W3vina.COM Free Wordpress Themes Joomla Templates Best Wordpress Themes Premium Wordpress Themes Top Best Wordpress Themes 2012

Tag Archive | "Agustus 2014"

PEMANTAUAN KEBIJAKAN HAM kota peduli HAM: Keterlibatan masyarakat dan pemerintahan daerah untuk memajukan dan melindungi hak asasi manusia

Pemerintahan Wonosobo, misalnya, menangani secara khusus serta melindungi kelompok Syiah dan Ahmadiyah di wilayahnya, dimana pemerintahan kabupaten/kota lainnya seakan membiarkan diskriminasi yang terjadi terhadap kedua kelompok tersebut. Sementara pemerintahan kota Palu, melalui Walikotanya meminta maaf kepada para korban peristiwa 1965 untuk merintis upaya rekonsiliasi antara korban dan pelaku peristiwa 1965 di wilayahnya. Selain meminta maaf, Walikota Palu juga menangani secara khusus kepada korban peristiwa 1965 dengan mengeluarkan kebijakan kesehatan gratis bagi korban peristiwa 1965.

 

ELSAM

Rabu, 10 Desember 2014

Oleh: Ari Yurino

Bertepatan dengan Hari HAM Sedunia, yang jatuh pada tanggal 10 Desember, Kementerian Hukum dan HAM memberikan penghargaan kepada sejumlah Kota/Kabupaten Peduli HAM 2014 yang digelar di Kantor Kemenkum HAM. Penghargaan Kota/Kabupaten Peduli HAM 2014 tersebut diberikan langsung oleh Menteri Hukum dan HAM Yasonna Laoly kepada 55 Kota/Kabupaten yang peduli terhadap HAM di wilayahnya masing-masing.[1]

Pemberian Kabupaten/Kota Peduli HAM yang diberikan oleh pemerintah tersebut telah dicanangkan dalam Peraturan Menteri Hukum dan HAM Nomor 11 Tahun 2013 tentang Kriteria Kabupaten/Kota Peduli Hak Asasi Manusia dan Peraturan Menteri Hukum dan HAM Nomor 25 Tahun 2013 tentang Perubahan Permenkumham Nomor 11 Tahun 2013 tentang Kriteria Kabupaten/Kota Peduli HAM. Dalam Permenkumham tersebut ada beberapa kriteria penilaian yang ditetapkan, antara lain: 1) Hak hidup; 2) Hak mengembangkan diri; 3) Hak atas kesejahteraan; 4) Hak atas rasa aman; 5) Hak atas perempuan[2]

Sejak diberlakukannya Permenkumham tersebut, pemerintah memberikan penghargaan kepada sejumlah Kota/Kabupaten yang peduli terhadap HAM. Di tahun 2013, 19 Kota/Kabupaten memperoleh penghargaan tersebut. Sementara di tahun 2014, Kota/Kabupaten yang memperoleh penghargaan tersebut meningkat tajam menjadi 56 Kota/Kabupaten.

Data di atas menunjukkan adanya lonjakan yang tinggi dari pemerintah kota/kabupaten untuk memenuhi kriteria Permenkumham dalam penghormatan, perlindungan dan pemenuhan HAM. “Greget pemerintah daerah sangat tinggi untuk menciptakan kota/kabupaten ramah HAM,” kata Direktur Kerja Sama Kementerian Hukum dan HAM Arry Ardanta Sigit dalam Konferensi Nasional Human Rights Cities di Jakarta, 9 Desember 2014.

Menurutnya penghargaan tersebut untuk memacu pemerintah Kabupaten/Kota agar mengimplementasikan beberapa hal, yaitu 1) Rencana Aksi Nasional Hak Asasi Manusia (RANHAM); 2) Strategi Nasional Akses terhadap Keadilan; 3) Three Plus Track yang mencakup Pro; Poor, Job, Growth, Justice, and Environment; serta, 4) pelaksanaan Millenium Development Goals (MGDs).

Pemerintah memang telah memiliki program nasional Rencana Aksi Nasional Hak Asasi Manusia (RANHAM), yang diikuti dengan pembentukan panitia RANHAM hingga tingkat kabupaten/kota. RANHAM menjadi semacam pedoman bagi pemerintah, termasuk pemerintah daerah, untuk meningkatkan penghormatan, pemajuan, pemenuhan dan perlindungan HAM. Namun evaluasi dari masyarakat sipil menunjukkan kelemahan dalam pelaksanaannya. Dari 103 program RANHAM 2004-2009, hanya 56 program saja yang berjalan. Lainnya terhambat karena kurangnya dorongan politik mulai dari birokrasi lintas departemen sampai dengan pemerintah daerah, minimnya kecakapan panitia RANHAM di daerah, hingga perencanaan yang tidak disertai dengan penganggaran[3]. Hal yang sama juga terjadi pada RANHAM 2011-2014 yang dirasa masih banyak kelemahan substansial dan lemahnya pemahaman panitia RANHAM mengenai program RANHAM.[4]

Sementara terkait penilaian kabupaten/kota yang peduli HAM menurut pemerintah juga dinilai bermasalah. Pasalnya, beberapa kota/kabupaten yang dianggap peduli HAM ternyata sangat bertolak belakang dengan fakta di lapangan. Misalnya saja kasus-kasus diskriminasi yang masih terjadi di wilayah Jawa Timur, sementara ada 7 kabupaten/kota yang menerima penghargaan dari pemerintah sebagai kabupaten/kota peduli HAM di tahun 2014[5].

Dalam Konferensi Nasional Human Rights Cities yang digagas INFID dan didukung oleh ELSAM, pemerintah kabupaten Wonosobo, Save the Children, British Embassy dan ICCO pada 9 Desember lalu berhasil mengungkap inovasi yang baik serta kepemimpinan lokal yang cukup menonjol dari berbagai daerah. Sekitar 10 kepala daerah dari berbagai wilayah Indonesia mempresentasikan inovasi-inovasi yang telah dan sedang dijalankan oleh masing-masing kepala daerah tersebut. Kebanyakan kepala daerah itu mengungkapkan perubahan “wajah” kota/kabupaten di wilayah kekuasaannya, mulai dari pembangunan taman, saluran air, atau tempat wisata baru. Hal ini tentunya belum cukup untuk menyebut berbagai kota tersebut sebagai kota/kabupaten ramah HAM.

Kesempatan untuk mendorong kota/kabupaten menjadi ramah terhadap HAM menjadi sangat terbuka peluangnya setelah lahirnya Undang-undang Otonomi Daerah tahun 1999, sebagai awal mulanya era desentralisasi di Indonesia. Perimbangan kekuasaan pun perlahan-lahan beralih ke daerah-daerah (kota/kabupaten), mulai dari mengatur pemerintahan hingga pemilihan kepala daerah. Pembangunan di daerah tersebut, khususnya di kota, tentunya memunculkan perpindahan penduduk yang besar dari desa ke kota. Data WHO menunjukkan adanya perpindahan penduduk yang signifikan ke kota. Tahun 1990, warga dunia yang tinggal di perkotaan kurang dari 40%, sementara tahun 2010, kurang lebih 50% populasi di dunia hidup di perkotaan. WHO bahkan memprediksi pada tahun 2030, 6 dari 10 orang di dunia akan tinggal di kota[6]. Para ahli juga memperkirakan pada tahun 2050 tingkat urbanisasi di dunia mencapai 65%[7]. Sementara di Indonesia, data Bank Dunia menunjukkan hampir setengah dari 245 juta penduduk Indonesia tinggal di daerah perkotaan dan kebutuhan akan layanan pengelolaan air limbah yang aman bertumbuh dengan cepat[8].

Tingginya angka urbanisasi yang diprediksi oleh lembaga internasional dan para ahli tersebut disebabkan salah satunya karena model pembangunan yang diterapkan di sebagian besar negara-negara miskin. Model pembangunan tersebut ditandai dengan kecenderungan untuk melakukan konsentrasi pada pendapatan dan kekuasaan sehingga mengakibatkan terjadinya kemiskinan dan pengucilan, yang berkontribusi terhadap degradasi lingkungan, mempercepat proses migrasi dan urbanisasi, segregasi sosial dan spasial serta privatisasi kesejahteraan umum maupun ruang publik. Di Indonesia sendiri, jumlah penduduk miskin dan persentase penduduk miskin dari tahun 1970-2003 masih didominasi oleh pedesaan[9]. Tingginya kemiskinan di pedesaan inilah yang diduga menjadi penyebab utama perpindahan penduduk dari desa ke kota.

