W3vina.COM Free Wordpress Themes Joomla Templates Best Wordpress Themes Premium Wordpress Themes Top Best Wordpress Themes 2012

Tag Archive | "Prabowo"

KontraS rilis catatan pelanggaran HAM era Presiden SBY

“Misalnya, kasus Ahmadiyah dan pelarangan beribadah terhadap kaum minoritas lainnya. Tapi SBY mendiamkan organisasi lainnya yang melakukan kekerasan,” kata Chrisbiantoro di kantor KontraS, Jakarta Pusat, Minggu (24/08/2014).

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA – Ketua Biro Penelitian Hukum dan HAM Kontras Chrisbiantoro menuturkan banyak pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) yang dilakukan semasa dua periode Pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY).

Dalam catatan KontraS, Pemerintahan SBY kerap bertindak diskriminatif terhadap kelompok minoritas yang terjadi di beberapa tempat. Hal tersebut terlihat bagaimana sikap pemerintah mentolerir kelompok lain yang melakukan kekerasan.

“Misalnya, kasus Ahmadiyah dan pelarangan beribadah terhadap kaum minoritas lainnya. Tapi SBY mendiamkan organisasi lainnya yang melakukan kekerasan,” kata Chrisbiantoro di kantor KontraS, Jakarta Pusat, Minggu (24/08/2014).

Menurutnya, SBY tidak melakukan ketegasan normatif dalam beberapa hal seperti su pelanggaran HAM di Papua. Hal ini terganjal karena ketegasan pelaksanaan hukum terkait distribusi lahan berbeda dengan aturan hukum yang disetujuinya.

“Ketegasan pun sangat diskriminatif, parsial dan tanpa kontrol, tetapi tidak bisa melakukan perlindungan terhadap kaum minoritas,” terangnya.

Selain itu, sambung Chrisbiantoro, tidak ada upaya rekonsialisasi pada kondisi korban dan masyarakat terkait kejahatan HAM. Reformasi peradilan terhadap aktor keamanan tidak berjalan dengan baik.

Hal ini tampak dengan beberapa pelaku utama yang melenggang bebas seperti Prabowo Subianto, Hendropriyono dan pelaku kekerasan lainnya yang seakan kebal hukum. “Ini bukti bahwa pemerintahan SBY tidak melakukan penegakan HAM dengan baik,” katanya.

Penulis: Arif Wicaksono
Editor: Y. Gustaman

_
Berita lain yang ada hubungannya dengan HAM: EraBaru.net.

Posted in Nasional, Persekusi, PerspektifComments (0)

Obama puji demokrasi Indonesia

…MESKI Indonesia punya reputasi sebagai negara Muslim moderat dan sukses dalam memerangi teroris, namun AS selama ini cemas atas kegagalan pemerintah dalam mencegah persekusi atas kelompok agama minoritas, seperti Kristen, Syiah dan Ahmadiyah.

_
Deutsche Welle
INDONESIA

PRESIDEN Barack Obama segera memberi selamat kepada presiden terpilih Indonesia Joko Widodo, pada Rabu lalu, meski kandidat yang kalah yakni Prabowo Subianto menolak hasil dan akan mengajukan gugatan ke pengadilan.

_
TRANSISI kekuasaan damai di Indonesia, negara berpenduduk Muslim terbesar sekaligus negara demokrasi ketiga terbesar dunia, berkebalikan dengan tren mencemaskan di kawasan, yang ditandai dengan kecurangan pemilu dan campur tangan militer.

Satu tahun terakhir, terjadi perselisihan terkait hasil pemilu di Malaysia dan Kamboja, di mana akhir pekan ini kubu oposisi akhirnya sepakat mengakhiri boikot di parlemen. Thailand, yang pernah menjadi contoh kemajuan demokrasi, menghadapi masa paling represif kekuasaan militer selama beberapa dekade terakhir. Pemerintahan otoriter masih bertahan di Laos dan Vietnam, sementara reformasi kelihatannya mandek di bekas negara pariah Myanmar.

Perubahan politik berjalan relatif mulus di Indonesia, negara terbesar Asia Tenggara, selama satu setengah dekade terakhir. Munculnya Joko Widodo mencerminkan seberapa jauh Indonesia telah melangkah sejak revolusi rakyat menumbangkan kekuasaan diktator Orde Baru pada 1998.

Jokowi, Gubernur Jakarta berusia 53 tahun, adalah kandidat pertama dalam pemilihan presiden langsung yang tidak ada kaitan dengan Suharto. Ia menang dengan selisih 8 juta suara atas Prabowo, bekas jenderal yang pernah menjadi menantu orang kuat Orde Baru tersebut.

Meski ada laporan mengenai beberapa kejanggalan, namun pemerintah Amerika Serikat yang dari dekat ikut mengamati proses menyatakan pemilihan presiden itu berjalan demokratis.

Ingin lebih dekat dengan Indonesia

Menteri Luar Negeri AS, John Kerry memberi selamat kepada Jokowi segera setelah pengumuman hasil resmi Rabu lalu, dan beberapa jam kemudian Obama menelepon presiden terpilih Indonesia itu. Obama mengatakan, menurut pernyataan yang dikeluarkan Gedung Putih, bahwa “melalui pemilihan yang adil dan bebas ini, rakyat Indonesia sekali lagi menunjukkan komitmen mereka kepada demokrasi.”

AS di bawah Obama belakangan “menyeimbangkan kembali“ kebijakan luar negerinya dengan lebih banyak menengok ke Asia, termasuk Indonesia. Obama tercatat dua kali mengunjungi Indonesia, negara tempat ia pernah tinggal pada masa kecil.

Kedua negara mengumumkan kemitraan komprehensif pada 2010 dan bekerjasama dalam beberapa bidang termasuk kesehatan, lingkungan, pendidikan dan diplomasi regional. Washington mendorong Indonesia sebagai pemimpin Asia Tenggara untuk mengintegrasikan ekonomi kawasan dan mengatasi Cina yang berkonflik dengan beberapa negara Asia Tenggara terkait klaim Laut Cina Selatan.

Indonesia berusaha menjaga keseimbangan strategis antara Amerika dan Cina, dan kelihatannya itu akan berlanjut pada era kepresidenan Jokowi, meski ia tidak banyak memberi sinyal mengenai arah diplomasi Indonesia. Kesempatan pertama Jokowi untuk bertemu Obama kemungkinan akan terjadi pada KTT Asia Timur yang akan diselenggarakan di Myanmar pada November mendatang.

Bekas eksportir furnitur, memenangkan dukungan mayoritas rakyat berkat gayanya yang orisinal. Ia akan memimpin 240 juta rakyat Indonesia melewati masa sulit, di tengah melambatnya pertumbuhan ekonomi, naiknya nilai subsidi BBM telah memaksa pemotongan anggaran negara, dan infrastruktur yang buruk.

Plus minus

Meski punya demokrasi, tapi Indonesia punya masalah korupsi yang kronis. Negara ini berada di peringkat 114 dari 171 negara dalam Indeks Persepsi Korupsi 2013 yang dilakukan Transparency International.

Para pejabat AS telah menyampaikan kecemasan terkait hambatan bagi investasi asing dan menguatnya nasionalisme dalam kebijakan sumberdaya alam yang menghasilkan kebijakan yang membatasi gerak investor asing dalam bidang pertambangan minyak dan gas.

Dan meski Indonesia punya reputasi sebagai negara Muslim moderat dan sukses dalam memerangi teroris, namun AS selama ini cemas atas kegagalan pemerintah dalam mencegah persekusi atas kelompok agama minoritas, seperti Kristen, Syiah dan Ahmadiyah.

Namun kemenangan Jokowi setidaknya telah memenangkan satu isu penting, terkait masalah hak asasi manusia, kata Doug Paal, yang pernah menjabat direktur urusan Asia di Gedung Putih pada masa kepresidenan Ronald Reagan dan George H. W. Bush. Tuduhan yang dilaporkan menyebabkan Prabowo ditolak masuk ke Amerika. (Baca: Hantu Bernama Masa Lalu)

“Itulah keunggulan awal Jokowi,” kata Paal, menambahkan: “(Jokowi) Tidak ada warisan untuk didetoksifikasi.“

ab/hp (afp,ap,rtr)

Posted in NasionalComments (0)

Voting against Indonesia’s religious intolerance

INDONESIAN Christians aren’t the only targets of discrimination by local government officials. On June 26, regency officials in Ciamis, West Java, sealed an Ahmadiyah mosque on the basis that Ahmadis are “heretics” and “blasphemous”. Syaiful Uyun, an Ahmadiyah imam, told Human Rights Watch that local governments in West Java have ordered the closure of at least 37 other Ahmadiyah mosques over the past six years.

