W3vina.COM Free Wordpress Themes Joomla Templates Best Wordpress Themes Premium Wordpress Themes Top Best Wordpress Themes 2012

Tag Archive | "Juni 2014"

Tahun 2014, tren pelanggaran kebebasan beragama menurun

Suara Pembaruan

[JAKARTA] Setara Institute mempublikasikan laporan tengah tahun (Januari-Juni 2014) tentang kondisi kebebasan beragama di Indonesia. Laporan ini menunjukkan pelanggaran terhadap kebebasan beragama memperlihatkan tren menurun.

Direktur Riset Setara Institute, Ismail Hasani, menjelaskan dibanding periode yang sama pada dua tahun terakhir, kasus pelanggaran di tahun 2014 lebih jauh menurun. Pada semester pertama di 2012 tercatat 120 peristiwa dengan 168 tindakan. Sedangkan tahun 2013 terjadi 122 peristiwa dengan 16 tindakan.

Pada tahun 2014 tercatat 60 peristiwa dengan 81 bentuk tindakan yang menyebar di 17 provinsi. Misalnya tindakan pembiayaran, bila pada tahun lalu sebanyak 12 kasus, menurun menjadi 4 kasus di tahun ini. Penyegelan tempat ibadah juga menurun dari 11 kasus menjadi 2, sedangkan tindakan intoleransi dari 19 ke 13.

Sebagian besar kasus tahun 2014 terjadi di Jawa Barat (19), lalu menyusul Jawa Tengah (10 kasus), Jawa Timur (8 kasus), dan sisanya tersebar di daerah lainnya. Dari 81 tindakan itu terdapat 34 tindakan yang melibatkan para penyelenggara negara sebagai aktor utama. Masih seperti biasanya, kepolisian adalah institusi negara yang paling banyak melakukan pelanggaran.

“Tindakan yang melibatkan aktor negara itu antara lain 30 tindakan aktif atau by commission, pembiaran atau by omission, dan pernyataan pejabat publik yang provokatif dan mengundang terjadinya kekerasan atau condoning,” kata Ismail saat konferensi pers, di Jakarta siang ini, Senin (11/8).

Sementara itu, kelompok yang paling banyak melakukan pelanggaran berturut-turut, adalah kelompok warga 22 tindakan, Front Pembela Islam (FPI) 5 tindakan,n dann Forum Umat Islam (FUI) 4 tindakan. Pelanggaran kebebasan beragama ini paling banyak menimpa aliran keagamaan, umat Kristen, Ahmadiyah, dan Syiah.

Dijelaskan Ismail, hingga kini penyebab terjadinya pelanggaran itu belum diatasi oleh aktor negara. Misalnya, pembiaran produk hukum diskriminatif, kriminalisasi korban pelanggaran, pembiaran pelaku kekerasan menikmati impunitas dan imunitas karena tidak diadili secara serius. Juga pembiaran berbagai provokasi yang terus menebar kebencian terhadap kelompok agama atau keyakinan rentan lainnya.

Meskipun mengalami penurunan, Menteri Agama Lukman Hakim diminta untuk terus mendorong kondisi yang kondusif guna mencegah terjadinya kasus pelanggaran beragama dan berkeyakinan.

“Meskipun tinggal menghitung hari, Lukman Hakim harus membuat langkah konstruktif sebagai legasi Kementerian Agama maupun bagi dirinya sendiri. Di antaranya memulangkan pengungsi Ahmadiyah Transito Mataram atau paling tidak memenuhi hak-hak dasar mereka, seperti kesehatan, pendidikan, dan pekerjaan yang layak,” kata Bonar Tigor Naipospos, Wakil Ketua Setara Institute. [D-13/N-6]

_
Berita lain/serupa:
Suara Pembaruan
BeritaSatu
UCAN Indonesia
ICRP

Posted in Nasional, Perspektif, RabthahComments (0)

Lukman Hakim Saifuddin: Saya bukan menyelamatkan Suryadharma

Majalah Detik 23-29 juni 2014
Rachman Haryanto/detikcom

DI sisa waktu yang sempit, ia bertekad membenahi manajemen haji. Lebih luwes berbicara soal pluralitas dan toleransi antarumat beragama.

