini sebagai ”Blunder sepuluh syarat keramat” (Gatra 2-8 Oktober 2014), entahlah!

Setelah Orde Baru tumbang, HAM seperti terus diperkosa, dan meskipun dipajang politik pencitraan yang mencla-mencle oleh SBY, saya perlu menyebut beberapa pelanggaran HAM berat agar tidak kelupaan dan semoga bisa diselesaikan dalam waktu dekat ini oleh Pemerintah Jokowi-JK:

  1. Kelompok Syiah terusir dari desa Karangayam, Kecamatan Omben dan desa Bluuran, Kecamatan Karangpenang, Sampang di Madura.
  2. Kelompok Ahmadiyah terkatung-katung di pengungsian di Asrama Transito, Mataram, Lombok.
  3. Penyegelan Gereja Kristen Indonesia Yasmin di Bogor, Jawa Barat (sudah 5 tahun).
  4. Izin pendirian Masjid Baluplat di NTT (3 tahun).
  5. Penyegelan Gereja HKBP di Bekasi (2 tahun) di Jawa Barat (sumber Kompas 2 November 2014).

Tidak perlu ditanya data masa lampau. Aparat Sipil (Polisi) dan terutama militer tidak bisa begitu saja cuci tangan. Simak “konflik” yang oleh rakyat dirasakan terutama di Indonesia Timur khusus di Maluku seolah-olah direkayasa oleh dan dari Pusat.

Setelah Reformasi menjebol Orde Baru, diperkirakan akan ada “trace” baru. Ternyata pemain-pemain lama muncul kembali dengan topeng-topeng baru. Sebagian besar dari mereka adalah Sengkuni-Sengkuni lama dan ada pula yang baru, baik di kalangan pemerintahan maupun dan terutama di Senayan. Mereka bergaya dan ”ribut” dan seperti lupa ungkapan kolonial bahwa ”de pot verwijt de ketel” alias pantat belanga menuduh atau mengkritisi pantat wajan, padahal dua-dua sama hitamnya. Hal itu secara ”mutatis mutandis” terulang kembali di akhir pemilu yang baru lalu. Senayan seolah-olah menciptakan dua Blok. Sejarah seperti terulang!

Dunia kepolisian meskipun di bawah otoritas RI 1 dan Kejaksaan ”idem dito”, dua-dua sama payah dalam rangka memberantas dan mengadili korupsi. Saya lalu teringat kasus ”cicak lawan buaya”. Istilah deponering masih dipakai, padahal di Belanda sudah lama mengganti dengan istilah seponering. Kepolisian seperti sulit menyelesaikan kasus perut buncit yang kaya raya. Banyak ceritera yang tidak sedap tentang kejaksaan, dulu dan sejak kematian Jaksa Agung Lopa. Baik saja tidak cukup. Jaksa Agung harus berani. Kenakalan jaksa makin merisaukan berdasarkan pengaduan masyarakat yang diterima Komisi Kejaksaan. Selama 2013 terdapat 168 jaksa yang melanggar kode etik dan 18 jaksa dihukum berat dengan 5 orang dipecat. (Kompas 06-11-14).

Dalam berbagai dilema konstelasi pada waktu itu, muncul gagasan untuk menciptakan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Setelah mengalami perubahan undang-undang, ternyata KPK bisa menggebrak dengan segala kelemahan ”inhaerensi” yang ada padanya, meskipun ia seperti disabot dari dan di Senayan, juga pernah oleh pihak kepolisian. Beberapa akademisi murahan seperti ikut membantu dan menentang secara terselubung KPK, dan Menteri Hukum dan HAM seperti tidak mau membela ”lex specialis derogat legi generali” dengan alasan murahan bahwa RUU yang sudah diajukan pantang dicabut kembali. (cf. Tempo 02-03-14). Memang benar ungkapan kolonial : ”Zo heer, zo knecht”. Arti bebas : ”seperti majikannya yang mudah obral janji”. Teringat saya pada ”Blunder Sepuluh Syarat Keramat” (Gatra 2-8 Oktober 2014. Belum lagi soal ”Napi korupsi bebas berkeliaran” (Kompas 30-10-14)