Namun ketika migrasi terjadi dari desa ke kota, hal ini belum tentu memperbaiki kondisi dan kualitas masyarakat yang bermigrasi. Hal ini dapat dilihat dari data BPS sebelumnya yang menunjukkan bahwa jumlah dan persentase penduduk miskin di perkotaan juga tidak berbeda jauh dengan di pedesaan. Menurut mahasiswa Ilmu Politik City University of New York dan Pemimpin Redaksi IndoprogressCoen Husain Pontoh, kemiskinan di perkotaan lebih disebabkan karena kapasitas ruang di perkotaan sangat terbatas untuk menampung jumlah penduduknya. Sementara model pembangunan yang diterapkan di perkotaan lebih untuk melayani kebutuhan segelintir penduduk menengah ke atas[10]. Sebagai contoh, hal ini dapat kita lihat dari menjamurnya pembangunan pusat perbelanjaan (mall) dan apartemen sebagai tempat tinggal untuk kelas menengah ke atas. Pada tahun 2013, di Jakarta sudah berdiri 173 unit mall yang memakan lahan seluas 3.920.618 meter persegi[11]. Sementara pertumbuhan apartemen pada tahun 2013 mencapai rekor tertinggi, yakni 117.276 unit apartemen baru. Pertumbuhan apartemen ini mencapai 20,2 persen lebih tinggi ketimbang 2011 yang mencapai 18,97 persen[12].

Meningkatnya kehadiran bangunan privat dibandingkan bangunan publik, menurut dosen Ilmu Politik Universitas Indonesia Irwansyah dimungkinkan oleh adanya serangkaian kebijakan dan relasi yang menyertai serta yang mengoptimalkan logika mekanisme pasar dalam praktek pengembangan dan pengelolaan ruang kota[13].

Konsekuensi dari banyaknya model pembangunan yang berorientasi privat tersebut adalah penggusuran terhadap warga miskin di perkotaan. Di Jakarta, misalnya, penggusuran terhadap warga miskin untuk pembangunan bangunan privat seperti mall dan apartemen kerap kali dilakukan[14]. Hal ini, menurut David Harvey, merupakan konsekuensi atas gerak internal kapitalisme yang harus selalu menguasai ruang sebagai sarana untuk ekstraksi nilai lebih[15]. Pada momen itulah, kapitalisme selalu akan berusaha untuk menghilangkan ruang-ruang yang tidak menguntungkan bagi dirinya.

Dalam wawancara bersama Coen Husain Pontoh[16], ia juga menyebutkan model pembangunan di perkotaan untuk melayani kelas menengah ke atas tersebut tidak nyambungdengan kebutuhan mayoritas penduduk kota yang miskin, sehingga lahir daerah-daerah kumuh, perumahan tak layak tinggal, sarana air bersih yang sangat terbatas, tingkat kriminalitas yang tinggi, pengangguran, pengemis, anak jalanan yang membludak, kesehatan yang buruk, pendidikan yang tidak berkualitas dan sebagainya.

Untuk mengubah wajah kota menjadi ramah HAM atau mementingkan kepentingan warga kotanya maka mutlak diperlukan keterlibatan warga kota. Selama ini warga kota disingkirkan keterlibatannya dari proses perencanaan dan pembangunan perkotaan. Tanpa pelibatan masyarakat yang luas, maka sebaik apapun pemerintahan kota yang terpilih, maka ia akan terjebak pada pola pembangunan kota sebelumnya, yang hanya melibatkan para teknokrat yang memiliki keahlian khusus. Walaupun beberapa kepala daerah hasil pemilihan kepala daerah dirasa cukup baik, namun keterlibatan warga kota untuk membangun kotanya mutlak diperlukan. Hal inilah yang Hak warga atas Kota.

Terminologi hak atas kota ini untuk pertama kalinya dikemukakan oleh sosiolog-cum filsuf Prancis Henri Lefebvre pada tahun 1968. Menurutnya hak terhadap kota merupakan sesuatu yang nyata, yang hadir dengan segala kerumitannya saat ini untuk kemudian mentransformasikan dan memperbaharui kota tersebut sesuai dengan konteks ekonomi politik kekinian[17]. Dengan pengertian ini, menurut Coen Husain Pontoh, warga miskin tidak hanya berhak untuk mengakses pendidikan dan kesehatan gratis, tetapi warga miskin yang menetap di kota juga aktif terlibat dalam proses perubahan itu.

Dalam konferensi nasional Human Rights Cities yang bertajuk “Membangun Kabupaten/Kota Ramah HAM di Indonesia,” pada 9 Desember lalu, hal senada juga diungkapkan oleh Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo. Menurutnya pelibatan masyarakat atau komunitas dalam merumuskan kebijakan di tingkat kota/kabupaten menjadi keharusan pada saat ini. Untuk itu, katanya, birokrat pemerintahan harus bisa melayani dan mudah disentuh oleh masyarakatnya, baik secara tatap muka maupun menggunakan teknologi informasi.

“Di waktu senggang, saya bermain twitter untuk mengontrol apa yang terjadi,” katanya dalam pembukaan konferensi nasional tersebut.

Marco Kusumawijaya dari Rujak Center for Urban Studies (RCUS) yang menjadi salah satu pembicara dalam sesi pleno di konferensi nasional tersebut menambahkan sebagai kota/kabupaten ramah HAM, kebijakan publik harus bisa diakses oleh masyarakat. “Kota mempunyai daya dukung yang dinamis, sehingga masyarakat harus terlibat,” ujarnya.

Selain partisipasi warga kota sebagai salah satu indikator kota/kabupaten ramah HAM, Shin Gyonggu dari Gwanju International Center juga mengungkapkan pentingnya pendidikan HAM juga bagi warga kota juga menjadi penting bagi pengembangan HAM di kota. Shin Gyonggu yang mempresentasikan kota Gwanju sebagai salah satu kota rujukan yang ramah HAM menjelaskan bahwa pembangunan memorialisasi dan pemenuhan hak atas pemulihan juga menjadi penting.

Pemaparan inovasi yang dilakukan kepala daerah yang diundang dalam konferensi nasional Human Rights Cities memang beragam. Namun yang menarik perhatian adalah inovasi yang dilakukan oleh Bupati Wonosobo dan Walikota Palu. Kedua kepala daerah ini bukan hanya memaparkan pembangunan yang dilakukan mereka di daerahnya masing-masing. Namun mereka juga memaparkan tindakan pemerintahan di kedua daerah tersebut dalam melakukan penghormatan, perlindungan dan pemenuhan HAM.

Pemerintahan Wonosobo, misalnya, menangani secara khusus serta melindungi kelompok Syiah dan Ahmadiyah di wilayahnya, dimana pemerintahan kabupaten/kota lainnya seakan membiarkan diskriminasi yang terjadi terhadap kedua kelompok tersebut. Sementara pemerintahan kota Palu, melalui Walikotanya meminta maaf kepada para korban peristiwa 1965 untuk merintis upaya rekonsiliasi antara korban dan pelaku peristiwa 1965 di wilayahnya. Selain meminta maaf, Walikota Palu juga menangani secara khusus kepada korban peristiwa 1965 dengan mengeluarkan kebijakan kesehatan gratis bagi korban peristiwa 1965. Hal ini tentunya lebih maju jika dibandingkan pemerintah pusat, yang hingga saat ini masih belum mengakui korban peristiwa 1965.