PICTURE caption: “An Ahmadiyah mosque in Ciamis in West Java. The mosque management took down their name board after a West Java govertment bans Ahmadiyah activities in 2011. Ciamis is located in southeastern West Java. Totally there are 37 Ahmadiyah mosques in trouble in the area because of violence and government discrimination.” –Andreas Harsono; Facebook.com

_
Human Right Watch

Author: Andreas Harsono
Published in: MalaysiaKini

PROTESTANT church congregations in Singkil regency in Indonesia’s Aceh province in northern Sumatra are in the market for new video hardware.

But they did not source wide-screen televisions to view 2014 World Cup matches or the candidate debates for Indonesia’s July 9 presidential election.

Instead, the 10 churches wanted closed circuit television cameras (CCTV) to defend against possible arson attacks by violent Islamist militants.

Those church congregations have reason to be afraid during this election season. Pastor Erde Berutu, the minister of one of the Singkil congregations seeking CCTV cameras, told Human Rights Watch that memories of an arson attack on a Protestant church in Aceh’s Gunung Meriah area after the April 2012 local elections made the camera purchases an urgent priority.

Unknown attackers broke into the church in the early hours, doused the church pulpit, pews and walls with gasoline and then set them alight.

Berutu worries that the aftermath of the looming July 22 announcement of the results of the country’s presidential election between Jakarta Governor Joko Widodo and retired General Prabowo Subianto might foster tensions that could lead to similar violence.

For Malaysians more familiar with Indonesia’s national slogan of ‘unity in diversity’ accounts of fearful church congregations bracing for arson attacks by Islamist militants might come as a surprise.

Intolerance eating way at harmony

But behind the Indonesian government’s rhetoric of “religious harmony” in the world’s most populous Muslim nation, there has been steady erosion in Indonesia’s tradition of religious tolerance in recent years.

The result? Indonesia’s religious minorities are increasingly under threat by Islamist militants and a government that refuses to defend their constitutional guarantees of religious freedom.

Across Indonesia, Muslim minorities, including Ahmadiyah, Shia and Sufi, as well as Catholic and Protestant groups, are targets of harassment, intimidation, threats and, increasingly, acts of mob violence.

The perpetrators are Sunni Islamist militant groups such as the Islamic Defenders Front (FPI).

They mobilise gangs that swarm minority houses of worship. The groups’ leaders justify such thuggery as attacks against “infidels” and “blasphemers”.

Indonesia’s Setara Institute, which monitors religious freedom in Indonesia, documented 220 cases of violent attacks on religious minorities in 2013, an increase from 91 such cases in 2007.

Escalation in reported cases of religious violence against minorities in Indonesia:

YEAR CASES
2007 91
2008 257
2009 181
2010 216
2011 242
2012 264
2013 220

Source: Setara Institute

Recent incidents expose the human toll behind such statistics. On May 29, about a dozen robed Islamist militants attacked a Catholic prayer service at a private home in the ancient Javanese city of Yogyakarta.

The attackers inflicted serious injuries, including broken bones, on the home owner, three of his neighbours and a journalist.

Attacks on religious minorities can also come from government officials. On May 15, municipal government officials informed the congregation of the Pentecost Church in Rancaekek, near Bandung, West Java, that their church building would be immediately and forcibly renovated into a private residence.

Pentecost Church pastor Bennhard Maukar told Human Rights Watch that the pending destruction of the church building comes three years after the local government sealed the church as an “illegal” structure.

Indonesia’s 2006 national Decree on Houses of Worship gives local governments the power to approve the construction of houses of worship but it is not clear whether the government has the authority to demolish existing structures it disapproves of.

The decree routinely results in discriminatory construction prohibitions against religious minorities. In Aceh, it is even used to prevent Christian congregations from painting or undertaking renovations of their houses of worship.

Indonesian Christians aren’t the only targets of discrimination by local government officials. On June 26, regency officials in Ciamis, West Java, sealed an Ahmadiyah mosque on the basis that Ahmadis are “heretics” and “blasphemous”. Syaiful Uyun, an Ahmadiyah imam, told Human Rights Watch that local governments in West Java have ordered the closure of at least 37 other Ahmadiyah mosques over the past six years.

The government of President Susilo Bambang Yudhoyono, who leaves office in October after 10 years in power, has been part of the problem.

Feeding the fire of discord

Officials and security forces frequently facilitate harassment of religious minorities, in some cases even blaming the victims for the attacks.

Authorities have made blatantly discriminatory statements, refused to issue building permits for houses of worship, and pressured minority congregations to relocate.

Police have sided with Islamist militants at the expense of the rights of minorities, ostensibly to avoid violence.

In some cases, police colluded with the attackers for religious, economic or political reasons.

In other instances, they lacked clear instructions from above or felt outnumbered by militants.

In all cases though, the poor police response reflects institutional failure to uphold the law and hold perpetrators of violent crimes to account.

The Religious Affairs Ministry, the Coordinating Board for Monitoring Mystical Beliefs in Society under the Attorney-General’s Office, and the semi-official Indonesian Ulama Council have all issued decrees and fatwas against members of religious minorities and pressed for the prosecution of “blasphemers.”

Advice to new president

Such behaviour contravenes the International Covenant on Civil and Political Rights, which Indonesia became a party to in 2005.

The winner of Indonesia’s presidential election on July 9 should make a decisive break with the Yudhoyono government’s failure to support and protect the rights of religious minorities.

The new presiden, whether Joko (left) or Prabowo, can, and should, revoke laws facilitating religious discrimination, as well as ensure the prosecution of all those implicated in criminal threats or violence against religious minorities. To prove he’s serious, he needs to adopt a “zero tolerance” approach to religious vigilantism.

Indonesia’s partners in the Association of South-East Asian Nations (Asean) can play an important role in protecting Indonesia’s religious minorities.

They can start by making it clear to the winner of the presidential election that a key element of healthy bilateral relations between Indonesia and Asean countries is respect for the rights of religious minorities.

Asean governments should be unequivocal that official tolerance for Islamist militant thugs is an impediment to building a stronger Asean community.

Failure to do so will only ensure that more of Indonesia religious minorities will live in fear of arson attacks – or worse – upon their houses of worship.

_
Andreas Harsono is the Jakarta-based Indonesia researcher for Human Rights Watch

Posted in Nasional, PersekusiComments (0)

Ini janji capres untuk tuntaskan intoleransi

JAWABAN.com

SEPANJANG kepemimpinan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, beragam kasus intoleransi sudah kerap terjadi. Sebut saja pelanggaran kebebasan berkumpul kelompok minoritas seperti Kristen, Ahmadiyah, Syiah dan Bahai.

Untungnya, persoalan ini mendapat perhatian dari pasangan Capres dan Cawapres Prabowo-Hatta dan Jokowi-Jusuf Kalla (JK). Dalam kesempatan kampanyenya, keduanya berjanji memfokuskan diri dalam penuntaskan beragam kasus intoleransi yang marak dihadapi kaum minoritas. Berikut janji masing-masing pasangan capres-cawapres bila dipercayakan memimpin Indonesia nanti.

Prabowo-Hatta – Siap tuntaskan kasus GKI Yasmin

Melalui Wakil Ketua Dewan Pembina Partai Gerindra Hashim Djojohadikusumo, mengatakan bahwa Prabowo telah berjanji akan menuntaskan kasus GKI Yasmin yang hingga kini masih menggantung. Ia mengaku Prabowo adalah pribadi yang menjunjung tinggi pluralisme dan Pancasila. Ia bahkantelah membuktikan tindakan itu dengan mengusung Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) yang notabene berlatar belakang double minority (beragama Kristen dan etnis Tionghoa) menjadi Wakil Gubernur DKI Jakarta. Selain itu, dirinya juga turut andil dalam penyelamatan TKI Wilfrida yang notabene beragama Katolik.