::halaman 32

SEJAK awal terbentuknya Kabinet Indonesia Bersatu, Lukman Hakim Saifuddin mengaku ditawari menjadi menteri. Tapi justru baru di masa bakti yang tersisa empat bulan ini ia bersedia dilantik menjadi Menteri Agama. Lukman menggantikan koleganya di Partai Persatuan Pembangunan, Suryadharma Ali, yang mengundurkan diri karena ditetapkan sebagai tersangka kasus korupsi. Jabatan Menteri Agama menjadi istimewa bagi pria kelahiran Jakarta, 25 November 1962, ini. Sebab, ayahnya, K.H. Saifuddin Zuhri, menempati pos yang sama pada 1962-1967.

“Saya kayak mimpi saja ketika tiba-tiba harus menjadi Menteri Agama. Saya merasa ada panggilan tersendiri,” kata Lukman kepada majalah detik di kantor Kementerian Agama, 18 Juni lalu.

Lukman memaparkan beberapa persoalan yang dibahasnya bersama Komisi Pemberantasan Korupsi soal perbaikan manajemen penyelenggaraan haji. Wawasan alumnus Pondok Pesantren Modern Gontor ini soal isu pluralitas dan toleransi antarumat beragama juga terasa lebih luwes.

Dia, misalnya, tak serta-merta menyalahkan kehadiran kaum Ahmadiyah. Apalagi hendak memaksa mereka kembali bersyahadat seperti banyak didengungkan sebelumnya.

Seperti apa persisnya pandangan Lukman soal perbaikan manajemen haji dan toleransi? Simak petikan perbincangannya berikut ini.

Sehari setelah dilantik, Anda mendatangi Komisi Pemberantasan Korupsi. Ada apa?

Penyelenggaraan haji ini menjadi fokus kami dalam empat bulan ke depan, sehingga saya sangat berkepentingan mendatangi KPK untuk

::halaman 33

MENAG w SBYmengetahui apa saja hasil-hasil pemantauan lembaga itu, sekaligus apa saja rekomendasi-rekomendasinya. Pada saat yang sama, saya juga menyampaikan hasil temuan dan masukan-masukan dari kalangan internal kepada KPK. Ada sejumlah masalah yang perlu mendapatkan kesamaan cara pandang, sehingga tidak akan menimbulkan masalah di kemudian hari.

Apa persoalan krusial dalam penyelenggaraan haji yang berpotensi menimbulkan masalah hukum?

Misalnya soal sisa kuota (jemaah) pemberangkatan. Ini selalu menjadi masalah karena, faktanya, sisa kuota itu sesuatu yang tidak bisa dihindarkan. Hal itu bisa terjadi karena ada jemaah haji yang telah ditetapkan untuk berangkat pada tahun tertentu, namun, karena satu dan lain hal, berhalangan. Misalnya meninggal, sakit, atau salah satu pasangannya, istri atau suami, tak bisa berangkat secara bersamaan pada saat itu, sehingga mereka membatalkan diri. Akhirnya terjadilah kekosongan.

Lantas, siapa yang mengisi kekosongan itu? Ya, tentu, sesuai dengan sistem urut kacang,
mereka yang berada pada urutan teratas dalam daftar tunggu. Masalahnya, ternyata tidak
semua orang yang masuk dalam urutan atas itu semua siap. Ada berbagai alasan, karena

::halaman 34

"...Penyelenggaraan ibadah haji tahun ini menjadi pertaruhan bagi kami, apakah bisa memenuhi harapan masyarakat..."

“…Penyelenggaraan ibadah haji tahun
ini menjadi pertaruhan bagi kami, apakah
bisa memenuhi harapan masyarakat…”

kesiapan mental, dana, kesehatan, dan sebagainya. Akhirnya, terjadilah sisa kuota.

Ini yang kemudian dinilai menjadi potensi penyimpangan?