Apa yang dilakukan oleh kedua kepala daerah tersebut dapat kita sebut sebagai permulaan kota ramah HAM. Prinsip penghormatan, perlindungan dan pemenuhan HAM menjadi titik tolak dari apa yang dilakukan oleh kedua kepala daerah tersebut. Untuk itu, seharusnya pemerintah Indonesia, melalui Kementerian Hukum dan HAM, dapat mendorong penitikberatan penilaian untuk kota peduli HAM sesuai dengan prinsip-prinsip tersebut. Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, sejak tahun 2013 pemerintah memberikan penghargaan terhadap sejumlah kota/kabupaten yang peduli terhadap HAM. Namun sayangnya, kriteria dan indikator penilaian untuk kota/kabupaten peduli HAM masih belum mencakup prinsip-prinsip penghormatan, perlindungan dan pemenuhan HAM, sehingga masih banyak kritik dari masyarakat daerah tersebut, ketika suatu kota/kabupaten menerima penghargaan kota/kabupaten peduli HAM dari pemerintah. Untuk itu, revisi kriteria dan indikator pemerintah, khususnya Kementerian Hukum dan HAM, mengenai kota/kabupaten peduli HAM menjadi sangat penting untuk dilakukan agar sesuai dengan prinsip-prinsip HAM.

Charlotte Mathivet menjelaskan hak atas kota mencakup dimensi dan komponen-komponen sebagai berikut:[18] 1) hak terhadap habitat yang memfasilitasi sebuah jaringan kerja hubungan sosial; 2) hak terhadap kohesi sosial dan pembangunan kolektif dari kota; 3) hak untuk hidup secara bermartabat; 4) hak untuk bisa hidup berdampingan; 5) hak untuk mempengaruhi dan mendapatkan akses terhadap pemerintah kota; dan, 6) hak untuk diperlakukan secara sama.

Masih menurut Mathivet, hak atas kota atau kota/kabupaten ramah HAM tersebut dapat dicapai jika warga kotanya dijamin untuk melakukan hal-hal sebagai berikut: 1) melakukan aktivitas secara penuh sebagai warga negara; 2) mendapatkan perlakukan yang sama tanpa diskriminasi; 3) perlindungan khusus bagi kelompok-kelompok dan rakyat yang menghadapi situasi-situasi yang rentan; 4) adanya komitmen sosial dari sektor-sektor swasta; 5) adanya rangsangan bagi solidaritas ekonomi dan kebijakan pajak progresif; 6) manajemen dan perencanaan sosial atas kota; 7) produksi sosial di lingkungannya; 8) pembangunan perkotaan yang setara dan berkelanjutan; 9) hak atas informasi publik; 10) hak atas kebebasan dan integritas; 11) hak atas keadilan; 12) hak atas keamanan dan kedamaian publik, demi kehidupan bersama yang multikultur dan saling mendukung; 13) hak terhadap air, akses dan ketersediaan atas pelayanan publik dan domestik; 14) hak atas transportasi publik dan mobilitas perkotaan; 15) hak atas perumahan; 16) hak atas kerja; dan, 17) hak atas lingkungan yang bersih dan berkelanjutan.

Persoalan yang lain adalah banyak kepala daerah merasa telah memenuhi hak asasi warga kotanya ketika telah merubah “wajah” kota/kabupaten menjadi lebih indah. Hal ini terungkap dari presentasi yang dipaparkan oleh sejumlah kepala daerah yang diundang dalam konferensi nasional Human Rights Cities di Jakarta pada 9 Desember lalu. Jelas kriteria tersebut belum cukup untuk menyebut kota/kabupaten ramah HAM. Pertanyaan penting yang diajukan oleh dosen pasca sarjana Universitas Katolik Soegijapranata Semarang Budi Widianarko dalam sesi diskusi di konferensi nasional Human Rights Cities adalah apakah perubahan “wajah” kota/kabupaten dari kumuh menjadi indah tersebut dapat dinikmati oleh seluruh warga kota? Hal ini menjadi penting karena beberapa kepala daerah mengungkapkan bahwa mereka mengubah “wajah” kota/kabupaten dari wilayah yang kumuh menjadi tempat-tempat wisata. Apakah tempat wisata tersebut dapat diakses oleh seluruh warga kotanya, atau bahkan apakah ada warga kota yang dikorbankan dari perubahan “wajah” kota tersebut?

Hal ini juga dinyatakan oleh Wardah Hafidz dari Urban Poor Consortium (UPC) yang menegaskan bahwa salah satu prinsip kota ramah HAM adalah kota yang tidak ada penggusuran paksa. Menurutnya, pelibatan masyarakat menjadi penting dalam merumuskan tata kota. “Tata kota harus disusun dari bawah, dari tingkat RT/RW,” ujarnya.

Paradigma mengenai prinsip-prinsip HAM artinya juga harus dimiliki oleh seluruh kepala daerah untuk mewujudkan kota/kabupaten ramah HAM. Sederhananya, kota/kabupaten ramah HAM bukan hanya merubah “wajah” kota menjadi lebih indah melalui pembangunan infrastruktur, namun kepala daerah tersebut juga harus menghormati, melindungi dan memenuhi hak asasi warga kotanya. Peluang ini terbuka lebar bagi seluruh kepala daerah di Indonesia mengingat era desentralisasi telah dilaksanakan sejak tahun 1999. Melalui kebijakan desentralisasi tersebut, kekuasaan pemerintah daerah menjadi lebih luas, khususnya untuk menghormati, melindungi dan memenuhi hak asasi warga kotanya.

Perubahan paradigma dari kepala daerah mengenai prinsip-prinsip HAM dalam mengelola kota/kabupatennya tentunya tidak semudah membalikkan tangan. Untuk itu, dibutuhkan pendidikan mengenai HAM bagi kepala daerah, bahkan bisa diperluas bagi seluruh perangkat pemerintahan daerah yang berkepentingan, untuk memahami HAM agar dalam mengelola kota/kabupatennya dapat sesuai dengan prinsip-prinsip HAM. Dengan pendidikan HAM yang terus menerus dan berkelanjutan bagi perangkat pemerintahan daerah di Indonesia, maka mewujudkan kota/kabupaten yang ramah HAM bukanlah sesuatu yang mustahil.

Selain perubahan atau revisi kriteria penilaian dari Kementerian Hukum dan HAM mengenai kota/kabupaten peduli HAM dan perubahan paradigma dari kepala daerah mengenai kota/kabupaten yang ramah HAM, yang lebih penting adalah mengenai pelibatan masyarakat atau warga kota dalam merumuskan kebijakan kotanya. Beberapa pengalaman kota-kota di belahan dunia lain telah mempraktekkan pelibatan warga kota dalam merumuskan kebijakan kotanya, seperti Gwangju, Porto Alegre atau pembangunan Dewan Komunal di Venezuela. Di Gwangju, partisipasi warga kota yang dimulai di Gwangju pada tahun 2001, akhirnya dijadikan model pelibatan masyarakat di Korea Selatan pada tahun 2014. Sementara anggaran partisipatoris diterapkan di Porto Alegre, Brazil pada tahun 1989. Melalui sistem ini, warga kota berpartisipasi dalam menentukan alokasi anggaran kota untuk kebutuhan warga kota. Sedangkan platform Dewan Komunal di Venezuela, yang diperkenalkan oleh mantan presiden Hugo Chavez, menjadi salah satu tulang punggung berjalannya pemerintahan di sana.

Pengalaman-pengalaman beberapa kota di belahan dunia tersebut menarik jika menjadi pembelajaran bagi kepala daerah untuk mewujudkan kota/kabupaten ramah HAM. Pengalaman dan keberhasilan beberapa kota tersebut tentunya dapat dijadikan acuan bagi pemerintahan kota/kabupaten di Indonesia dalam mewujudkan kota/kabupaten ramah HAM. Bahkan, dari berbagai pengalaman kota-kota di dunia tersebut, maka bukan tidak mungkin kepala daerah dan perangkat pemerintahan daerahnya merumuskan sendiri kebijakan-kebijakan yang ramah HAM sesuai dengan kebutuhan warga kotanya dan geografis wilayahnya.