“Bahwa sesungguhnya kakak saya (Prabowo) menghargai agama dan warga negara lain. Prabowo dari dulu komit tentang agama. Dari dulu yang minta Ahok memimpin Jakarta adalah Prabowo, saya menentang, tapi pak Prabowo ngotot, dan saya sangat khawatir dengan kasus intoleransi yang marak terjadi”.

“Prabowo sudah janji sama saya dan kawan-kawan, Gereja Yasmin akan diselesaikan. Sudah tiga tahun lalu, sudah lama. Saya pun sedih sekali,” kata Hashim seperti dilansir Merdeka.com, Selasa (17/6) lalu.

Selain itu, hal senada juga disampaikan Prabowo dalam kampanyenya di kota Manado pada Selasa, 17 Juni 2014 kemarin. Sebagai mantan prajurit, dirinya mengaku menghargai keberagaman suku, agama dan ras di Indonesia dan bukan anti agama tertentu.

Jokowi-JK – Siap lindungi kaum minoritas

Kubu pasangan Jokowi-JK menyampaikan komitmennya untuk menghapuskan kolom agama di Kartu Tanda Penduduk (KTP) bila terpilih nanti. Pengamat Politik Universitas Indonesia, Boni Hargens menilai, langkah ini akan menjadi terobosan baru yang belum pernah dilakukan pemimpin-pemimpin sebelumnya. Sehingga Jokowi dapat menunjukkan bahwa dirinya adalah tokoh yang menghargai pluralisme di Indonesia.

Usulan penghapusan kolom agama ini ditegaskan oleh anggota tim pemenangan Capres dan Cawapres Jokowi-JK, Musdah Mulia. Penghapusan ini dinilai efektif untuk menghindari konflik antar agama di Indonesia.

Idealnya, sudah menjadi tanggung jawab seorang pemimpin untuk menuntaskan segala bentuk persoalan yang terjadi di tengah-tengah bangsa. Bila pemerintahan sebelumnya tampaknya vakum dan abai dengan persoalan intoleransi di bangsa ini, maka Presiden baru nantinya diharap dapat membawa angin segar bagi kebebasan beragama di tanah air.

Posted in UncategorizedComments (0)

Antara ‘Rakyat’ dan ‘Publik’: Politik Komunikasi Pemilu 2014

WALAUPUN tidak jelas Indonesia harus ‘diselamatkan’ dari ‘siapa’/’apa’?, tetapi slogan ini justru efektif untuk melancarkan dua alat propaganda lainnya. Pertama adalah ‘pembentukan ‘musuh’ bersama’. Slogan ini cair, artinya di depan kaum Islamis garis keras seperti FPI, musuh yang dibuat adalah Muslim Syiah, Ahmadiyah, orang Cina, kaum Nasrani; di depan ‘rakyat’, musuh adalah pengusaha neoliberal, ‘para pencuri uang rakyat’ dll; sementara di depan kaum nasionalis, musuh yang dibayangkan adalah segala bentuk ancaman dari luar/asing.

IndoProgress.com

SETELAH perang dunia pertama (1914-1918), ada harapan besar untuk perubahan di Italia. Melihat suksesnya kaum pekerja di Rusia menggulingkan kekejaman rezim Tsar, rasa optimisme menjalar dalam semangat rakyat kelas bawah, bahwa perubahan yang sama akan terjadi di Italia. Pertentangan antara kelas penguasa dan rakyat meningkat sengit, sementara rakyat aktif bergerak dengan berkumpul, mogok dan demonstrasi. Di tengah intensitas ‘kekacauan’ ini, kelas penguasa bangkit dan, dengan memanfaatkan sentimen nasionalisme, berjanji akan memulihkan ketertiban dan keamanan dan mengembalikan kemakmuran bangsa. Mereka menang dan berhasil menempatkan rezim fasis di bawah kepemimpinan Benito Mussolini. Masyarakat umum dan aktivis, yang tadinya aktif, terkooptasi. Ada yang diintimidasi para penguasa, ada juga yang terpikat oleh daya tarik retorika fasis. Dari balik penjara, Antonio Gramsci, salah satu aktivis yang menentang penguasa, menghabiskan waktunya memikirkan kegagalan pergerakan rakyat ini. Mengapa dan bagaimana, Gramsci bertanya, pergerakan yang sangat berpotensi ini bisa digagalkan oleh kelas penguasa?

Pemilu 2014 di Indonesia diliputi perasaan yang mirip dengan masa ‘kekacauan’ yang dihadapi Italia, tepat sebelum rezim Mussolini berkuasa. Setelah tumbangnya rezim Suharto enam belas tahun silam, semangat perubahan reformasi mulai diliputi rasa pesimis. Sementara wajah-wajah Orde Baru kembali bermunculan dalam panggung politik bersekutu dengan sebagian para elit reformasi. Sementara itu, sebagian mantan aktivis 1998 yang dulu menentang orde baru berbondong-bondong berbalik mendukung persekutuan ini. Bagaimana kita memahami konfrontasi politik antara berbagai kelompok—pro Prabowo, pro Jokowi dan Golput—sebagai potret masyarakat kita saat ini dan bagaimana pemahaman ini membantu kita menjelaskan kebutuhan pergerakan sekarang?

Enam dari total sembilan tahun masa pemenjaraannya,Gramsci menghabiskan waktunya untuk bergelut dengan pertanyaan di atas. Konsep ‘hegemoni’ adalah salah satu buah pikiran yang ia kembangkan dalam Prison Notebooks untuk menjawab pertanyaan tersebut. Hegemoni, menurut Gramsci, adalah kepemimpinan politik berdasarkan konsensus (consent), atau persetujuan, mereka yang dipimpin. Konsensus ini didapatkan dengan menyebarkan dan mempopulerkan pandangan kelas penguasa, membuatnya sebagai nalar wajar (common sense) dan mereproduksikannya kembali sebagai kewajaran dan kalau bisa kebutuhan masyarakat itu sendiri. Peran masyarakat sipil—seperti gereja/mesjid, sekolah, seni dan media—sangat besar dalam proses ini. Karena kepemimpinan bergantung pada konsensus masyarakat, segala bentuk kekerasan berupa kekuatan militer dan polisi diminimalisir. Kekerasan negara hanya akan dibutuhkan ketika melalui konsensus hegemoni penguasa tidak lagi dapat dicapai. Dengan konsep ini, Gramsci berhasil menjelaskan bahwa, meskipun didukung oleh kepentingan elit yang bejat, pemikiran-pemikiran fasis justru populer karena disyiarkan dengan kata-kata manis yang seolah masuk akal.

Mesin penggerak hegemoni adalah propaganda. Propaganda merupakan alat komunikasi penting yang membentuk opini publik. Propaganda membentuk sikap, tindakan dan pikiran masyarakat. Medium utamanya adalah media massa. Bentuk propaganda bermacam-macam, ada mitos, simbol, retorika dan lain lain (lihat ‘Panduan Analisis Propaganda Pemilu 2014’). Propaganda seringkali juga menggunakan ‘kebenaran’ dan ‘ilmu pengetahuan’ dengan memanipulasinya atau dengan menggunakan kebenaran sepihak. Contoh kasus dalam pemilu 2014 adalah survei-survei polling yang tidak jelas akurasi datanya. Oleh karena itu, ‘fitnah’ dan ‘kampanye hitam’ hanyalah sebagian kecil teknik yang digunakan dalam propaganda. Untuk memahami pertarungan hegemoni di Indonesia, kita akan memahami propaganda tim Prabowo vs. tim Jokowi dan menjelaskan fenomena sosiologi macam apa yang ada dalam masyarakat kita.