Sepanjang saya telusuri bahan bacaan bertalian dengan korupsi, sangatlah menarik untuk dicatat ”para pejabat negara terkorup”. Menurut Advokat Indonesia News thn X, edisi 6, 2013, ada 19 orang : 1. Pejabat Kemenpora. 2. Mantan Kakorlantas Polri. 3. Mantan pegawai Dirjen Pajak Kementerian Keuangan. 4. Pejabat Kementerian Kehutanan Kepala Biro Perencanaan dan Keuangan Dephut. 5. Mantan Kabareskim Polri. 6 Mantan Pegawai Dirjen Pajak. 7. Mantan Bupati Buol. 8. Mantan Deputi Senior Bank Indonesia. 9. Mantan Gubernur Sumatera Utara. 10. Mantan Gubernur Bengkulu. 11. Mantan Gubernur Maluku Utara. 12. Mantan Walikota Bekasi. 13. Mantan Wakil Walikota Cirebon. 14. Mantan Bupati Subang. 15. Mantan Bupati Lampung Timur. 16. Mantan Gubernur BI. 17. Mantan Menteri Kelautan. 18. Mantan Walikota Salatiga. 19. Mantan Gubernur Bank Indonesia. Quo Vadis RI kita ini !?

Bayangkan 309 Kepala Daerah terjerat korupsi (MI, 9 Okt 2013). Keputusan hukum ternyata bisa dibeli. Di Jkt 83,8% percaya ; 69,2% di Jayapura percaya (Kompas 10 Okt 2005). 60.000 dosen tidak layak (Seputar Ind, 4 Sept 2008). Plagiat marak di kalangan dosen (Jawa Pos, 3 Okt 2013). Produksi 1.600 ijasah palsu (JP 14 Juni 2012). Kiyai mesum setubuhi 2 santriwati dan cabuli 5 korban (JP 20 Febr 2014). Siswi SMP di sekolah di Jkt Pusat diperkosa, lalu direkam 6 teman sekolah di depan siswi-siswi lain (JP 18 Okt 2013). Belum lagi tentang kasus Bank Century dan lain-lain yang belum sempat dicatat. Sekali lagi : Quo Vadis bangsa dan negara kita !

Saya ingin mengakhiri tulisan pendek ini dengan pengamatan saya bahwa Indonesia dewasa ini dalam keadaan anomie (Durkheim 1952 dan Merton 1957). Namun, tanpa lupa akan peringatan Adolph Quetelet (1835) bahwa ”Societies have the criminals they deserve”. Pemerintah sekarang ini harus memperkuat KPK dalam rangka memberantas korupsi sampai ke akar-akarnya, meskipun itu menyangkut (para) pejabat (ter) tinggi di masa lampau.

Sementara itu harus terus dibina dan dipupuk budaya malu seperti di Jepang dan budaya rasa bersalah seperti di Eropa. Mulailah menanam hal itu di taman kanak-kanak dan terus dipelihara di Sekolah Dasar. Kalau dimulai dari Sekolah Menengah, apalagi di Perguruan Tinggi, maka hal itu sudah terlambat. Ungkapan kolonial: “Men kan geen ijzer met handen breken” (Orang tidak bisa patah besi dengan tangan). Itu berarti: besi harus terus dipanasi, baru bisa dibengkokkan. Agama sejak kecil cukup dididik di rumah. Di sekolah, terutama di Sekolah Dasar ditanam mata pelajaran Budi Pekerti. Jangan lupa: “sehari selembar benang, lama-lama menjadi sehelai kain”.

_
(*) Ketua Komisi Hukum Nasional

(**) Tulisan ini disajikan untuk acara Dialog Hukum KHN-PSHK-ILUNI FHUI-Hukumonline “Pekerjaan Rumah Sektor Hukum Pemerintahan Jokowi-JK”, 19 November 2014.

Posted in Nasional, PerspektifComments (0)

Kolom agama dalam perspektif HAM

Kompas.com

Malah, tak sedikit yang dibunuh dan diusir. Warga Ahmadiyah dan Syiah mengalami hal itu sampai hari ini. Kita telah membuat diskriminasi dan segregasi!

Kamis, 27 November 2014 | 14:22 WIB

Oleh: Todung Mulya Lubis

KOMPAS.com – NANI Maryani Ramli, seorang perempuan, pada 1956 memiliki surat keterangan penduduk (belum disebut kartu tanda penduduk atau KTP) untuk Daerah Kota Praja Jakarta Raya. Di sana tak tersua kolom agama.