 


[1] “Menteri Hukum Berikan Penghargaan Kota/Kabupaten Peduli HAM 2014,” detik.com, 11 Desember 2014, http://news.detik.com/read/2014/12/11/002512/2773923/10/1/menteri-hukum-berikan-penghargaan-kota-kabupaten-peduli-ham-2014(diakses 24 Desember 2014)

[2] Dalam lampiran Permenkumham No 25 Tahun 2013 dijelaskan indikator penilaian terhadap hak hidup mencakup 1) angka kematian ibu; angka kematian bayi; dan, 3) tutupan vegetasi pada kawasan berfungsi lindung. Indikator untuk hak mengembangkan diri mencakup: 1) persentase anak usia 7-12 tahun yang belum memperoleh pendidikan tingkat SD; 2) persentase anak usia 13-15 tahun yang belum memperoleh pendidikan tingkat SMP; 3) persentase anak berkebutuhan khusus yang memperoleh pendidikan; dan, 4) persentase penyandang buta aksara. Indikator Hak atas Kesejahteraan mencakup: 1) penyediaan air bersih untuk kebutuhan penduduk; 2) persentase keluarga berpenghasilan rendah yang tidak memiliki rumah; 3) persentase rumah tidak layak huni; 4) persentase angka pengangguran; 5) persentase penurunan jumlah anak jalanan dari tahun sebelumnya ke tahun berjalan; 6) persentase balita kurang gizi; dan, 7) persentase keluarga yang belum memiliki akses terhadap jaringan listrik. Indikator hak atas Rasa Aman mencakup jumlah demonstrasi yang anarkis. Sedangkan indikator Hak Perempuan mencakup: 1) persentase keterwakilan perempuan dalam jabatan pemerintahan daerah; dan, 2) persentase kekerasan terhadap perempuan.

[3]“Pemerintah Siapkan RANHAM Periode 2010-2014,” hukumonline.com, 4 Februari 2010,http://www.hukumonline.com/berita/baca/lt4b6aa27ae0e2f/ranham(Diakses 24 Desember 2014)

[4] Lihat Task Force Pemantauan RANHAM, Evaluasi Pelaksanaan RANHAM 2004-2009 dan Rencana Ratifikasi Optional Protocol to the Convention against Torture (CAT) dalam RANHAM 2004-2009 dan Perencanaan RANHAM 2010-2014 (Jakarta, The Partnership for Governance Reform, Juni 2012),http://www.kemitraan.or.id/sites/default/files/20120809092409.Evaluasi%20Pelaksanaan%20RANHAM%202004-2009.pdf(Diakses 24 Desember 2014). Lihat juga Matriks Perpres Nomor 23 Tahun 2011 tentang RANHAM 2011-2014,http://www.ohchr.org/Documents/Issues/NHRA/NAPIndonesiaTahun2011_2014.pdf

[5] “Pemprov Dinilai Tak Serius Tangani Kasus HAM,” Koran Sindo, 11 Desember 2014,http://www.koran-sindo.com/read/935796/151/pemprov-dinilai-tak-serius-tangani-kasus-ham(Diakses 24 Desember 2014)

[6] INFID, Booklet Konferensi Nasional Human Rights Cities, 2014, hlm 6,http://infid.org/pdfdo/1418192699.pdf

[7] Lihat Piagam Dunia Hak Atas Kota

[8] INFID, Loc.Cit., hlm 7

[9] Lihat data BPS mengenai Jumlah penduduk miskin dan persentase penduduk miskin, 1970-2003. Penduduk miskin di pedesaan sekitar 14,42%, sementara penduduk miskin di perkotaan sekitar 8,52% di September 2013, http://www.bps.go.id/tab_sub/view.php?kat=1&tabel=1&daftar=1&id_subyek=23¬ab=7

[10] Coen Husain Pontoh, wawancara dengan Rusman Nurjaman, Harian Indoprogress, 18 Februari 2003, http://indoprogress.com/2013/02/coen-husain-pontoh-partisipasi-warga-kunci-pembangunan-kota/(Diakses 24 Desember 2014)

[11] “Data Pertumbuhan Mal di Kawasan Jakarta,” tempo.co,18 September 2013,http://www.tempo.co/read/news/2013/09/18/083514312/Data-Pertumbuhan-Mal-di-Kawasan-Jakarta(Diakses 24 Desember 2014)

[12]“Apartemen Makin Menjamur di Jakarta,” tempo.co,8 Januari 2013,http://www.tempo.co/read/news/2013/01/08/093452994/Apartemen-Makin-Menjamur-Di-Jakarta/(Diakses 24 Desember 2014)

[13] “Irwansyah: Wargalah Yang Sehari-hari Membentuk Kota,” wawancara dengan Fathimah Fildzah Izzati, Left Book Review, 17 Desember 2013,http://indoprogress.com/2013/12/irwansyah-wargalah-yang-sehari-hari-membentuk-kota/(Diakses 24 Desember 2014)

[14] “Hak atas Kota: Hak untuk Bermukim di Pusat Kota!” 13 Juni 2013,http://rujak.org/tag/penggusuran/(Diakses 24 Desember 2014)

[15] David Harvey, “Social Justice and The City” (New York: Routledge, 1973) seperti dikutip dalam Rio Apinino, “Penyingkiran Kaum Miskin Kota dan Hak Atas Kota,” Harian Indoprogress, 20 Agustus 2014, http://indoprogress.com/2014/08/penyingkiran-kaum-miskin-kota-dan-hak-atas-kota/(Diakses 24 Desember 2014)

[16] Coen Husain Pontoh, Loc Cit., 18 Februari 2013

[17] “Hak Atas Kota,” Harian Indoprogress, 25 Januari 2013,http://indoprogress.com/2013/01/hak-atas-kota-2/(Diakses 24 Desember 2014)

[18]City for All: Proposals and Experiences towards the RIght to the City, eds. Ana Sugranyes., Charlotte Mathivet (Santiago: Habitat International Coalition, 2010) seperti dikutip oleh Coen Husain Pontoh., Ibid

Posted in Nasional, PerspektifComments (0)

Penutupan Jalsah Salanah UK 2014

Press Ahmadiyya. Lebih dari 33.000 orang dari 97 negara hadir

Jalsah Salanah (Pertemuan Tahunan) ke-48 Jamaah Muslim Ahmadiyah UK ditutup pada hari Minggu 31 Agustus 2014 dengan pidato yang mengugah iman oleh Pemimpin Jamaah Muslim Ahmadiyah sedunia, Khalifah Ke-5 Yang Mulia Hazrat Mirza Masroor Ahmad.

Tahun ini lebih dari 33.000 orang menghadiri Jalsah Salanah dari 97 negara. Selain ribuan Muslim Ahmadi yang hadir, banyak tamu non-Ahmadi dan non-Muslim juga datang untuk menghadiri acara tersebut.

Salah satu yang menarik dari Jalsah Salanah adalah janji kesetiaan, yang dikenal sebagai bai’at yang berlangsung pada hari Minggu sore di mana para peserta berjanji setia kepada Hazrat Mirza Masroor Ahmad sebagai Khalifah dari Hazrat Masih Mau’ud. Para peserta membentuk rantai manusia menuju Khalifah saat mereka mengulangi kata-kata dari ikrar secara serempak.

Sebelum acara tersebut, Yang Mulia mengumumkan bahwa lebih dari 550.000 orang telah bergabung dengan Jamaah Muslim Ahmadiyah selama setahun terakhir.

Dalam pidato penutupnya, Hazrat Mirza Masroor Ahmad berbicara tentang bagaimana pendiri Jamaah Muslim Ahmadiyah, Yang Mulia Hazrat Mirza Ghulam Ahmad dari Qadian, Masih Mau’ud dan Imam Mahdi, datang untuk membangun kembali ajaran Islam yang damai dan asli.

jalsah-salanah-uk-2014Masih Mau’ud mengajarkan bahwa Allah adalah satu dan bahwa Nabi Muhammad (saw) adalah nabi pembawa syariat terakhir yang datang dengan ajaran universal bagi seluruh umat manusia.

Dalam Jalsah Salanah, Yang Mulia mengatakan bahwa di dunia sekarang ini banyak tuduhan palsu yang dilontarkan terhadap Islam dan Nabi Muhammad (saw).

Yang Mulia mengatakan bahwa semua tuduhan tersebut benar-benar palsu dan bahwa dalam kenyataannya Nabi (saw) adalah rahmat bagi seluruh umat manusia yang datang untuk menyebarkan cinta dan kasih sayang untuk semua orang, untuk segala zaman.

Jalsah Salanah diakhiri dengan doa yang dipimpin oleh yang mulia di mana ia meminta Muslim Ahmadi untuk berdoa bagi perdamaian dunia dan dunia Muslim agar mendapat petunjuk menuju ajaran asli Islam dan agar seluruh kekerasan dan kekejaman berakhir.