Kita mulai dengan propaganda tim Prabowo. Slogan retorika tim Prabowo adalah ‘selamatkan Indonesia’. Walaupun tidak jelas Indonesia harus ‘diselamatkan’ dari ‘siapa’/’apa’?, tetapi slogan ini justru efektif untuk melancarkan dua alat propaganda lainnya. Pertama adalah ‘pembentukan ‘musuh’ bersama’. Slogan ini cair, artinya di depan kaum Islamis garis keras seperti FPI, musuh yang dibuat adalah Muslim Syiah, Ahmadiyah, orang Cina, kaum Nasrani; di depan ‘rakyat’, musuh adalah pengusaha neoliberal, ‘para pencuri uang rakyat’ dll; sementara di depan kaum nasionalis, musuh yang dibayangkan adalah segala bentuk ancaman dari luar/asing. Konstruksi ‘musuh’ ini ampuh untuk melancarkan alat propaganda kedua, yaitu rasa urgensi (sense of urgency). Perasaan untuk segera bertindak ini tidak diarahkan berdasar pada riset yang matang dan kalkulasi langkah strategi yang jelas, tetapi lebih oleh ‘rasa takut’ bahwa ada bahaya laten menghadapi bangsa. Seperti kebanyakan alat propaganda tradisional lainnya, propaganda ini beroperasi dengan mengeksploitasi emosi masyarakat dan bukan membangun cara berpikir yang logis.

Sentimen yang muncul dari pembentukan rasa takut secara kolektif ini sejalan dengan citra yang dibangun tentang Prabowo. Karena ada ‘musuh’, maka kita butuh pemimpin militeristik yang ‘kuat’, ‘tegas’, ‘berani’ dan ‘agresif’. Kebutuhan ini pun diadopsi para simpatisan Prabowo, salah satunya dalam lirik lagu Ahmad Dhani berikut:

‘Kita butuh pemimpin yang kuat
Kita butuh pemimpin yang tegas
Yang bisa bawa bangsa ini menjadi bangsa nomer satu.
Sekarang atau tidak sama sekali

Inilah satu2nya kesempatan kita untuk jadi
Bangsa yang besar dan ditakuti
Bangsa yang disegani dihormati’ …
[Suara Prabowo] ‘Kalau bukan sekarang kapan lagi’

Citra ‘ksatria militer ideal’ pun dibangun dengan simbol-simbol tradisional. Prabowo menggunakan burung garuda untuk melekatkan ide nasionalisme, sementara kuda dan keris digunakan untuk memainkan nostalgia ksatria militer Jawa. Rasa ‘aman’ yang ditawarkan dengan simbol-simbol ini bekerjamelalui pembentukan ide pemimpin yang patriotik, militeristik yang akan ‘memenangkan’ Indonesia menjadi ‘bangsa yang ditakuti, disegani dan dihormati’ melalui penaklukan ‘musuh’. Tentu saja mitos yang dibangun ini dilakukan dengan memanfaatkan latar belakang militer Prabowo, tetapi pembangunan mitos sebagai ksatria militer ideal ini pun berguna untuk menutupi karir buruknya di TNI. Bagaimana pun, mitos pemimpin yang jelas tidak realistis ini mengeksploitasi sentimen sebagian masyarakat yang merasa bahwa penyelesaian masalah bangsa yang begitu kompleks akan selesai dengan datangnya ‘ratu adil’.

Citra Prabowo sebagai ‘ratu adil’ ini dibangun dengan teknik-teknik estetika visual yang khas dalam iklan-iklan kampanyenya yang mengingatkan kita dengan teknik yang juga digunakan dalam propaganda Orde Baru. Teknik yang pertama adalah dengan membangun sosok narsisistik, sosok ‘aku’. Perhatikan hampir semua iklan TV Prabowo yang disponsori partainya dipenuhi oleh foto, aktivitas, cuplikan suara dirinya. Berbagai aktivitas masyarakat—petani, guru, nelayan—hanya menjadi latar belakang pembangunan sosok ini. Teknik kedua adalah pengambilan gambar dan voice-over yang dibiarkan impersonal dan berjarak, seakan-akan kita semua sedang menyaksikan Prabowo tanpa ikut di dalamnya. Bagi masyarakat yang terbiasa dengan struktur kepemimpinan hirarkis dan vertikal, pembuatan jarak ini berfungsi untuk membangun karakter pemimpin yang ‘sakral’, turun dari langit dan tidak sejajar dengan kawula rendahan.

PRABOWO gambar1 Antara ‘Rakyat’ dan ‘Publik’: Politik Komunikasi Pemilu 2014

IndoProgress.com

Yang paling menarik dari propaganda tim Prabowo adalah, selain mengadopsi pencitraan tubuh Sukarno (lihat tulisan ‘Dua Tubuh Sukarno‘), Prabowo juga mengadopsi pencitraan Suharto. Selain menggunakan teknik estetika visual ala Orba yang sudah dijelaskan di atas, dalam orasi-orasinya dan juga debat presiden yang pertama, Prabowo melafalkan akhiran ‘kan’ dengan ‘ken’ yang khas Suharto, seperti ‘mengandalken’ dan ‘inginken’ (cat: Sukarno juga melafalkan ‘kan’ dengan ‘ken’, tapi pelafalan ini lebih lekat dengan pencitraan Suharto yang dibangun lewat pidato-pidatonya di televisi). Kita tahu bahwa kedua presiden memiliki sejarah politik kepemimpinan top-down, Sukarno dengan demokrasi terpimpinnya sementara Suharto dengan kediktatorannya. Mitos sosok ‘pemimpin kuat’—dengan orasi yang berapi-api dan pemimpin tangan besi—diadopsi, digabungkan dan dibuat untuk membangun nostalgia romantisme masa ‘kejayaan’ Indonesia—melawan koloni di jaman Sukarno dan sukses pembangunan di jaman Suharto.

Salah satu fungsi media adalah menetapkan agenda (agenda-setting), artinya melalui media para propagandis dapat mengalihkan perhatian masyarakat pada isu tertentu, sementara isu lain sengaja ditutupi dan diabaikan. Dalam kampanyenya, tim Prabowo fokus pada pencitraan Prabowo sebagai pemimpin yang kuat dan tegas. Tidak heran kalau seorang simpatisan ditanya mengapa pilih Prabowo, jawabannya adalah ‘karena dia pemimpin yang kuat dan tegas’. Dari kacamata politik komunikasi, ini brarti propaganda Prabowo sukses. Tapi Propaganda berdasar pembangunan citra dan bukan ide akan menjadi bumerang bagi Prabowo sendiri. Sebenarnya bagaimana Prabowo akan memimpin, apa maksud ‘kuat dan tegas’ dan apa rencana Prabowo untuk Indonesia? Untuk itu mari kita membongkar visi-misi tertulisnya.

Visi misi tim Prabowo sangat pendek—8 halaman lebih sedikit. Isinya berupa daftar program-program yang akan dilakukan dan tidak ada penjelasan kenapa program a dan b, misalnya, penting untuk dilakukan. Saya membatasi analisis saya hanya pada pertanyaan berikut: bagaimana tim Prabowo membayangkan kita, yang dipimpin? Dan bagaimana rencananya dalam berkomunikasi dengan kita?

Strategi pertama saya adalah dengan melihat pilihan katanya. Tim Prabowo dalam visi misinya menggunakan kata ‘rakyat’ 23 kali, kata ‘bangsa’ 11 kali dan kata ‘publik’ 1 kali. Selain itu, digunakan terminologi teknis seperti: ‘penduduk’, ‘si miskin’, ‘si kaya’, ‘angkatan kerja’, ‘pekerja’, ‘dunia usaha’, ‘pedagang kecil’, ‘buruh’ ‘orang kaya’ dan ‘kelas menengah’. Terminologi ini adalah istilah teknis karena penggunaannya lebih bersifat pengelompokan berdasar penghasilan maupun tipe pekerjaan, artinya keduanya berhubungan langsung dengan proyek ekonomi. Yang menarik perhatian saya justru penggunaan kata ‘rakyat’. Kata ‘rakyat’ sudah sejak dulu digunakan para pemimpin untuk mengacu pada ‘yang dipimpin’. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (2005), ‘rakyat’ berarti ‘penduduk suatu negara’, tapi ia juga bisa berarti ‘orang kebanyakan’, ‘orang biasa’ dan ‘bawahan’. Kata ‘rakyat’ pun sering digunakan untuk memberi makna bahwa seorang pemimpin ketika ia ingin sejajar dengan rakyat dia akan ‘merakyat’, kalau dia ingin ‘pro-rakyat’ dia akan mengaplikasikan ‘ekonomi kerakyatan’. Namun, dalam sejarahnya, kata ‘rakyat’ pun memiliki makna implisit yang hirarkis di mana rakyat adalah massa yang pasif: rakyat di bawah; pemimpin di atas, rakyat manut; pemimpin mengayomi, rakyat dicerdaskan; pemimpin mencerdaskan. Hubungan patriarkal dan infantilisasi ‘rakyat’—pemimpin sebagai bapak dan rakyat sebagai anak—terlihat dengan jelas dalam lagu ‘Bapak Kami Soeharto‘ berikut ini yang diciptakan Titiek Puspa di tahun 1990an di masa rezim Suharto:

Sujud kami bagimu yang esa
Terima kasih atas karunia
Sandang, pangan, pembangunan
Kau limpahkan bagi negri Indonesia

Sorang bapak yang telah kau cinta
Tuk memimpin negeri tercinta
Wibawanya dan senyumnya
Memberi ceria wajah Indonesia

Kepadamu Bapak kami Suharto
Terima kasih dari rakyat semua
Di belakangmu kami siaga
Demi kejayaan Indonesia

Kepadamu bapak kami Suharto
Terima kasih dari rakyat semua
Di dadamu kami sembahkan
Bapak pembangunan Indonesia

Analisis kedua yang saya lakukan adalah mencari program konkret dalam visi misi Prabowo tentang bagaimana negara akan berkomunikasi dengan warga negara dan apakah komunikasi dua arah ini dianggap perlu dalam proses bernegara. Hasilnya, tidak saya temukan program komunikasi bernegara yang spesifik dalam visi misi Prabowo. Seperti pemerintahan sebelumnya, komunikasi hanya dipandang dalam kacamata instrumentalis, salah satunya dalam hal pengembangan ‘industri nasional’. Alat transportasi (I.5 dan VI.2) yang merupakan infrastruktur komunikasi fisik, misalnya, yang penting dalam kontak komunikasi dan interaksi antar setiap manusia dalam sebuah negara hanya dilihat sebagai kebutuhan perekonomian dibanding kebutuhan sosial pembangunan karakter warga negara. Begitu pula teknologi komunikasi sosial hanya mendapat perhatian sekilas dalam hubungannya sebagai ‘instrumen’ komunikasi dalam konteks ekonomi atau birokrasi (I.8.b, II.6.8. Dan VI.6) dan bukan untuk kebutuhan sosial, misalnya: ‘Meningkatkan keharmonisan hubungan industrial dengan jalan memperbaiki koordinasi dan komunikasi antara pekerja, dunia usaha dan pemerintah’ (I.11.b.)—walaupun kita tahu permasalahan yang dihadapi kelas pekerja bukan masalah ‘miskomunikasi’ semata. Pandangan terhadap komunikasi yang ‘instrumentalis’ ini mengimplikasikan pandangan yang juga ‘instrumentalis’ pada masyarakat.

Lalu, bagaimana dengan propaganda tim Jokowi?

Kampanye tim Jokowi bisa dibilang menarik karena mereka menggunakan teknik yang sama sekali baru dan tidak menggunakan teknik tradisional yang biasa dilakukan dalam kampanye-kampanye presiden sebelumnya. Tekniknya fokus pada pembangunan komunitas. Slogan kampanyenya misalnya, ‘Indonesia hebat’ (atau ‘Jakarta baru’ di masa pencalonan gubernur), membangun rasa bangga dan ‘mandiri’ yang juga merupakan bagian dari visi misi tertulisnya. Simbol Jokowi yang paling dikenal mungkin adalah baju kotak-kotak merah, yang menjadi populer ketika dia mencalonkan diri menjadi gubernur Jakarta dua tahun lalu. Baju kotak-kotak memiliki kesan tidak formal dan santai jadi efektif dalam memikat anak-anak muda (apalagi di antara anak muda perkotaan, baju kotak-kotak identik dengan kaum hipster). Jokowi juga identik dengan kemeja putih polos dengan lengan tangan dilipat ke atas, sehingga ia sering dianggap mengidentifikasi diri dengan kaum pekerja—bukan kelas berjas dan berdasi—dan membuat citra sosok kelas bawah yang sederhana.

Iklan TV kampanye Jokowi juga tidak memunculkan foto maupun aktivitas Jokowi, kecuali, dalam beberapa iklan, Jokowi muncul diakhir iklan untuk mempromosikan partainya. Yang lebih menarik lagi adalah penggunaan kata ‘kita’ dalam voice-over beberapa iklan, salah satunya ini:

‘Kita ingin pemimpin jujur
Kita ingin pemimpin bersih
Kita ingin pemimpin sederhana

Tapi
Siapkah kita dipimpin untuk menjadi jujur?
Siapkah kita dipimpin untuk menjadi bersih?
Siapkah kita dipimpin untuk menjadi sederhana?
Bersama pemimpin yang lahir dari rakyat?
Kita siap menjadi Indonesia sebenarnya.
Jokowi-JK adalah kita.’

Penggunaan kata ‘kita’ memberikan rasa inklusif bagi penonton. Hubungan antara Jokowi dan penonton jadi tidak berjarak dan lebih personal. Hubungan pemimpin dan yang dipimpin pun dibuat kooperatif—ada kerjasama dua arah. Ini sesuai dengan orientasi kampanyenya yang berorientasi pada pembentukan komunitas tadi. Tidak heran kalau Jokowi juga mempopulerkan aktivitas ‘blusukan’ yang juga menjadi simbol propaganda Jokowi. Dalam blusukan, jokowi membuat politik komunikasi yang dua arah—saling mendengar dan memberi masukan, dan membentuk hubungan yang personal dengan calon pendukung. Politik komunikasi dua arah seperti ini memungkinkan masyarakat menggunakan kemampuannya untuk menjadi ekstensi propaganda, dengan menjadi relawan, ikut kampanye dll. Tidak heran kalau dukungan kepada Jokowi banyak bermunculan dengan turunnya masyarakat ke jalanan dengan menjadi relawan, membuat radio komunitas Jokowi-JK, membuat selebaran/koran (seperti koran Bakti), membuat kampanye lewat blog, twitter, facebook, membuat lagu simpatisan (seorang kawan menemukan lebih dari 60 lagu di youtube yang dibuat oleh masyarakat umum untuk dukung Jokowi-JK), dan, yang lebih penting lagi, pendanaan massal untuk kampanye (crowdfunding).

JOKOWI gambar2 Antara ‘Rakyat’ dan ‘Publik’: Politik Komunikasi Pemilu 2014

Salah satu video youtube lagu dukungan untuk Jokowi-JK dari masyarakat umum: http://youtu.be/tbK0nbGBYps

Dengan membangun rasa komunitas dan hubungan kerjasama horisontal, tim Jokowi berhasil mengorganisir masyarakat dan merangsang munculnya aktivitas-aktivitas dari bawah ke atas (bottom up) untuk mengkampanyekan dirinya. Sosial media juga berperan dalam hal ini, pengguna media sosial meng-share berita positif tentang Jokowi, ikut membela Jokowi apabila ada ‘kampanye hitam’,menulis blog, membuat lagu di youtube dll. Teknik propaganda dan pembentukan wacana yang inovatif ini, yang berorientasi pada pembentukan komunitas, justru lebih efektif memikat masyarakat dibanding latar belakang partai Jokowi, yaitu PDI-P.

