W3vina.COM Free Wordpress Themes Joomla Templates Best Wordpress Themes Premium Wordpress Themes Top Best Wordpress Themes 2012

Tag Archive | "Ombudsman"

Bogor Mayor Bima says GKI Yasmin church not recognized by Christian authority

SOME see GKI Yasmin’s Kafkaesque plight as instructive of a wider problem of religious intolerance in Indonesia where local government heads contrive to stifle religious minorities’ freedom of expression using labyrinthine planning regulations — forcing local churches and Ahmadiyah mosques, for example, to go through a protracted legal battle to obtain recognition.

JAKARTA GLOBE; by Vento Saudale on 11:16 pm Dec 23, 2014

Bogor, West Java. The row over a ban on a church congregation from holding a service on Christmas Day continued on Tuesday as Bogor Mayor Bima Arya Sugiarto said the GKI Yasmin church was not recognized by the umbrella Christian organization.

“GKI Pengadilan does not recognize GKI Yasmin,” Bima said. “So, there is no such thing as the GKI Yasmin congregation.”

GKI Yasmin obtained a permit to open a church in Bogor in 2006, but the permit was later revoked by the municipal government following pressure from local hard-line Islamic groups. The building was eventually sealed by local authorities in 2010.

But a Supreme Court ruling later overruled the local authority decision, compelling Bima to reopen the church — something he has hitherto failed to do, previously citing unspecified reasons.

“I said [the church would not be allowed to conduct a Christmas service] based on the recognition of the official church organization, GKI Pengadilan, as the mother organization for Christian church congregations in Bogor,” Bima said on Tuesday.

Bima added that a lack of space was the problem, and that his decision was not a transparent attempt to curry favor with intolerant local Sunni Muslims — a view his critics have frequently aired. The current location had space for only 800 worshippers and that the church required a larger venue, he said.

Bima said he did not wish to prevent anyone from practicing their chosen faith and that his government would aim to find an alternative site for the worshippers.

“So don’t make it out as if this is a violation of religious freedom,” the mayor said. “It certainly is not. It’s [GKI Pengadilan] that proscribes them, so who’s being stubborn now?”

Bima said the city administration and GKI Pengadilan would meet to try and find a long-term solution. In the meantime, however, the congregation must not hold any service in public because it may disrupt public order, he said.

GKI Yasmin spokesperson Bona Sigalingging said that the GKI Yasmin congregation would stick to their plan to conduct Christmas service at their now-sealed church.

Bona said Bima was repeating the same line used by former Bogor mayor Diano Budiarto.

It was not up to the mayor to interfere or be guided by the internal politics of the churches, Bona said.

“We only hope that Bima Arya will focus on obeying the Supreme Court ruling and the ombudsman’s recommendation,” Bona said. “Those rulings have nothing to do with GKI’s internal situation.”

The latest incident is another setback for a congregation that has been forced to go to the country’s highest court in search of recognition.

Since 2012, scores of GKI Yasmin congregation members have held prayer meetings outside the State Palace to raise awareness that their house of worship remained sealed despite rulings from the Supreme Court and the Indonesian ombudsman.

Some see GKI Yasmin’s Kafkaesque plight as instructive of a wider problem of religious intolerance in Indonesia where local government heads contrive to stifle religious minorities’ freedom of expression using labyrinthine planning regulations — forcing local churches and Ahmadiyah mosques, for example, to go through a protracted legal battle to obtain recognition.

Church officials and worshippers repeatedly claimed that their pleas to previous president Susilo Bambang Yudhoyono to intervene fell on deaf ears — GKI Yasmin had hoped that newly elected President Joko Widodo would step in over what they see as a clear rejection of a Supreme Court order by an elected mayor, who had previously said that he hoped to handle the church dispute differently to his predecessor.

“How can we just let Bogor be — like it’s not a part of the Republic of Indonesia and the Supreme Court and Ombudsman decisions can be safely ignored?” GKI Yasmin spokesman Bona said in November.