Yang Mulia secara khusus berdoa bagi para korban yang tidak bersalah dalam perang Gaza akhir-akhir ini.

Jalsah Salanah berlangsung di sebuah lahan seluas 200 acre di Alton, Hampshire dikenal sebagai ‘Hadeeqatul Mahdi’.

Selain 5 pidato yang disampaikan oleh Hadhrat Mirza Masroor Ahmad, berbagai pembicara dan intelektual lainnya naik kepanggung selama 3 hari acara tersebut.

Berbagai pameran juga dilangsungkan, termasuk pameran fotografi mendokumentasikan sejarah Jamaah Muslim Ahmadiyah dan pameran HAM. (nan)

Posted in MancanegaraComments (4)

Ini 5 permintaan Komnas HAM kepada Jokowi soal kebebasan beragama dan berkeyakinan

PERTAMA, memberikan kepastian hukum dengan memberikan perlindungan melalui akses kebenaran, keadilan, dan pemulihan bagi korban pengungsian Ahmadiyah di Mataram, pengungsi Syiah Sampang, jemaat HKBP Filadelfia Bekasi, jemaat GKI Yasmin Bogor, jemaah masjid di Batuplat NTT dan jemaah mushala di Denpasar, Bali.

JAKARTA, KOMPAS.com — Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) menagih komitmen presiden terpilih Joko Widodo (Jokowi) atas penegakan dan perlindungan hak beragama, berkeyakinan, dan beribadah.

“Dalam visi dan misinya, presiden terpilih berkomitmen atas penegakan HAM, salah satunya perlindungan dan pemajuan atas hak beragama, berkeyakinan, dan beribadah. Namun, patut dimasukkan ke dalam program prioritas kerja nyata pada awal pemerintahan baru,” ujar Komisioner Komnas HAM Imdadun Rahmat dalam konferensi pers di Jakarta, Kamis (4/9/2014), seperti dikutip Antara.

Imdadun menyampaikan, sedikitnya terdapat lima hal terkait kebebasan beragama yang patut dipertimbangkan Jokowi dalam program prioritas di kabinetnya.

Pertama, memberikan kepastian hukum dengan memberikan perlindungan melalui akses kebenaran, keadilan, dan pemulihan bagi korban pengungsian Ahmadiyah di Mataram, pengungsi Syiah Sampang, jemaat HKBP Filadelfia Bekasi, jemaat GKI Yasmin Bogor, jemaah masjid di Batuplat NTT dan jemaah mushala di Denpasar, Bali.

Kedua, mengevaluasi pelaksanaan Peraturan Bersama Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri (PBM) Nomor 8 dan 9 Tahun 2006 tentang Pedoman Pelaksanaan Tugas Kepala Daerah/Wakil Kepala Daerah dalam Kerukunan Umat Beragama, Pemberdayaan Forum Kerukunan Umat Beragama, dan Pendirian Rumah Ibadat karena PBM itu dinilai diskriminatif.

“Pertimbangan kuantitatif dukungan warga dalam pendirian rumah ibadah pada dasarnya hanya memberikan proteksi berlebihan bagi umat mayoritas, sementara kelompok minoritas agama dilanggar,” ujar dia.

Ketiga, mencabut Keputusan Bersama Menteri Agama, Jaksa Agung, dan Menteri Dalam Negeri RI Nomor 3 Tahun 2008 tentang Peringatan dan Perintah kepada Penganut, Anggota dan/atau Anggota Pengurus Jemaat Ahmadiyah Indonesia (JAI) dan Warga Masyarakat. Kebijakan itu dinilai bertentangan dengan konstitusi.

“Keberadaan SKB itu menjadi pemicu munculnya aksi-aksi kekerasan terhadap kelompok Ahmadiyah di Indonesia,” kata dia.

Keempat, mempertimbangkan pentingnya UU kebebasan beragama dan berkeyakinan sebagai konsekuensi logis jaminan perlindungan hak atas kebebasan beragama dan berkeyakinan kepada seluruh rakyat, sebagaimana ditegaskan dalam pertimbangan hukum Mahkamah Konstitusi.

Kelima, membentuk panitia khusus yang bertugas melakukan penyelesaian kasus-kasus dan pemajuan hak atas kebebasan beragama dan berkeyakinan di Indonesia untuk memastikan dilaksanakannya rekomendasi sebagaimana disebutkan dalam butir satu hingga empat sebagai kebijakan prioritas presiden terpilih.

Editor: Sandro Gatra
Sumber: Antara

Posted in Nasional, Persekusi, PerspektifComments (0)

Komnas HAM tagih janji Jokowi soal Ahmadiyah

Pertama, memberikan kepastian hukum dengan memberikan perlindungan melalui akses kebenaran, keadilan dan pemulihan bagi korban pengungsian Ahmadiyah di Mataram, pengungsi Syiah Sampang, jemaat HKBP Filadelfia Bekasi, jemaat GKI Yasmin Bogor, jamaah Masjid di Batuplat NTT dan jamaah mushalla di Denpasar, Bali.

Harian Terbit

Jakarta, HanTer – Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) menagih komitmen Joko Widodo (Jokowi) atas penegakan perlindungan dan pemajuan hak beragama, berkeyakinan dan beribadah, yang tertuang dalam visi dan misi Presiden terpilih itu.

“Dalam visi dan misinya Presiden terpilih berkomitmen atas penegakkan HAM, salah satunya perlindungan dan pemajuan atas hak beragama, berkeyakinan dan beribadah, namun patut dimasukkan ke dalam program prioritas kerja nyata di awal pemerintahan baru,” ujar Komisioner Komnas HAM Imdadun Rahmat dalam konferensi pers di Jakarta, Kamis.

Imdadun menyampaikan sedikitnya terdapat lima hal terkait kebebasan beragama, yang patut dipertimbangkan Jokowi dalam program prioritas di kabinetnya.

Pertama, memberikan kepastian hukum dengan memberikan perlindungan melalui akses kebenaran, keadilan dan pemulihan bagi korban pengungsian Ahmadiyah di Mataram, pengungsi Syiah Sampang, jemaat HKBP Filadelfia Bekasi, jemaat GKI Yasmin Bogor, jamaah Masjid di Batuplat NTT dan jamaah mushalla di Denpasar, Bali.

Kedua, mengevaluasi pelaksanaan Peraturan Bersama Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri (PBM) Nomor 8 dan 9 Tahun 2006 tentang Pedoman Pelaksanaan Tugas Kepala Daerah/Wakil Kepala Daerah dalam Kerukunan Umat Beragama, Pemberdayaan Forum Kerukunan Umat Beragama dan Pendirian Rumah Ibadat, karena PBM itu dinilai diskriminatif.

“Pertimbangan kuantitatif dukungan warga dalam pendirian rumah ibadat pada dasarnya hanya memberikan proteksi berlebihan bagi umat mayoritas, sementara kelompok minoritas agama dilanggar,” ujarnya dikutip Antara.

Ketiga, mencabut Keputusan Bersama Menteri Agama, Jaksa Agung dan Menteri Dalam Negeri RI Nomor 3 Tahun 2008 tentang Peringatan dan Perintah kepada Penganut, Anggota dan/atau Anggota Pengurus Jemaat Ahmadiyah Indonesia (JAI) dan Warga Masyarakat, karena kebijakan itu dinilai formal dan substansial bertentangan konstitusi. “Keberadaan SKB itu menjadi pemicu munculnya aksi-aksi kekerasan terhadap kelompok Ahmadiyah di Indonesia,” kata dia.

Keempat, mempertimbangkan pentingnya UU Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan sebagai konsekuensi logis jaminan perlindungan hak atas kebebasan beragama dan berkeyakinan kepada seluruh rakyat, sebagaimana ditegaskan dalam pertimbangan hukum Mahkamah Konstitusi.

Kelima, membentuk Panitia Khusus yang bertugas melakukan penyelesaian kasus-kasus dan pemajuan hak atas kebebasan beragama dan berkeyakinan di Indonesia untuk memastikan dilaksanakannya rekomendasi sebagaimana disebutkan dalam butir satu hingga empat sebagai kebijakan prioritas Presiden terpilih.