Bagaimana kemudian tim Jokowi membayangkan ‘kita’? Apa rencana Jokowi, kalau ada, tentang proses komunikasi antara negara dan warga negara? Tim Jokowi menggunakan konsep ‘publik’ sebagai rencana komunikasi politiknya; penggunaan konsep ini belum pernah sebelumnya secara sadar digunakan dalam kampanye presiden terdahulu. Dari visi-misinya yang berjumlah 41 halaman itu, tim Jokowi menggunakan kata ‘bangsa’ 51 kali, ‘publik’ 41 kali, ‘masyarakat’ 28 kali, ‘warga negara’ 17 kali, ‘rakyat’ 14 kali dan ‘manusia’ 13 kali. Dari sini, kata ‘bangsa’ dan ‘publik’ adalah dua kata yang paling dominan digunakan untuk mengacu pada masyarakat yang akan dipimpin. Saya ingin memberikan perhatian pada kata ‘publik’ ini. Kata ‘publik’ di masa orde baru memang bukan bagian dari kosa kata pemerintahan dan hanya populer di kalangan aktivis. Kata ini baru masuk dalam kosa kata perpolitikan Indonesia di masa reformasi, contohnya dalam reformasi undang-undang penyiaran di masa Megawati yang menugaskan pengadaan ‘institusi publik’ untuk mengawasi penyiaran, yaitu Komisi Penyiaran Indonesia (KPI). Apakah makna ‘publik’? ‘Publik’ sebenarnya merupakan konsep yang sering dikontraskan dengan ‘massa’. ‘Publik’ terdiri dari warganegara yang secara aktif ikut dalam pembentukan opini dan sikap untuk mengritik dan mengarahkan urusan-urusan yang menyangkut kenegaraan. Sementara, ‘massa’ merupakan sekumpulan orang yang diasumsikan pasif. Kalau dalam ‘massa’, opini yang beredar bersumber dari otoritas elit penguasa; dalam ‘ruang publik’, sumber opini datang dari masyarakat sendiri. Opini dari ‘ruang publik’ juga memiliki peran penting dalam aktivitas negara, tidak seperti suara massa yang dianggap tidak signifikan. Keberadaan ‘publik’ yang benar-benar nyata memerlukan syarat yang sulit direalisasikan dalam pemerintahan yang top-down dan hirarkis: 1) kepemilikan media tidak bisa dimonopoli oleh segelintir orang; 2) setiap warga negara—bahkan di pelosok negeri—harus memiliki akses ke ruang publik; 3) perbedaan pendapat dan kontak antara berbagai manusia yang memiliki identitas berbeda merupakan kebutuhan untuk mengayomi kehidupan kebersamaan bernegara. Lalu apa rencana komunikasi negara dan warga negara dari program visi misi tim Jokowi?

Konsep komunikasi Jokowi pun menggunakan konsep ‘publik’ ini sebagai landasan bernegara. Berikut kutipan-kutipannya:

‘5. Kami akan membangun keterbukaan informasi dan komunikasi publik. Dalam kebijakan informasi dan komunikasi publik, kami akan memberi penekanan pada 7 (tujuh) prioritas utama

a. Kami akan menjalankan secara konsisten UU No. 12 Tahun 2008 tentang keterbukaan Informasi Publik.

b. Kami akan meningkatkan pengelolaan dan pelayanan informasi di lingkungan instansi Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah untuk menghasilkan layanan informasi yang berkualitas.

c. Kami akan mewajibkan instansi pemerintah pusat dan daerah untuk membuat laporan kinerja serta membuka akses informasi publik seperti diatur dalam UU No. 12 Tahun 2008 untuk mewujudkan penyelenggaraan negara yang baik, yaitu yang transparan, efektif dan efisien, akuntabel serta dapat dipertanggungjawabkan;

d. Kami akan mendorong partisipasi masyarakat dalam proses pengambilan kebijakan publik dengan meningkatkan peran aktif masyarakat dalam pengambilan kebijakan publik dan pengelolaan Badan Publik yang baik;

e. Kami akan menjamin hak warga negara untuk mengetahui rencana pembuatan kebijakan publik, program kebijakan publik, dan proses pengambilan keputusan publik, serta alasan pengambilan suatu keputusan publik;

f. Kami akan menata kembali kepemilikan frekuensi penyiaran yang merupakan bagian dari hajat hidup orang banyak sehingga tidak terjadi monopoli atau penguasaan oleh sekelompok orang (kartel) industri penyiaran;

g. Kami akan mendorong inovasi dan pengembangan industri teknologi informasi dan komunikasi, sehingga Negara besar seperti Indonesia tidak sekedar menjadi pasar bagi semua industri teknologi informasi dan komunikasi asing, tetapi mampu menciptakan dan memproduksi teknologi informasi dan komunikasi serta menjadi tuan rumah di Negara sendiri.’ (Halaman 17)

Juga disebutkan:

‘d. Kami akan menyediakan forum untuk melibatkan masyarakat dalam proses legislasi dan menyediakan akses terhadap proses dan produk legislasi’

‘f. ‘Kami berkomitmen untuk mewujudkan Pelayanan Publik yang Bebas Korupsi melalui teknologi informasi yang transparan’ 24

‘l. Kami akan membuka keterlibatan publik dan media massa dalam pengawasan terhadap upaya tindakan korupsi maupun proses penegakan hukum terhadap tindak pidana korupsi.’ (Halaman 25)

MEDIA ownership Antara ‘Rakyat’ dan ‘Publik’: Politik Komunikasi Pemilu 2014

Kepemilikan media (Academia.edu)

Tim Jokowi cukup sensitif dengan syarat kondisi ‘ruang publik’ yang sudah disebutkan di atas. Mereka berkomitmen untuk menata kembali kepemilikan penyiaran yang selama ini dimonopoli segelintir orang (poin f) (lihat: Penelitian Merlyna Lim). Mereka juga berkomitmen untuk melibatkan masyarakat dalam proses legislasi. Komunikasi dua arah yang setara antara negara dan warga negara dan kepastian agar warga negara untuk ikut dalam proses harian kehidupan bernegara adalah salah satu manifestasi konsep ‘publik’.

‘Ruang publik’ yang masih dikungkung dengan ketidakadilan hukum juga akan timpang. Maka, perlu juga digarisbawahi program tim Jokowi yang tanpa takut dan malu (unapologetic) disampaikan:

‘Kami berkomitmen menyelesaikan secara berkeadilan terhadap kasus-kasus pelanggaran HAM di masa lalu yang sampai dengan saat ini masih menjadi beban sosial politik bagi bangsa Indonesia seperti; kerusuhan Mei, Trisakti-Semanggi 1 dan 2, Penghilangan Paksa, Talang Sari-Lampung, Tanjung Priok, Tragedi 1965’

‘Kami berkomitmen menghapus semua bentuk impunitas di dalam sistem hukum nasional, termasuk di dalamnya merevisi UU Peradilan Militer yang pada masa lalu merupakan salah satu sumber pelanggaran HAM’ (27)

Berikut ringkasan perbandingan politik komunikasi tim Prabowo dan Jokowi:

JOKOWI gambar3 Antara ‘Rakyat’ dan ‘Publik’: Politik Komunikasi Pemilu 2014

Perbedaan politik komunikasi di balik propaganda masing-masing capres ini dan juga asumsinya tentang struktur kepemimpinan, mencerminkan gerak sejarah yang aktif yang ada dalam masyarakat kita saat ini. Gramsci menerangkan bahwa hegemoni menjelaskan aktivitas kelompok dominan di satu sisi dan kekuatan-kekuatan progresif yang counter-hegemony di sisi lain. Model kepemimpinan hirarkis dan top-down yang direplikasi Prabowo adalah hegemoni ‘residual’ yang terus hidup dan diteruskan dari masa lalu hingga sekarang. Kepemimpinan model seperti ini memang terus direproduksi bahkan dalam masyarakat sipil, misalnya dalam struktur lembaga agama, hubungan patriarkal antara ayah dan anak/istri bahkan antara dosen dan mahasiswa. Tidak heran ketika seorang anggota masyarakat yang terbiasa dengan sistem ini mengelu-elukan seorang pemimpin yang kuat dan tangguh, biasanya juga memiliki pandangan romantis tentang militer. Begitu juga, tidak heran melihat mantan aktivis yang sekarang mendukung kepemimpinan yang jelas tidak demokratis ini. Iming-iming ratu adil sangat efektif untuk orang-orang yang ingin perubahan yg instan—yang tidak mau berkotor-kotor terjun dan bergerak bersama masyarakat. Rasa aman yang dibangun berdasarkan rasa takut, hanya menguntungkan pemimpin yang memanfaatkan rasa takut/paranoid kolektif ini untuk kepentingannya. Padahal, bangsa yang “kuat, aman, makmur, berdikari” justru harus dibangun dengan kesadaran dan bukan eksplotasi paranoia kolektif.