Posted in Nasional, Persekusi, PerspektifComments (0)

beda-perlakuan-penuh-tekanan-derita-komunitas-ahmadiyah-2

Beda perlakuan penuh tekanan

Merdeka.com – Beginilah nasib pengungsi Ahmadiyah di di asrama Transito, Mataram, Lombok Barat, dan gedung bekas rumah sakit di Praya, Lombok Tengah, Nusa Tenggara Barat, menurut laporan gabungan tim advokasi untuk pemulihan hak-hak pengungsi Ahmadiyah. Perempuan dan anak-anak paling rentan tertekan.

Lantaran tidak memiliki akte kelahiran, anak-anak di Transito terganjal saat masuk sekolah. Mereka pun terkena cap buruk, seperti sepuluh siswa Sekolah Dasar Negeri 42 Mataram. Di buku rapor mereka ada tulisan Rapor Anak-anak Ahmadiyah.

Sejumlah anak di pengungsian Transito pada masa awal menerima perlakuan berbeda ketika mendaftar ke sekolah dasar. Mereka diuji membaca Alquran. Tapi syarat tes itu tidak berlaku bagi anak-anak non-Ahmadiyah.

Para perempuan Ahmadiyah juga mengalami penurunan kondisi mental dan kejiwaan. Tidak tahan melihat langsung pembakaran rumah milik mereka, ada yang sampai stres hingga dirawat beberapa hari di rumah sakit jiwa di Mataram. Empat perempuan Ahmadiyah mengaku mengalami kekerasan seksual saat penyerbuan.

Seorang perempuan jamaah Ahmadiyah memiliki gudang pisang dan kelapa di Pasar Bertais, Lombok Barat, tidak bisa berjualan karena ada ancaman gudangnya akan dirusak. Dia kemudian menitipkan usahanya kepada seseorang namun akhirnya ditipu.

“Rekomendasi tim gabungan lima lembaga negara itu merupakan hasil penemuan bersama mendapati sejumlah temuan hilangnya hak-hak dasar pengungsi Ahmadiyah,” kata Ombudsman. Ancaman pemerkosaan dan pelecehan seksual di tempat pengungsian, penyerangan, serta pengusiran berulang terhadap pengungsi.

Selama di pengungsian tidak ada bantuan kesehatan bagi mereka. Perempuan Ahmadiyah menyampaikan mereka tidak memiliki sumber kehidupan layak untuk melanjutkan masa depan. Mereka juga mudah tertekan lantaran kesulitan usaha padahal tuntutan biaya pendidikan anak dan kebutuhan keluarga terus meningkat.

Posted in Nasional, PersekusiComments (0)

tersiksa-karena-agama-derita-komunitas-ahmadiyah-1

Tersiksa karena agama

Merdeka.com – Sewindu sudah kehidupan mereka tidak menentu. Penantian mereka hidup normal seperti masyarakat lain seperti jauh panggang dari api. Sebagian malah mencaci, menghujat, membunuh kehadiran mereka. Tak ada perhatian khusus buat pengungsi komunitas Ahmadiyah di Pulau Lombok.

Mereka telah mengalami berbagai tekanan mental sekaligus fisik. Terbiasa berpindah-pindah hunian sejak 2006 hingga sekarang. Cuma ada dua pengungsian buat mereka di gedung Transito, Mataram, Lombok Barat, dan eks rumah sakit, Lombok Tengah, Nusa Tenggara Barat. Kondisi pengungsian tidak layak dihuni manusia membikin miris.

Laporan tim gabungan advokasi berisi Ombudsman, Komisi Nasional Hak Asasi Manusia, Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban, Komisi Perlindungan Anak Indonesia, Komisi Nasional Antikekerasan terhadap Perempuan, menyebut pada 19 Oktober 2005 terjadi penyerangan atas jamaah Ahmadiyah di Dusun Ketapang, Desa Gegerung, Lingsar, Lombok Barat. Di sana terdapat 33 keluarga penganut Ahmadiyah berada dalam satu rukun tetangga.

Penyerbuan dilakukan oleh delapan kampung sekitar. Mereka membakar dan meratakan rumah pemeluk Ahmadiyah. Dalam setahun itu sudah empat kali massa menghujam Kampung Ketapang. Berlalu seperempat dasawarsa mereka mulai mengungsi di gedung Transito sampai detik ini.