Yang ada hanya kolom nama, jenis kelamin, bangsa (suku), umur (tanggal kelahiran), tempat kelahiran, pekerjaan, dan alamat. Sama sekali tak ada kolom agama. KTP perempuan tersebut dikeluarkan Lurah Petojo dengan stempel kelurahan.

Di Surabaya pada 1958, Soemiati mendapat kartu penduduk warga negara Indonesia yang kolom-kolomnya lebih kurang sama: tak juga memiliki kolom agama. Saat itu tiada yang mempertanyakan mengapa tidak ada kolom agama sebab agama diper- lakukan sebagai kawasan pribadi, dalam arti: merupakan urusan manusia bersangkutan. Negara tak perlu tahu agama apa yang dianut seseorang.

Konsep kewargaan

Kolom agama kala itu tak ada karena, meski dalam jagat politik Indonesia, partai-partai Islam sangat kuat (Masyumi, NU, PSII, Persis, dan lain-lain). Banyak juga partai beraliran nasionalis, sosialis, dan komunis (PNI, PSI, PKI, Murba, dan lain-lain). Apakah tidak adanya kolom agama karena kesepahaman para pemimpin negeri yang menganggap agama bukan urusan negara? Atau, tak adanya kolom agama itu dikarenakan kompromi politik antarsemua kekuatan politik?

Tak ada yang bisa menjawab pasti. Namun, kita bisa berspekulasi bahwa pada zaman yang banyak diasosiasikan sebagai zaman liberal itu, turunannya adalah bahwa konsep kewargaan lebih diutamakan. Yang terpenting apakah seseorang itu warga negara atau bukan. Seorang warga negara bebas memeluk agama atau kepercayaan atau tak beragama sama sekali. Biarlah urusan agama itu terpulang kepada manusia bersangkutan. Nyatanya, pabrik masyarakat kita tetap kukuh meski isinya kumpulan manusia dari beragam agama dan ideologi politik. Negeri ini tetap utuh. Kohesi sosial terjaga.

Kapan isu agama muncul dalam kebijakan pemerintah? Pada 1965, melalui UU No 1/PNPS/1965 tentang Penyalahgunaan dan Penodaan Agama, disebutkan dalam penjelasannya bahwa agama yang dipeluk penduduk di Indonesia adalah Islam, Kristen, Katolik, Hindu, Buddha, dan Konghucu. Tak salah apabila orang menafsirkan, adanya pengakuan negara terhadap agama tertentu ini dipicu juga oleh ketakutan atas bahaya komunisme yang dianggap tak beragama.

Tuduhan kudeta oleh PKI saat itu membuat mutlaknya seseorang memiliki agama jadi penting. Mereka yang tak beragama akan mudah sekali dituduh sebagai komunis dan ditangkap atau hilang. Pertanyaannya: bagaimana dengan agama lainnya, seperti Ahmadiyah, Bahai, Yahudi, dan semua aliran kepercayaan?

Di sinilah diskriminasi itu bermula. Orang Tionghoa sejak 1967 dilarang melaksanakan upacara agama mereka secara terbuka. Lebih jauh dalam KTP tak boleh ada agama Konghucu dan orang Tionghoa harus menggunakan nama Indonesia, bukan nama Tionghoa. Mereka kehilangan hak-hak sipil mereka. Bayangkan, bagaimana nasib penganut agama dan kepercayaan lainnya?

Pengukuhan keberadaan agama yang diakui negara kembali dilakukan melalui Instruksi Presiden Nomor 1470 Tahun 1978 yang ditegaskan Surat Edaran Mendagri No 477/1978 yang intinya hanya mengakui lima agama: Islam, Kristen Katolik, Kristen Protestan, Hindu, dan Buddha. Selanjutnya, dalam Tap MPR No II/MPR/1998 dikatakan bahwa penganut kepercayaan tak boleh mengarah pada pembentukan agama baru dan sedapat mungkin diarahkan bergabung dengan salah satu agama yang diakui negara. Tiada tempat buat agama lain dan kepercayaan.

Baru pada 2000, 35 tahun kemudian, ketika Gus Dur menjadi Presiden, keluar Keppres No 6/2000 yang mengatakan bahwa upacara keagamaan penganut Konghucu bisa dilaksanakan secara terbuka tanpa memerlukan izin. Inilah salah satu produk reformasi yang penting. Sepertinya iklim kebebasan beragama sudah mulai tumbuh dan Presiden Gus Dur yang sangat pro kemajemukan memang memberi angin segar untuk tumbuhnya masyarakat yang pluralistis.