Model kepemimpinan yang dipromosikan Jokowi sama sekali baru—paling tidak dalam sejarah bangsa kita. Hegemoni model komunikasi Jokowi adalah hegemoni yang ‘emergent’, muncul sebagai alternatif dari model kepemimpinan masa lalu, sebagai counter-hegemony. Kedua hegemoni model Prabowo dan Jokowi sama-sama dominan dalam masyarakat kita: ada pertarungan aktif antara model pemimpin tradisional yang hirarkis vs. pemimpin baru yang berorientasi komunitas. Sebagai gerak sejarah yang aktif, hegemoni selalu memperbaharui wajahnya. Prabowo, misalnya, menunjukkan diri bukan saja sebagai seorang militer tangguh yang nasionalis tetapi juga sebagai Muslim tulen. Identitas Muslim ini penting dalam kancah politik pasca-Orde Baru. Dengan begitu, Prabowo dianggap merupakan penggabungan segala kebutuhan koalisi antara elemen masyarakat yang paling ‘lengkap’. Saya letakkan tanda kutip untuk kata ‘lengkap’ karena jelas ini hanyalah modus propaganda semata untuk memenangkan simpati kelompok-kelompok yang tertarik pada isu-isu tunggal (single-issue group).

Kalau hegemoni kelas penguasa selalu beradaptasi dengan memperbaharui diri, bagaimana dengan counter-hegemony yang ada? Apakah kita cakap dalam memperbaharui taktik dan strategi dalam bergerak? Jangan-jangan, kita melulu menggunakan teknik yang sudah usang sehingga lagi-lagi tumbang?

Menurut saya, tidak akan ada perubahan yang signifikan tanpa partisipasi masyarakat yang sebenarnya dan tanpa keterbukaan untuk mendengar pluralitas ide, rasa, nilai dan pikiran yang ada. Salah satu ideologi para intelektual borjuis yang sukses adalah mitos bahwa demokrasi dan kesetaraan sosial dapat dicapai hanya dengan pemilu tiap 5 tahun sekali dan parlemen—artinya nasib bangsa diputuskan oleh segelintir pemimpin di parlemen. Tanpa partisipasi masyarakat dalam kehidupan politik sehari-hari, janji-janji Prabowo maupun Jokowi belum tentu menguntungkan masyarakat kelas bawah. Memilih apatis dan tidak melakukan apa-apa, seperti golput, pun hanya menguntungkan kelas penguasa, karena salah satu cara efektif mengontrol populasi adalah justru dengan menimbulkan rasa apatisme—dengan membangkitkan rasa kecewa karena kegagalan perjuangan di masa lalu—di satu sisi dan mengontrol konsensus di sisi lain—sehingga suara perlawanan yang ada terus terpojok. Satu-satunya cara agar masyarakat kelas bawah mendapatkan hak politiknya adalah dengan merebutnya. Tidak bisa kalau masyarakat terus-terusan menunggu sisa-sisa makanan dari bawah meja dan malas berjuang untuk mengklaim tempatnya di atas meja sejajar dengan para penguasa—alih-alih berharap bisa mengambilalih kursi para penguasa ini. Artinya, tidak bisa kita hanya menganggap bahwa perjuangan selesai dengan mencoblos 5 tahun sekali.

Apa tugas kita? Pemilu saat ini membuka ruang bagi kita untuk bergerak membentuk komunitas kita masing-masing dan bekerjasama satu sama lain untuk membentuk blok hegemoni masyarakat kelas bawah. Program Jokowi untuk membuka ‘ruang publik’ pun dapat menjadi infrastruktur bagi tujuan tersebut. Tetapi, menurut Gramsci, ini harus dicapai dengan cara yang ‘etis’ yang artinya kebenaran dan konsensus tidak dapat dipaksakan secara top-down dan harus dibuat nyata melalui dialog konkrit dan simpatik antara tiap anggota masyarakat. Sementara kita diskusikan secara terbuka langkah-langkah apa yang bisa kita lakukan untuk membentuk hegemoni masyarakat kelas pekerja ini, saya akan tutup tulisan ini dengan sebuah kutipan inspiratif tentang sikap ‘dukungan kritis’, bukan dari filsuf tersohor tetapi dari jalanan:

‘Setelah pilihan dan kemenangan
Kami akan mundur menarik dukungan
Membentuk barisan parlemen jalanan
Mengawasi amanah kekuasaan.’

(Lagu untuk Jokowi JK)***


Penulis adalah kandidat doktor ilmu komunikasi di University of Colorado, Boulder, AS.

Posted in NasionalComments (0)

PBB Beri Rapor Merah Soal Toleransi di Indonesia

Di Indonesia, sebagai contoh, kelompok minoritas agama, seperti Ahmadiyah, Bahai, Kristen dan Syiah, menghadapi serangan fisik dari kelompok militan Islam yang sedikit sekali mendapatkan perhatian pemerintah. Read the full story

Posted in UncategorizedComments (0)

Jemaat Ahmadiyah Indonesia tidak memberikan pengerahan kepada warganya terhadap salah satu capres cawapres

ADALAH jadwal dari Maulana Zafrullah Ahmad Pontoh untuk memberikan khotbah jumat di Masjid Alhidayah Petojo Utara, Gambir, Jakarta Pusat, Jumat (6/6).

Maulana Zafrullah adalah juru bicara resmi dari organisasi jamaah muslim Ahmadiyah di Indonesia atau Jemaat Ahmadiyah Indonesia (JAI). Read the full story

Posted in NasionalComments (0)

Janji Prabowo lindungi Ahmadiyah dan Syiah akan ditagih

Metrotvnews.com, Jakarta: Janji calon presiden Prabowo Subianto untuk melindungi kaum minoritas seperti jemaah Ahmadiyah dan kelompok syiah mendapat apresiasi dari tokoh muda Nahdlatul Ulama, Syafiq Ali.

Janji tersebut disampaikan Wakil Ketua Dewan Pembina Partai Gerindra Hashim Djojohadikusumo yang juga adik kandung Prabowo. Read the full story

Posted in UncategorizedComments (0)

For Ahok, a Long Road to Jakarta’s City Hall

Mayling Oei-Gardiner, a demographer and sociologist from the University of Indonesia, notes that Ahok’s chances to become governor can be used to address other issues affecting minorities. She specifically references the plight of religious minorities, noting the continuing persecution of members of the Ahmadiyah sect, which has drawn international condemnation of the government’s inaction.

The Jakarta Globe

_
Jakarta. With Joko Widodo’s decision to run for presidency comes Deputy Governor Basuki Tjahaja Purnama’s turn to bear the gubernatorial mantle of Jakarta.

Popularly known as Ahok, his ascension to the post of interim governor marks only the second induction of an ethnic Chinese and non-Muslim Indonesian into the capital’s top seat, 50 years after the first governor of Chinese descent, Henk Ngantung, controversially stepped into office.

The popular consensus seems to be that Joko and his running mate, Jusuf Kalla, won the first presidential debate, according to an online poll by the Jakarta Globe that showed almost 90 percent of respondents tipping their hats to the pair.

According to social media monitors at PoliticaWave, the hashtag #PresidentNomor2 — referring to the ticket’s number on the July 9 ballot — became a worldwide trending topic on Twitter, showing strong support for the team from the Indonesian Democratic Party of Struggle (PDI-P).

Now that Joko has taken the lead, the possibility of Ahok cementing his position as governor is becoming increasingly real. Whether he is up to the monumental task is the question many are asking.

Reform politics

With a population of 9.8 million, Jakarta ranks as one of the top 20 biggest cities in the world, but its problems, many complain, are larger than life.

According to a study published by the University of Indonesia (UI), the financial strain of Jakarta’s infamous gridlock may total up to Rp 12.8 trillion ($1.1 billion) a year in productivity, fuel consumption and health costs.

Furthermore, flooding managed to displace 130,000 people and claim the lives of at least a dozen this year alone.

“Whoever leads Jakarta has to be capable in solving its problems. Because Jakarta is our center of government,” says Siswanto, a driver for one of the many upper-middle-class families residing in the capital’s mansions, often in stark contrast with the desolate slums next door.