Berawal dari selebaran menghasut, kejadian serupa juga menimpa komunitas Ahmadiyah di Desa Prapen, Praya, Lombok Tengah, berawal dari selembaran mengalami hal serupa. Akibatnya, 16 keluarga meliputi 27 lelaki dan 31 perempuan terpaksa bermukim di gedung bekas rumah sakit Praya.

Pengungsi di gedung Transito hanya menempati ruangan bersekat kain dan kardus pemisah satu keluarga dengan keluarga lain. Selama di gedung usang itu, sampai hari ini tercatat ada 146 pengungsi dari 33 keluarga. Sebanyak 22 anak telah lahir, enam orang menikah, dan enam meninggal.

Tak lebih baik di Praya. Mereka harus membersihkan sendiri lokasi pengungsian. Saban keluarga menempati satu ruangan seluas 3×5 meter persegi dengan kamar mandi di dalam. “Persoalan ini bisa terjadi lantaran beberapa hal, seperti keputusan bersama kurang efektif untuk menangani konflik Ahmadiyah.”

Mereka terkatung-katung. Jangankan kembali menjalani kehidupan normal, harta dan pekerjaan mereka sudah sirna.

Posted in Nasional, PersekusiComments (0)

Tak ada kepastian hukum bikin warga Ahmadiyah cemas

Tri Wahyuni, CNN Indonesia | Selasa, 09/12/2014 05:40 WIB

Jakarta, CNN Indonesia — Pengungsi jemaat Ahmadiyah hingga kini masih mengalami diskriminasi. Hal itu juga didukung dengan lemahnya perlindungan hukum bagi kelompok minoritas tersebut.

Wakil Ketua Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) Lili Pintauli Siregar mengatakan jemaat Ahmadiyah mengalami banyak persoalan terkait penyelesaian hukum.

“Ketidakjelasan status penyelesaian hukum terkait penyerangan, pengusiran dan acaman tidak juga didapatkan jemaat,” kata Lili dalam Peluncuran Laporan Tim Gabungan Advokasi Untuk Pemulihan Hak-Hak Pengungsi Ahmadiyah di Nusa Tenggara Barat (NTB) di Gedung Ombudsman RI, Senin (8/12).

Lili mengatakan proses penegakkan hukum atas persoalan yang dialami kelompok minoritas Ahmadiyah mandeg. Selain itu, tidak ditemukan petugas yang biasanya mendampingi persoalan hukum jemaat Ahmadiyah.

Dia juga menilai aparat penegak hukum tidak serius dalam menangani dan menuntaskan laporan yang dialami jemaat Ahmadiyah. Hal tersebut berdampak secara signifikan terhadap jaminan perlindungan hukum.

Tidak adanya kepastian hukum, kata Lili, menimbulkan kekhawatiran terus menerus pada warga Ahmadiyah. Paslanya, setiap tahun terjadi penyerangan secara berulang.

“Hal ini juga bisa merusak citra penegak hukum karena masyarakat jadi apatis,” ujar dia.

Pihaknya kemudian mengharapkan agar kepolisian daerah NTB bisa memberikan kepastian hukum atas penyerangan yang dialami jemaat Ahmadiyah serta memberikan perlindungan hukum agar warga bisa memiliki rasa aman.

Berbicara dalam kesempatan yang sama, anggota Ombudsman Bidang Penyelesaian Laporan dan Pengaduan, Budi Santoso, membenarkan adanya kelambanan dalam proses hukum terhadap kelompok intoleran.

“Ombudsman akan mendorong terciptanya penegakkan hukum termasuk pemenuhan kebutuhan hak dasar dan akses atas keadilan,” ujar dia.

Lebih jauh lagi, Budi mengatakan penyebab dari mandegnya proses hukum adalah akibat pola pikir penegak hukum yang menganggap aliran Ahmadiyah itu sesat.

“Padahal menentukan sesat atau tidak sesat bukan domain penegak hukum. Akhirnya mereka jadi semena-mena,” kata dia.