Menurut Imdadun hak kebebasan beragama dan berkeyakinan menjadi persoalan yang tidak kunjung diselesaikan. Pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono dinilainya telah gagal menegakkan kebebasan berkeyakinan.

Dia berharap Jokowi tidak mengulangi kegagalan pemerintahan Yudhoyono itu. “Pemerintahan SBY gagal menegakkan kebebasan berkeyakinan. Kami tidak ingin kegagalan ini diteruskan pemerintahan baru, sehingga kami mengusulkan dalam program 100 hari pemerintahan baru agar dimasukkan agenda ini dalam prioritasnya,” ujar dia.

Dia menekankan selama ini terdapat beberapa kasus yang menjadi perhatian nasional dan internasional, yang menunjukkan kegagalan pemerintahan SBY, seperti fakta warga Ahmadiyah di NTB dan Syiah di Sampang yang harus hidup di pengungsian.

“Dua kasus ini potret yang terang benderang bahwa pemerintah gagal menjalankan kewajibannya. Ini kami sebut gagal, karena Komnas HAM sudah berupaya maksimal berkomunikasi dengan Presiden (Yudhoyono), tapi rekomendasi kami tidak dijalankan,” tegas dia.
(Anu)

Posted in Nasional, Persekusi, PerspektifComments (0)

Soal kebebasan beragama, Gamawan diminta tiru Lukman Hakim

Lukman, menurut Bonar, mau membuka forum dialog dengan umat agama minoritas seperti yang dilakukannya kepada penganut Bahai dan penganut aliran Ahmadiyah.

“Lukman Hakim Saifuddin banyak dipuji karena ia berani meluangkan waktu untuk berdialog dengan pihak-pihak penganut agama minoritas. Sekarang masalahnya di Kemendagri, Gamawan Fauzi yang belum buka akses legalitasnya secara administratif,” kata Bonar, di kantor Setara Institute, Bendungan Hilir, Jakarta Pusat, Rabu (27/8/2014).

JAKARTA, KOMPAS.com — Wakil Ketua Setara Institute Bonar Tigor Naipospos mengatakan, Kementerian Agama harus sejalan dengan Kementerian Dalam Negeri untuk mewujudkan Indonesia yang menjunjung tinggi kebebasan beragama dan berkeyakinan. Menurut dia, dua kementerian ini memegang peranan penting dalam pengakuan kelompok minoritas di Indonesia.

Ia mengapresiasi positif langkah yang dilakukan Menteri Agama Lukman Hakim Saifuddin. Lukman, menurut Bonar, mau membuka forum dialog dengan umat agama minoritas seperti yang dilakukannya kepada penganut Bahai dan penganut aliran Ahmadiyah.

“Lukman Hakim Saifuddin banyak dipuji karena ia berani meluangkan waktu untuk berdialog dengan pihak-pihak penganut agama minoritas. Sekarang masalahnya di Kemendagri, Gamawan Fauzi yang belum buka akses legalitasnya secara administratif,” kata Bonar, di kantor Setara Institute, Bendungan Hilir, Jakarta Pusat, Rabu (27/8/2014).

Bonar menambahkan, seharusnya Kemendagri juga memfasilitasi kebebasan beragama dalam aspek legalitas. Kemendagri, dalam pandangan Bona, juga bisa menyinkronkan legalitas tersebut untuk diinstruksikan ke pemerintah daerah. Ia menyayangkan tindakan Gamawan yang justru menyarankan kepada pemeluk agama minoritas untuk memilih salah satu agama yang diakui negara untuk dicantumkan di kartu tanda penduduk.

“Harusnya Gamawan meniru Lukman Hakim yang berpandangan terbuka bahwa negara hanya sebagai fasilitator umat bergama, bukan (negara) yang memberi pengakuan terhadap keberadaan agama,” kata Bonar.

Posted in Nasional, PerspektifComments (0)

Banyak janji Yudhoyono soal HAM ‘tidak terpenuhi’

LEMBAGA pegiat lain seperti Setara institute for Democracy and Peace menggaris bawahi kasus-kasus intoleransi beragama yang tidak juga diselesaikan. Dua di antaranya, menurut Setara, adalah kesulitan beribadah yang dialami oleh jemaat GKI Yasmin di Bogor dan penolakan terhadap pengikut Ahmadiyah [dan juga terhadap pengikut Syiah] di Sampang, Madura.

BBC Indonesia

PRESIDEN Susilo Bambang Yudhoyono hari Jumat (29/08) dijadwalkan akan menghadiri forum global United Nations Alliance of Civilizations di Bali.

SBY rencananya akan memberi sambutan mengenai isu global dan hak asasi manusia sesuai dengan tema forum tersebut “unity in diversity” atau persatuan dalam keberagaman, seperti yang diungkap staf khusus presiden bidang hubungan internasional Teuku Faizasyah.

Perserikatan Bangsa-Bangsa sebagai penyelenggara juga menganggap Indonesia sebagai negara besar, sangat beragam, damai dan cocok untuk menyelaraskan budaya timur dan barat serta Islam dan dunia agama lain, kata Michele Zaccheo, Direktur Pusat Informasi PBB di Indonesia.

Namun masalah hak asasi manusia justru dinilai memburuk selama masa pemerintahan Presiden Yudhoyono dan banyak janjinya terkait HAM tidak terpenuhi, jelas Andreas Harsono, peneliti Indonesia dari organisasi pegiat HAM Human Rights Watch.

“Ketika SBY mulai jadi presiden, dia kan berjanji menyelesaikan masalah-masalah HAM, hak asasi manusia. Yang terkenal kan janji dia soal Munir yah. Menyelesaikan masalah Munir itu kata dia, the test of our history, ujian kita oleh sejarah. Dia juga janji akan membereskan yang lain, ’65, orang hilang dan seterusnya. Ternyata itu semua tidak dia penuhi,” kata Andreas.

Lembaga pegiat lain seperti Setara institute for Democracy and Peace menggaris bawahi kasus-kasus intoleransi beragama yang tidak juga diselesaikan.

Dua diantaranya, menurut Setara, adalah kesulitan beribadah yang dialami oleh jemaat GKI Yasmin di Bogor dan penolakan terhadap pengikut Ahmadiyah [dan juga terhadap pengikut Syiah] di Sampang Madura.

Menanggapi pendapat tersebut, staf khusus presiden bidang hubungan internasional Teuku Faizasyah mengatakan situasi di Indonesia masih lebih baik dibandingkan dengan negara-negara lain.

“Karena justru, kalau kita bandingkan apa yang terjadi di dunia saat sekarang apa yang dilihat sebagai kasus-kasus intoleransi itu, tidak bisa dibandingkan dengan apa yang terjadi di Timur Tengah di kawasan lainnya di dunia. Bahkan apa yang terjadi juga belum lama ini di Amerika Serikat kan cerminan kasus-kasus intoleransi,” kata Teuku Faizasyah.

Harapan pada pemerintah baru

Di lain pihak, tidak banyak yang bisa dilakukan oleh pemerintahan Yudhoyono yang tinggal tujuh pekan lagi. Karenanya Bonar Tigor Naipospos, dari Setara Institute berharap pemerintah yang akan datang dapat memberi solusi terhadap kasus-kasus intoleransi beragama.

“Enam bulan pertama, dia (Jokowi) dapat mengambil langkah konkret misalnya, satu menyelesaikan persoalan GKI Yasmin. Kedua misalnya, mengembalikan fungsi masjid Al Misbah di Bekasi yang disegel oleh pemerintah kota. Kemudian memulangkan pengungsi Syiah yang sekarang ini ada di Sidoarjo ke Sampang,” ujar Bonar.

Bonar juga berharap pemerintah yang akan datang dapat menghapus regulasi dan peraturan pemerintah yang bersifat diskriminatif terhadap kelompok tertentu.

Forum global United Nations Alliance of Civilizations akan berlangsung hingga Sabtu (30/08) dan juga akan dihadiri oleh sekretaris jenderal PBB Ban Ki Moon.