The city’s long list of woes have had the public calling for a more efficient administration. Joko — popularly known as Jokowi — and Ahok seemed to promise just that during their campaign in 2012. Running against then-incumbent Fauzi Bowo, they charmed citizens with their refreshing take on politics.

“I see Ahok and Jokowi as the first politicians who were willing to face problems directly and try to implement measures to solve them, and [who were] transparent to the public. I think that is the right thing for politicians to do,” says Yulianto Sumarli, a former member of the House of Representatives.

Given that Jokowi has taken his leave of absence to campaign, it is now up to Ahok to deal with the challenges of managing the city. And for his part, Ahok seems to be more than ready for the demanding task.

“The first thing we have to fix here is the bureaucracy … by testing and evaluating [bureaucrats’] performance,” Ahok recently said. “If they won’t follow the rules, we can tell them to get out. Sometimes we have to kick them out. Of course they’ll get angry, but we don’t care.”

‘It’s all good, boss!’

The interim governor is known for his brazen attitude in dealing with the city’s clunking bureaucratic machinery, which many view as inept and inefficient in dealing with the city’s challenges. While this has earned him much admiration, some note that this style of governance may need to change.

“He’s very frank, with a strong sense of leadership,” says Siti Zuhro, a political analyst with the Indonesian Institute of Sciences (LIPI).

“[He’s] very clear in giving instructions, in talking about problems facing Jakarta; no hiding. That’s OK for urban society, who have no problems with him. [But] to reform bureaucracy, Ahok needs to adopt a more efficient method in persuading the administration to embrace his program. Stop yelling, stop being angry; be nice and diplomatic.”

Siti also cautions that a healthy relationship between the central government and the city administration is key, as the system remains very hierarchical. Conflict, she concludes, is not necessary.

Thung Yu Lan, also of LIPI, points out that Jokowi functioned as a defender of his deputy governor. Now that he is on the campaign trail, it is crucial for Ahok to amass popular support that will guard against jealous bureaucrats intending to undermine him at every step. Without it, she continues, he may not be able to snag a second term in office.

The remarks come in light of his latest row with Sports Minister Roy Suryo. The minister, who is known for stirring up controversy in his own right, has threatened to take Ahok to the police over his claims that the Sports Ministry was hindering the completion of Jakarta’s long-awaited monorail project.

In a statement issued on Tuesday, Suryo vowed to report the case to the police should the city administration refuse to retract its claims.

The social minefield of politics aside, the administrative burden of running this city single-handedly seems to have taken a toll on the action-oriented man.

The interim governor jokingly claimed his hand was cramping up from signing too many documents, but on a more serious note, he also admitted that without Jokowi to share the workload, every task fell on his team’s shoulders.

Nevertheless, despite the increased workload, he continues to maintain a positive front, claiming to feel no pressure from the administration.

“[Jokowi] often calls. He asks, ‘Is everything OK?’ And I always answer, ‘It’s all good, boss!’”

Minority politics

One of the greatest attractions of the Jokowi-Ahok ticket was their revolutionary approach to managing the city, along with the fact that Ahok is ethnically Chinese and Christian — a rare combination to rise to the forefront of local politics.

Many still remember the chaos that descended upon the city in May 1998, when people of Chinese descent were being targeted. Yet there are signs that the citizens of Jakarta are willing to look past the socio-ethnic divides that once tore them apart.

“I see him and Jokowi as the first clean, responsible, transparent [team], instead of [having] the first ethnically Chinese deputy governor,” Yulianto says.

When asked about his own experience as a minority politician, Yulianto says he has never given the matter much consideration, as he doesn’t consider himself to be a minority.

“We all have to live with it, we are all Indonesians,” he says.

Yet Ahok’s rise to interim governor may serve as a significant symbol for those from ethnic minorities to enter the world of Indonesian politics.

“His identifier isn’t his race or religion, but how he does his work, and I think that’s the one thing that encourages me the most,” says Glenys, a Chinese-Indonesian university student interested in politics. The fact that Ahok exemplifies how minorities are able to exercise their political agency in a more influential capacity is also very heartening, she says.

In the face of rising intolerance

However, not everyone is thrilled by the recent developments in Jakarta’s administration. The acting governor’s blunt attitude and minority status have caused no small ire with the Islamic Defenders Front (FPI), a hard-line fundamentalist group active known for its attacks on minorities.

Now that Ahok is a step closer to permanently clinching the top seat at City Hall, the FPI has made public its intent to support Jokowi’s rival, Prabowo Subianto. The group made its stance quite clear on its official website, in which Muslim voters were urged not to choose “the presidential candidate [whose victory] could lead to [Ahok’s] appointment as governor.”

Mayling Oei-Gardiner, a demographer and sociologist from the University of Indonesia, notes that Ahok’s chances to become governor can be used to address other issues affecting minorities. She specifically references the plight of religious minorities, noting the continuing persecution of members of the Ahmadiyah sect, which has drawn international condemnation of the government’s inaction.

While Indonesia has long been touted as a model Muslim-majority democracy, the truth remains that many fear its trademark pluralism is failing. Data collected by the Setara Institute for Peace and Democracy show incidences of religious intolerance increasing annually — 200 in 2009, 216 in 2010, 244 in 2011, and 264 in 2012.

Atheist Alexander Aan spent two years in prison for denouncing the existence of God on Facebook. In 2011, a mob of 1,500 attacked a community of Ahmadiyah Muslims in Banten, killing at least three and leaving five seriously injured. However, only 12 were arrested, and sentenced to three to five months in prison.

In the words of one Ahmadi: “Please let the outside world know that we are no longer safe in our own homes.”

In the face of growing intolerance, Ahok’s rising star may provide that safety as well as a sense of hope to many.

“[Ahok] is brave. Brave enough to die,” Mayling says, adding that she wakes up every day fearing news of his assassination.

Despite his many admirers, occupying such a game-changing position is not without its pressures.

“If he’s successful, we can rely on him to create a good image. But if he fails, there’s also a problem,” Thung says.

Road work

So what would Ahok have to do to transform Jakarta into an efficient metropolis? Most observers seem to be urging him to continue Jokowi’s programs.

“In terms of reigning over Jakarta, one of the city’s problems, as well as the country’s, is poverty. How is he going to deal with poverty? I think he has take a positive step in moving people to public housing,” Mayling says.

On the overcrowded state of Jakarta, the demographer suggest the administration can work with neighboring provinces to help slow down the annual tide of people rushing into the capital after Idul Fitri in search of jobs and a better life. While Mayling concedes a complete block on migration is highly unlikely, improvement in the quality of life outside the capital might help reduce its seemingly magnetic pull. Job creation, health and education are also on the list of issues to be considered, especially since they constitute venues of social mobility.

Many have expressed their disappointment they may not be able to see Jokowi and Ahok make good on their campaign promises. Whether Ahok will continue down the path the team has laid out remains to be seen.

Mulyono, a security guard, believes the solutions to many of Jakarta’s problems lie in continuing the programs already set in place by Jokowi. However, given the differences between the two leaders, he doubts this will be the case.

Whatever route he chooses to take, it remains clear that Ahok will continue to cut a controversial figure in politics for the foreseeable future.

“As long as you’re Indonesian, it doesn’t matter what your ethnicity is. It’s being an Indonesian that makes or breaks. It’s being Indonesian that shows what people are willing to do for the nation,” Mayling says.
_
Correction: This version reflects to say that Basuki Tjahaja Purnama is ethnically Chinese.

Posted in Kemanusiaan, Nasional, PerspektifComments (0)

Belief in One God

NEW MANDALA — EARLIER this month, municipal government officials once again sealed the entrance to an Ahmadiyah mosque in Bekasi, on the outskirts of Jakarta.

The mosque had previously been closed in February 2013, and had been at the center of the debate about the role of Ahmadiyah worshippers in Indonesia. Read the full story

Posted in NasionalComments (0)

Page 1 of 212

@WartaAhmadiyah

Tweets by @WartaAhmadiyah

http://www.youtube.com/user/AhmadiyahID

Kanal Youtube

 

Tautan Lain


alislam


 
alislam


 
alislam


 
alislam

Jadwal Sholat

shared on wplocker.com