Namun, dalam praktik, iklim masyarakat yang pluralistis itu tidak sepenuhnya mulus. Dalam kartu identitas penduduk atau KTP, misalnya, dalam kolom agama, pemilik KTP tersebut harus mencantumkan agamanya dan agama tersebut harus salah satu dari agama yang diakui. Seorang penganut agama Bahai mengeluhkan bahwa dia tak boleh mencantumkan agama Bahai di kolom agama di KTP-nya. Dia harus menulis salah satu agama yang diakui oleh negara untuk memperoleh KTP itu.

Semua ini mempunyai dampak turunan: kesulitan mengurus dan mencatatkan perkawinan, kesulitan mendapatkan akta kelahiran anak, memperoleh pekerjaan, dan sebagainya. Diskriminasi disyahkan. Akibatnya, banyak orang yang memilih tidak mempunyai KTP. Lebih jauh, dalam masyarakat mereka, yang bukan berasal dari agama yang diakui akan dituduh sebagai tak beragama atau mengikuti aliran agama sesat.

Kebebasan beragama

Meski Reformasi sudah mulai sejak 1998 dan Indonesia memiliki jaminan hak asasi yang kuat untuk menjalankan agama dan keyakinannya, baik itu atas dasar UUD 1945 maupun Kovenan Hak Sipil dan Politik, persoalan kebebasan beragama ini tak mendapat jaminan. Banyak kasus ketika penganut agama minoritas dan agama yang tak diakui negara mengalami intimidasi, teror, dan kesulitan menjalankan agama mereka. Malah, tak sedikit yang dibunuh dan diusir. Warga Ahmadiyah dan Syiah mengalami hal itu sampai hari ini. Kita telah membuat diskriminasi dan segregasi!

Ihwal kolom agama yang harus diisi dengan agama yang diakui hanya satu soal, tetapi ini soal yang sangat mengganggu dan menghambat banyak orang yang mencari pekerjaan, mendapatkan pelayanan pemerintah, dan sebagainya. UU No 23/2006 tentang Administrasi Kependudukan sepertinya memberi jalan keluar dengan membolehkan kolom agama tak diisi dan mereka tetap bisa memperoleh KTP dan data mereka dicatat dalam database kependudukan.

Namun, dalam praktik, kolom agama itu dipaksakan diisi. Sedi- kit yang berani melawan. Syukur- lah, Menteri Dalam Negeri Tjahjo Kumolo membikin gebrakan dengan mengatakan bahwa kolom agama itu tidak perlu diisi. Mendagri memulihkan kembali hak warga negara memilih agama mereka dan tak perlu mencatatkannya dalam dokumen apa pun, termasuk KTP.

Langkah Mendagri ini terbilang maju walau seyogianya Mendagri harus melangkah selangkah lagi: menghapus saja kolom agama pada KTP. Harus diakui bahwa pencantuman kolom agama ini sangat mungkin menjadi sumber diskriminasi, dan sebagai negara yang mengakui semua warga negara bersamaan kedudukannya dalam hukum, merupakan kewajiban kita menghilangkan semua peluang terjadinya diskriminasi.

Seandainya secara statistik negara memerlukan data mengenai jumlah penganut setiap agama, data itu bisa diperoleh melalui berbagai survei dan sensus yang secara berkala dilaksanakan.

Perihal kolom agama ini tak perlu diperdebatkan terlalu panjang. Kebanyakan negara di dunia, termasuk negara tetangga dan negara Timur Tengah, tidak punya kolom agama dalam KTP mereka. Kebijakan tentang KTP tanpa kolom agama bukanlah sesuatu yang ahistoris.

Todung Mulya Lubis
Ketua Dewan Pendiri Imparsial

Posted in Kemanusiaan, Nasional, PerspektifComments (0)

Page 1 of 212

@WartaAhmadiyah

Tweets by @WartaAhmadiyah

http://www.youtube.com/user/AhmadiyahID

Kanal Youtube

 

Tautan Lain


alislam


 
alislam


 
alislam


 
alislam

Jadwal Sholat

shared on wplocker.com