Posted in Nasional, Persekusi, PerspektifComments (0)

Indonesian province turns up Sharia law after devastating tsunami

ANDREAS HARSONO: There are two groups that are actually threatened by this formalization of the Sharia. The first group is religious minorities. More than 20 churches are closed down in Aceh over the last two years. They also banned 14 Islamic religious sects, like the Ahmadiyya, the Shia. We didn’t expect that.

_
Andreas Harsono dari Human Rights Watch: “Dengan memberlakukan syariah di Aceh, bangsa negara Indonesia pada dasarnya membuka kotak Pandora.”

Kira Kay: “Andreas Harsono berasal dari Human Rights Watch.

Andreas Harsono: “Terdapat dua kelompok yang benar-benar terancam oleh formalisasi syariah ini.

“Kelompok pertama merupakan kaum minoritas keagamaan.

“Lebih dari 20 gereja ditutup di Aceh selama dua tahun terakhir. Mereka pun melarang 14 sekte-sekte keagamaan Islam, seperti Ahmadiyah dan Syiah.

“Kami tidak menyangka demikian.

“Korban yang kedua adalah kaum perempuan.

“Beraneka ragam, peraturan-peraturan aneh dibuat, misalnya, melarang kaum perempuan duduk mengangkangi sepeda motor.

“Pada beberapa daerah, kaum perempuan tidak boleh mengenakan pakaian celana panjang untuk pergi bekerja atau pergi sekolah, yang berarti bahwa itu membatasi mobilitas mereka. Pada akhirnya, yang demikian akan mempengaruhi pendidikan mereka.”

_
ISLAMIC Sharia law was fairly dormant in the Indonesian province of Aceh until a massive earthquake and tsunami struck in 2004, killing more than 130,000. But as residents rebuild, Sharia officers have strengthened their grip, threatening rights of religious minorities and women. Special correspondent Kira Kay reports.

PBS News Hour

TRANSCRIPT

JUDY WOODRUFF: We turn now to Indonesia, where one province, in the wake of the devastating tsunami of 2004, has embraced Islamic Sharia law.

Special correspondent Kira Kay recently traveled to Aceh province, where she was given special access to the religious police force, to bring us this inside look at how Sharia is impacting the everyday life of residents.

KIRA KAY: It’s Friday noon, time for the most important prayers of the week at mosques around the Indonesian city of Banda Aceh.
Besides the call to prayer, you can hear another sound on the streets, the loudspeaker from the Sharia police patrol.

WOMAN (through interpreter): Exit and head to the mosque in order to do Friday prayers.

KIRA KAY: Shops and restaurants are supposed to be closed during prayers, but these Sharia officers are tipped off by the motorbikes parked out front the seemingly shuttered entrances, and they break up the clandestine lunch plans of this roomful of men.

Alongside a secular legal system, Aceh enforces an official policy of Sharia. While most offenses draw only a scolding from police, there is a court system to try more serious cases, with public caning the ultimate punishment.

Ritasari Pujiastuti is the chief of Banda Aceh’s Sharia police.

RITASARI PUJIASTUTI, Chief, Sharia Police Force (through interpreter): The most common infractions we find are un-Islamic behavior, like not wearing proper clothing. Next is being alone with someone who is not your spouse, particularly in quiet places, and then gambling. We also find a lot of alcoholic drinks. We also get reports from citizens telling us whenever a Sharia violation happens in a given neighborhood.

KIRA KAY: Sitting at the northernmost tip of Indonesia, Aceh is nicknamed the verandah of Mecca. Islam first came to the country through here.

Aceh fought a three-decade war for independence from the rest of Indonesia. It didn’t win, but was given special autonomy that included Sharia. So far, Aceh is the only province in Indonesia to be given this special right.

Banda Aceh Mayor Illiza Sa’Aduddin has made Sharia a priority.

MAYOR ILLIZA SA’ADUDDIN DJAMAL, Banda Aceh (through interpreter): We are very proud that Aceh got to do this first, that this blessing was bestowed on us. Even though there are shortcomings, we are glad to be able to live under Sharia.

KIRA KAY: The system sat fairly dormant until after 2004, when a massive earthquake and ensuing tsunami rocked Aceh, killing 130,000 people. Many citizens felt the disaster was God’s punishment for their lack of devoutness, evidenced by the mosques that remained standing amidst fields of rubble.

Acehnese renewed their dedication to their faith. The tsunami recovery process also opened up long-closed Aceh to the world, and its vices, says police chief Ritasari.

RITASARI PUJIASTUTI (through interpreter): We need to constantly monitor people’s behaviors by patrol or raid because there are a lot of outside influences coming from all sides. We are safeguarding people, particularly the younger generation, who are drawn towards this wave of globalization.

KIRA KAY: Mayor Sa’Aduddin says Sharia is part of Aceh’s rebuilding process.

ILLIZA SA’ADUDDIN DJAMAL (through interpreter): We are really grateful to everyone who has helped us with the recovery and rehabilitation. Without their help, we wouldn’t be where we are today. Our challenge is to ensure that Islamic values remain in people’s hearts, so that we can build on this development in a positive way, through a generation that contributes to society.

KIRA KAY: Among young citizens of Aceh, there’s some surprising agreement with the concerns of the mayor and police chief. Sanusi was stopped by the Sharia police for driving with female friends after dark.

SANUSI (through interpreter): I was nervous when it happened, but I feel the rules are good for society, especially to guide the lives and behaviors of young people. Yes, sometimes, we feel embarrassed or annoyed, but when the Sharia police give us words of advice, we understand they are for the good of all.

EVA AGUSTINA (through interpreter): Personally, I feel comfortable. I can also express myself with the latest Islamic fashion.

KIRA KAY: At the Islamic university, young students debate the laws amongst themselves.

MASHITAH (through interpreter): People view the Sharia as something extreme. But I think Sharia is there to establish boundaries, not to imprison us.

SEPTIA MULIA (through interpreter): I don’t agree that everything should be regulated. I think it is us who should regulate ourselves, not the government who establishes what we can or can’t do.

KIRA KAY: The restrictions on young people are significant, because Sharia prohibits the close interactions of unmarried people. Banda Aceh’s only cinema was shut down, and the music scene has been censored, with some of the city’s famous punks themselves convicted of Sharia violations.

Young people can still go to the beach, but it closes at dark to avoid improper behavior, causing traffic jams at the gate. Billboards sponsored by the city remind citizens that unmarried couples cannot be alone together. This young couple knows they are breaking the law, but they have nowhere else to go and are willing to take the risk.

Other youth have taken a cat-and-mouse approach, like these young women, who are wearing lawbreaking, though stylish, pencil pants.

DEWI NURHALIZA (through interpreter): We just have to be careful. If we see the Sharia police, we run.

NURUL FITRI (through interpreter): Of course we won’t just stand there and get arrested. I could never bear the shame.

KIRA KAY: But beyond these lifestyle infringements lurk more serious human rights concerns, as Aceh’s interpretation of Sharia broadens.

ANDREAS HARSONO, Human Rights Watch: By giving the Sharia to Aceh, the Indonesians basically opened the Pandora’s box.

KIRA KAY: Andreas Harsono is with Human Rights Watch.

ANDREAS HARSONO: There are two groups that are actually threatened by this formalization of the Sharia. The first group is religious minorities. More than 20 churches are closed down in Aceh over the last two years. They also banned 14 Islamic religious sects, like the Ahmadiyya, the Shia. We didn’t expect that.

The second victim is women. There are various, strange regulations being produced, for instance, banning women from straddling motorcycles. In some areas, women cannot wear pants to go to work or to go to school, which means that it will restrict their mobilities. Ultimately, it will affect their economic rights. Ultimately, it will affect their education.

KIRA KAY: We were given special access to follow the Sharia police on their daily rounds.

WOMAN (through interpreter): We often come to parks like this, because we can see people dating or not wearing Muslim dress. We try to give them guidance on the scene. But if the violation is more serious, we will bring it to the office.

KIRA KAY: We noticed women being targeted a lot more than men. These store clerks were chased because their uniforms were immodest. So was this mom for not wearing a head scarf. And this troubling scene, the berating of a young woman in the parking lot, after being caught having an affectionate outing with her boyfriend.

WOMAN (through interpreter): You will bring shame to your village. Do you understand?