Berdasarkan penelusuran tim Gabungan Advokasi, ditemukan beberapa catatan diskriminasi terhadap pengungsi jemaat Ahmadiyah yang perlu mendapatkan perhatian serius pemerintah, diantaranya gugatan status hukum pernikahan terhadap perempuan yang menikah dengan orang non-Ahmadiyah, ancaman perkosaan dan pelecehan seksual, penyerangan dan pengusiran, serta sulitnya mengurus Kartu Tanda Penduduk, akta nikah, kartu keluarga hingga pembedaan rapor siswa warga Ahmadiyah.

Hingga kini, tercatat jumlah pengungsi Ahmadiyah di Nusa Tenggara Barat mencapai 200 pengungsi atau 42 Kepala Keluarga yang terpencar di daerah Transito dan Praya.

(utd/sip)

Posted in Nasional, Persekusi, PerspektifComments (0)

Komnas Perempuan: Perempuan Ahmadiyah kerap dapat ancaman perkosaan

Satu Islam, Jakarta – Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) menyoroti akibat sikap intoleran. Wakil Komnas Perempuan, Masruchah melihat sering ditemukan kekerasan gender terhadap pengungsi Ahmadiyah di Nusa Tenggara Barat.

“Pengungsi jemaah Ahmadiyah di Nusa Tenggara Barat sering mendapat penyerangan dari kelompok-kelompok tertentu selama sembilan tahun terakhir,” ujar Masruchah.

Masruchah mengatakan perempuan di pengungsian sering mendapat perlakuan tindak kekerasan. Hal ini berdasarkan pemantauan tim gabungan investigasi untuk pemulihan hak-hak pengungsi Ahmadiyah di NTB.

Menurut Masruchah, saat terjadi penyerangan, perempuan-perempuan Ahmadiyah seringkali mendapat ancaman kekerasan dan perkosaan.

“Bahkan di wilayah publik dengan nilai-nilai patriakal di masyarakat yang memposisikan perempuan sebagai objek seksual,” kata Masruchah di Kantor Ombudsman Republik Indonesia, Jakarta, Senin 8 Desember 2014.

Selain itu, perempuan Ahmadiyah juga mengalami penurunan terhadap akses kehidupan layak. Ia menyebut, perempuan kerap mengalami gangguan dan ancaman ketika berjualan di pasar.

Perempuan tersebut juga kesulitan mengakses bantuan kesehatan karena dihadapkan dengan persoalan keyakinan beragama.

“Mereka (perempuan) Ahmadiyah juga terus mengalami pengusiran dan hidup berpindah karena tidak adanya jaminan keamanan secara penuh dari negara,” ujar Masruchah.

Posted in Nasional, Persekusi, PerspektifComments (0)

Pelayanan publik terhadap kaum minoritas dinilai masih diskriminatif

BeritaSatu.com

Jakarta – Pelayanan publik terhadap kelompok minoritas di Indonesia dinilai masih diskriminatif. Hal itu diutarakan dalam Laporan Tim Gabungan Advokasi untuk Pemulihan Hak-hak Pengungsi Ahmadiyah di NTB yang dilakukan oleh lima lembaga yaitu, Komnas HAM, LPSK, KPAI, Komnas Perempuan, dan Ombudsman.

“Dari sisi pelayanan publik, Ombudsman memastikan kehidupan warga negara yang layak, kalau tidak ada pelayanan kami akan campur tangan,” kata Asisten Senior Ombudsman Dominikus Dallu, di Kantor Ombudsman, Jakarta, Senin (8/12).

Menurutnya, negara belum melaksanakan kewajibannya dalam konteks memberikan pelayanan keamanan bagi setiap warga negara termasuk Ahmadiyah. Salah satu indikatornya adalah lambannya pelayanan Kartu Tanda Penduduk (KTP) yang diberikan kepada kelompok Ahmadiyah di NTB.

“Mereka mendapat KTP saat mendekati pemilu legislatif lalu. Jadi, ketika negara sedang butuh menghadapi pemilu, urusan administrasi mereka dipermudah. Tetapi ketika mereka butuh administrasi, negara mempersulit,” jelasnya.

Dominikus berpandangan, pengungsi Ahmadiyah di NTB memiliki hak mendapatkan pelayanan publik. Baik pelayanan administrasi pendidikan, surat keterangan catatan kepolisian, akte kelahiran, serta kartu-kartu dari program pemerintah.

Komisioner Komnas HAM Jayadi Damanik menjelaskan, perlakuan diskriminatif terhadap kelompok Ahmadiyah dilakukan oleh pejabat publik dan aparat polisi. Kesimpulan dari hasil laporan tim gabungan terhadap 200 pengungsi yang terdiri dari 42 kepala keluarga yang tersebar di daerah Transito dan Praya, NTB sejak 2007 pemerintah diusulkan untuk memasukan temuan-temuan di lapangan sebagai bahan dalam Rancangan Undang-undang Perlindungan Kebebasan Beragama.

Penelusuran tim gabungan juga menemukan, catatan diskriminasi terhadap pengungsi Ahmadiyah berupa gugatan status hukum pernikahan terhadap perempuan yang menikah dengan orang non-Ahmadiyah, ancaman perkosaan, pelecehan seksual, penyerangan, dan pengusiran.

Komisioner Komnas Perempuan Masruchah menyebutkan, perempuan Ahmadiyah kerap mendapatkan pelecehan seksual ketika terjadi intimidasi di rumah-rumah mereka. “Perempuan Ahmadiyah mendapat ancaman kekerasan dan perkosaan saat terjadi penyerangan. Begitu pula dengan anak-anak, yang mendapatkan diskriminasi saat di sekolah harus dikeluarkan dari sekolahnya karena diketahui sebagai warga Ahmadiyah,” katanya.

Selain masalah dalam mengurus KTP akta nikah, kartu keluarga hingga pembedaan rapor siswa warga Ahmadiyah juga dinilai dipersulit.

Penulis: E-11/NAD
Sumber: Suara Pembaruan

Posted in Nasional, PerspektifComments (0)

Perempuan Ahmadiyah NTB, mengalami diskriminasi karena keyakinan

mmdnewssyndicate; 09/12/2014 MUKHOTIB MD

PEREMPUAN Ahamdiyah NTB telah mengalami pemiskinan. Mereka diusir berulang kali dari tempat tinggal, sehingga kehilangan sumber penghidupan terutama kebun, sawah, rumah dan tempat usaha. “Perempuan juga kesulitan memulai usaha yang baru karena tidak ada jaminan keamanan,” kata Masruchah, Wakil Ketua Komnas Perempuan, saat peluncuran Laporan Tim Gabungan Advokasi Jamaah Ahmadiyah Nusa Tenggara Barat (NTB) di kantor Ombudsman, kemarin (08/12/2014).

Temuan yang lain, perempuan Ahmadiyah mengalami penurunan atas akses kehidupan layak. Mereka kerap kali mengalami gangguan dan ancaman ketika berjualan di pasar, karena keyakinannya Ahmadiyah. Mereka tak bisa mengakses bantuan pemerintah karena tidak memiliki KTP.

Selain itu, kata Masruchah, perempuan Ahmadiyah kesulitan mengakses bantuan kesehatan. Mereka selalu menghadapi berbagai pertanyaan mengenai tempat tinggal di pengungsian. “Pada akhirnya pertanyaan tentang keyakinannya Ahmadiyah,” katanya.

Tim Gabungan ini, selain beranggotakan Komnas Perempuan, juga Komnas HAM, Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI), Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) dan Ombudsman Republik Indonesia.

Lili Pintauli (LPSK), yang hadir sebagai narasumber mengatakan, “Polda NTB agar memberikan kepastian hukum kepada Jamaah Ahmadiyah, dan memberikan perlindungan rasa aman terhadap pengungsi Ahmadiyah di NTB”.

Menurut Maria Ulfah (KPAI) perempuan dan anak menghadapi keterbatasan terhadap akses pemulihan dan pemenuhan hak-hak dasarnya selama masa pengungsian. Dampaknya ke anak, misalnya, sulit melakukan pengurusan hak akte kelahiran anak, hak kesehatan termasuk hak pendidikan karena anak ikut dipindahkan sekolahnya “Masih terjadi diskriminasi dalam pelayanan publik,” katanya.