AZRIANA MANALU, Lawyer, LBH Apik Aceh (through interpreter): When a man violates Sharia, people see it as a misdemeanor. But when it’s a woman, she is automatically seen as a sinner who has no place in society.

KIRA KAY: Azriana Manalu is a lawyer advocating for women facing serious Sharia violations. She says accusations of adultery are particularly traumatizing for women, but even simpler charges can ruin lives.

In 2010, two young women were caned because they were caught selling rice during Ramadan. After their public punishment, Manalu says, they fled their homes for good.

AZRIANA MANALU (through interpreter): The worst kind of punishment for women is the social stigma, even excommunication they receive from their communities. The caning hurts them for only one or two days, but the condemnation is something they will face for the rest of their lives.

KIRA KAY: Manalu also fears that communal tensions are rising as neighbors turn each other in.

AZRIANA MANALU (through interpreter): I don’t think Sharia is what people need right now. What we need is for victims of past conflict to live peacefully. We also need to put an end to corruption. These things should be taken seriously by the government, not this priority on Sharia enforcement.

KIRA KAY: Mayor Sa’Aduddin admits improvements are needed but remains firmly committed to Sharia.

MAYOR ILLIZA SA’ADUDDIN DJAMAL (through interpreter): We don’t want the officers to be authoritarian. They must truly understand their function is not to just punish people, but also to explain why they do this, and tell people not to take the law into their own hands. There must also be clear legal procedures, with witnesses and evidence.

KIRA KAY: There are now new bylaws extending Aceh’s Sharia rules to non-Muslims. For the first time this past Ramadan, Christian Chinese food shops were forced to close during the fasting period, a troubling development for a country long known for its moderate form of Islam.

Meanwhile, other parts of Indonesia are beginning to see Aceh as a model, sending local officials to observe the implementation.

JUDY WOODRUFF: This report is part of the Fault Lines of Faith series produced in partnership with the Bureau for International Reporting.

Posted in Kemanusiaan, Nasional, Persekusi, PerspektifComments (0)

HRW serahkan dokumen rekomendasi HAM ke Jokowi

“SOAL kebebasan beragama, misalnya, mencabut Surat keputusan Bersama Ahmadiyah itu bisa dilakukan tanpa omongan dengan DPR,” kata peneliti dari Human Right Watch, Andreas Harsono.

TEMPO.CO, Jakarta – Human Rights Watch akan menyerahkan dokumen yang berisi rekomendasi penyelesaian masalah hak asasi manusia kepada presiden terpilih, Joko Widodo. Rekomendasi itu dibuat sesuai dengan kewenangan sebagai presiden.

“Soal kebebasan beragama, misalnya, mencabut Surat keputusan Bersama Ahmadiyah itu bisa dilakukan tanpa omongan dengan DPR,” kata peneliti dari Human Right Watch, Andreas Harsono, di Balai Kota, Jalan Medan Merdeka Selatan, Gambir, Jakarta Pusat, Jumat, 22 Agustus 2014. (Baca: Jokowi-JK Didesak Benahi Birokrasi Investasi)

Juga tentang permasalahan sengketa tanah dan buruh migran. “Dari persoalan sampai rekomendasi itu ada. Ini dokumen mau diserahkan langsung,” ujar Andreas.

Andreas mengatakan rekomendasi ini dibuat setelah bertemu dengan Jokowi pada April lalu. Saat itu, kata Andreas, Jokowi menanyakan kebebasan beragama di Indonesia. “Saya bilang ada hukum-hukum yang diskriminatif terhadap minoritas. Misalnya Ahmadiyah dan rumah ibadah,” ujar Andreas. (Baca: Soal Pengunduran Diri, Jokowi Tunggu Hari Baik)

Andreas juga mencontohkan persoalan yang terjadi di Undang-Undang Dasar 1945 terkait dengan kebebasan beragama yang digeser menjadi kerukunan beragama. “Padahal yang ada di undang-undang itu orang bebas beragama,” ucap Andreas.

Tanpa disadari, Andreas mengatakan selama sepuluh tahun terakhir bergeser menjadi kerukunan beragama. Orang bisa dipenjara karena menikah beda agama dan membangun gereja tanpa izin. “Dia mendengarkan, tapi enggak komentar,” ujar dia.

SINGGIH SOARES

_
Berita lain: JAKARTA GLOBE

Posted in Nasional, Persekusi, PerspektifComments (0)

Setumpuk kasus kebebasan beragama tunggu Jokowi-JK

“Selanjutnya, Jokowi harus memulangkan pengungsi Ahmadiyah Transito Mataram, serta memberikan layanan paripura atas hak-hak dasar Ahmadiyah Transito.”

SindoNews.com

JAKARTA – Presiden terpilih Jokowi-JK didesak menyelesaikan kasus intoleransi atau kebebasan beragama yang belum pernah tuntas.

“Jokowi-JK harus memulangkan pengungsi Syiah ke Sampang, Madura,” ujar Wakil Ketua Setara Institute Bonar Tigor Naipospos di kantornya, Jalan Danau Gelinggang, Bendungan Hilir, Jakarta, Rabu (27/8/2014).

Menurutnya, hal itu harus menjadi salah satu prioritas Jokowi dalam jangka pendek. Selanjutnya, Jokowi harus memulangkan pengungsi Ahmadiyah Transito Mataram, serta memberikan layanan paripura atas hak-hak dasar Ahmadiyah Transito.

Selain itu, Jokowi juga harus memerintahkan Wali Kota Bogor Bima Arya menjalankan perintah Mahkamah Agung terkait keabsahan pendirian Gereja Taman Yasmin Bogor dan Gereja HKBP Filadelfia Bekasi.

“Jokowi-JK harus membuka segel Mesjid Al Misbah Bekasi,” tuturnya.

Untuk jangka panjang, lanjutnya, Jokowi diminta membentuk gugus tugas pemajuan dan perlindungan kebebasan beragama atau berkeyakinan untuk menangani kekerasan dan pelanggaran kebebasan beragama atau berkeyakinan tidak berpola dan sporadis.

“Mendesain program pendidikan karakter bangsa dengan anggaran yang terintegrasi dan akuntabel,” kata dia.

(kri)

Posted in Nasional, Persekusi, PerspektifComments (0)

Jokowi didesak selesaikan kasus Syiah & Ahmadiyah

“SBY gagal memulangkan warga Syiah ke Sampang Madura. Tim rekonsiliasi juga tidak jelas juntrungannya. Mereka masih di rumah susun Sidoarjo,” jelas Wakil Ketua SETARA Institute Bonar Tigor Naipospos di kantornya. Bahkan pada pengungsi Ahmadiyah di Mataram pemprov NTB belum memberikan KTP kepada mereka.

Merdeka.com – PRESIDEN terpilih Joko Widodo sudah punya tugas rumah menumpuk. Salah satunya menyelesaikan berbagai konflik antar umat beragama di Indonesia.

SETARA Institute for democracy and peace menganggap beberapa konflik antar umat beragama seperti Syiah belumlah tuntas.

“SBY gagal memulangkan warga Syiah ke Sampang Madura. Tim rekonsiliasi juga tidak jelas juntrungannya. Mereka masih di rumah susun Sidoarjo,” jelas Wakil Ketua SETARA Institute Bonar Tigor Naipospos di kantornya.

Bahkan pada pengungsi Ahmadiyah di Mataram pemprov NTB belum memberikan KTP kepada mereka.

“Mereka mempunyai hak di sana, lahir di sana semuanya hak-hak mereka menjadi terbengkalai,” sambung dia.

Keadaan serupa juga terjadi pada gereja Taman Yasmin Bogor, gereja HKBP Filadelfia sampai masjid Al Misbah di Bekasi.

“Realitas politik memaksa wali kota tidak berani mengambil keputusan yang tegas. Mereka butuh back up dari pusat. Tugas Jokowi berikutnya membackup Bogor dan Bekasi,” tutupnya.

[ian]

Posted in Nasional, Persekusi, PerspektifComments (0)

Page 1 of 3123

@WartaAhmadiyah

Tweets by @WartaAhmadiyah

http://www.youtube.com/user/AhmadiyahID

Kanal Youtube

 

Tautan Lain


alislam


 
alislam


 
alislam


 
alislam

Jadwal Sholat

shared on wplocker.com