Persoalan yang dihadapi Jamaah Ahmadiyah dan terjadinya kekerasan dan menjadi pengungsi di negeri sendiri sejak 1996, menurut Masruchah, sebagai implikasi dari keyakinan yang dianggap tidak benar. Konflik terjadi karena nilai-nilai patriarki yang masih besar.

Posted in Nasional, Persekusi, PerspektifComments (0)

Activists to meet with Indonesian president over displaced Ahmadiyya

UCANEWS.com

HUMAN rights activists said Monday they will be pushing President Joko Widodo to find a solution to the Ahmadiyya refugee situation during a planned meeting set to coincide with Human Rights Day on December 10.

Rights groups say that hundreds of refugees forced to stay in a shelter in Mataram, West Nusa Tenggara, for the past eight years now, have had their basic rights violated.

“We want the issue to be discussed in a special way with president so that he will pay intensive attention to it,” Budi Santoso, a member of the Ombudsman’s Report and Complaint Desk, told ucanews.com on Monday in his office in Jakarta after the launch of a report on the Ahmadiyya refugees’ situation.

The 58-page report was written by the Joint Advocacy Team for Restoration of the Rights of Ahmadiyya Refugees in West Nusa Tenggara following a seven-month investigation. The team includes the Ombudsman as well as the National Commission on Human Rights (Komnas HAM), National Commission on Violence against Women, National Commission on Child Protection, and Witness and Victim Protection Agency.

“We will call on the president to return them to their village,” Santoso said.

At least 33 families, or 146 followers, of the Ahmadiyya sect have remained in the shelter since 2006, when they were evacuated from their village in West Lombok district because they were accused by hardline Islamists of having tainted Islam.

“We are still staying in a refugee camp, which only has plywood and cloth as partitions. This is where we sleep, cook and do our daily activities,” Irma Nurmayanti, an Ahmadiyya refugee, told ucanews.com.

In the report, the human rights monitors recommend that Widodo and Vice President Jusuf Kalla should prioritize protection of freedom of religion.

The Ahmadiyya refugees’ situation is indicative of poor implementation of religious freedom in the predominantly Muslim country, according to Jayadi Damanik from Komnas HAM.

“The main cause is the low awareness of tolerance and also the weak implementation of law enforcement,” he told ucanews.com.

Commenting on the activists’ remarks, Muhammad Yasin from the religious affairs ministry claimed that the government has taken efforts to raise awareness of tolerance.

“The results cannot be seen yet,” he admitted. However, he promised that “we will find a solution to the issue”.

Posted in Nasional, Persekusi, PerspektifComments (0)

Ombudsman: Jokowi harus selesaikan masalah jemaah Ahmadiyah

Aryo | Selasa, 09-12-2014 | 10:02 WIB

Covesia.com – Persoalan keberadaan jemaat Ahmadiyah hingga saat ini masih menimbulkan sejumlah polemik disejumlah daerah. Oleh karena itu, Ombudsman Republik Indonesia (ORI) meminta Presiden Joko Widodo (Jokowi) untuk dapat menyelesaikan masalah tersebut.

Anggota Ombudsman Bidang penyelesaian Laporan dan Pengaduan, Budi Santoso, mengatakan Jokowi harus bisa menuntaskan masalah keberadaan jemaah Ahmadiyah yang dianggap sangat sensitif tersebut, seperti yang dilakukan oleh mantan Presiden Abdurrahaman Wahid (Gusdur) yang jelas dan tegas keberpihakan pada minoritas, suku dan agama.

“Kami mendesak Presiden Jokowi menjadikan isu perlindungan hak atas kebebasan beragam dan berkeyakinan sebagai agenda prioritas,” ujar dia seperti dilansir dari laman ombudsman.go.id, Selasa (9/12/2014).

Saat ini ada beberapa daerah yang keberadaan jemaah Ahmadiyah menjadi persolaan bahkan menimbulkan konflik, salah satunya di Nusa Tenggara Barat.

Tercatat jumlah pengungsi Ahmadiyah di Nusa Tenggara Barat mencapai 200 pengungsi atau 42 Kepala Keluarga yang terpencar di daerah Transito dan Praya.

Berdasarkan penelusuran tim Gabungan Advokasi, ditemukan beberapa catatan diskriminasi terhadap pengungsi jemaat Ahmadiyah yang perlu mendapatkan perhatian serius pemerintah, diantaranya gugatan status hukum pernikahan terhadap perempuan yang menikah dengan orang non-Ahmadiyah, ancaman perkosaan dan pelecehan seksual, penyerangan dan pengusiran, serta sulitnya mengurus Kartu Tanda Penduduk, akta nikah, kartu keluarga hingga pembedaan rapor siswa warga Ahmadiyah.(ary)

Posted in Nasional, PerspektifComments (0)

5 lembaga desak Jokowi sikapi Ahmadiyah NTB

SENIN, 08 DESEMBER 2014 | 16:40 WIB

TEMPO.CO, Jakarta – Anggota Komisi Nasional Hak Asasi Manusia, Jayadi Damanik, mengatakan 137 warga menjadi pengikut Ahmadiyah di Nusa Tenggara Barat hingga saat ini masih mengalami diskriminasi. Masalah ini membuat Komnas HAM dan empat lembaga negara meminta Presiden Joko Widodo menuntaskan masalah tersebut. (Baca: 7 Tahun Terusir, Warga Ahmadiyah Tak Punya KTP)

“Kami akan segera melayangkan surat, dan mengadakan pertemuan dengan Jokowi untuk memprioritaskan nasib Ahmadiyah di NTB,” ujar dia, saat ditemui di kantor Ombudsman, Kuningan, Jakarta. Pengikut Ahmadiyah diusir delapan tahun lalu dari kampung halamannya, Dusun Ketapang, Desa Gegerung, Kecamatan Lingsar, Kabupaten Lombok Barat, dan kini mengungsi di Asrama Transito, Nusa Tenggara Barat, Mataram.

Selain Komnas HAM, lembaga negara lain adalah Komisi Nasional Anti-Kekerasan Terhadap Perempuan, Komisi Perlindungan Anak Indonesia, Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban, dan Ombudsman RI. Mereka membentuk Tim Gabungan Investigasi untuk Pemulihan Hak-hak Pengungsi Ahmadiyah di NTB. (Baca: MUI NTB Usul Ahmadiyah Dibekukan)

Selain meminta perhatian Jokowi, mereka pun akan menyampaikan rekomendasi kepada Pemerintah Provinsi NTB untuk membuat solusi atas hilangnya hak dasar kaum minoritas.

Menurut Jayadi, penduduk Ahmadiyah kerap mengalami diskriminasi seperti kesulitan mengurus kartu tanda penduduk, akta surat nikah, kartu keluarga, dan rapor sekolah. Mereka pun kerap mengalami ancaman perkosaan dan pelecehan seksual di lingkungan pengungsian.

Masalah yang menimpa kaum Ahmadiyah, kata Jayadi, disebabkan oleh surat keputusan bersama tiga menteri yang tidak berjalan efektif untuk menyelesaikan konflik Ahmadiyah. Peran kepolisian yang belum berhasil mengamankan dan melindungi pengungsi. “Gubernur NTB malah memaksakan kaum Ahmadiyah untuk berpindah agama. Itu diskriminasi,” kata Jayadi.

Pada pemerintahan sebelumnya, bekas Menteri Agama Surya Dharma Ali meminta warga Ahmadiyah tidak lagi menyebut agamanya Islam. Sementara itu, kaum Ahmadiyah sudah berulang kali bersurat untuk meminta keputusan pemerintah terkait dengan status agamanya. Padahal, orang-orang Ahmadiyah yakin ajaran mereka bagian dari Islam.

Mereka mengaku tidak mendapat haknya sebagai warga negara seperti Jaminan Kesehatan Masyarakat dan Bantuan Langsung Sementara Masyarakat

PERSIANA GALIH

Posted in Nasional, Persekusi, PerspektifComments (0)

Page 1 of 212

@WartaAhmadiyah

Tweets by @WartaAhmadiyah

http://www.youtube.com/user/AhmadiyahID

Kanal Youtube

 

Tautan Lain


alislam


 
alislam


 
alislam


 
alislam

Jadwal Sholat

shared on wplocker.com