Ya. Karena keterbatasan waktu dan berdasarkan peng­alaman menteri-menteri terdahulu, itu digunakan untuk memenuhi permintaan berbagai kalangan. Mulai instansi pemerintah, lembaga negara, ormas keagamaan, tokoh-tokoh masyarakat, termasuk dari teman-teman kalangan pers. Semua
merasa perlu diprioritaskan. La, apa enggak bikin pusing itu? Karena asas manfaat, mengingat sewa pemondokan, transportasi, dan lainnya sudah dibayar, maka digunakan untuk itu. Tapi mereka bayar ongkos sendiri, bukan dari dana haji. Cuma tidak ikut antre saja. Inilah yang dinilai tidak adil.

Secara legal-formal, pemanfaatan sisa kuota itu diizinkan?

Dalam hal ini tidak ada aturan yang tegas. Dalam ketentuan, harus dikembalikan pada daerah yang mendapat kuota tersebut untuk

::halaman 35

digunakan secara maksimal dengan diberikan kepada urutan berikutnya, berdasarkan urut kacang. Hanya, dalam kenyataannya, pemanfaatan itu tidak bisa dilakukan secara maksimal karena berbagai alasan tadi. Itulah antara lain yang saya konsultasikan kepada KPK, sehingga, ke depan, kalau di kemudian hari ada masalah, saya tidak dipermasalahkan.

Menurut Anda sendiri, sebaiknya bagaimana?

Ya, kalau saya mau mencari safe, demi keselamatan saya, ya sisa kuota berapa pun adanya itu dikembalikan saja. Tetapi, yang saya minta, jangan sampai nanti (oleh KPK) saya justru dianggap
inefisiensi. Tidak bisa menyerap secara maksimal, padahal tempat pemondokan, transportasi, dan
konsumsi di Mekah dan Madinah itu sudah disewa, dibayar. La, kalau kemudian tidak terisi, itu
kan inefisiensi. Masalah lagi, kan?

Sehari setelah dilantik menjadi Menteri Agama, Lukman menyambangi gedung KPK, 10 Juni. (Lamhot Aritonang/detik.com)

Sehari setelah dilantik menjadi Menteri Agama, Lukman menyambangi gedung KPK, 10 Juni. (Lamhot Aritonang/detik.com)

Sehari setelah dilantik menjadi Menteri Agama, Lukman menyambangi gedung KPK, 10 Juni. (lamhot aritonang/detikcom)

Jadi, pemanfaatan sisa kuota itu memang tidak ada landasan hukumnya?

Tidak ada aturan yang secara eksplisit memperbolehkan seperti itu. Tapi ini merupakan kebijakan yang ditempuh oleh peme-

::halaman 36

MENAG hotel ahmed alhamid jeddahrintah, yang di kemudian hari dipermasalahkan KPK.

Apa solusi alternatif yang dihasilkan bersama KPK?

Belum ada solusi yang benar-benar mujarab.

Soal sewa pemondokan, transportasi, dan konsumsi tak bisa direnegosiasi bila ada sisa kuota?

Persoalannya, masalah ini kan bukan G to G, tetapi dengan pihak pemilik atau broker-broker. Tetapi broker itu kan berlisensi, kredibel. Dan yang menjadi masalah kan dalam sewa itu satu paket. Misalnya kita sewa satu kompleks pemondokan yang isinya 25 bangunan. Nah, ketika yang kita butuhkan ternyata hanya 20 bangunan, yang 5 bangunan itu juga harus dibayar. Tidak bisa tidak. Ini yang kemudian dinilai merugikan negara.

Ini yang sedang kami cari persamaan persepsi (dengan KPK). Karena, di lapangan, kenyataannya, tentu ada deviasi-deviasi, tinggal berapa besar deviasi itu bisa ditoleransi. Bukan berarti kita membenarkan penyelewengan atau penyalahgunaan wewenang… bukan, bukan itu.

Selain teknis penyelenggaraan haji yang berpotensi diselewengkan, bagaimana soal pengelolaan dana?

Kami saat ini tengah mendorong lahirnya undang-undang yang memungkinkan

::halaman 37

berdirinya lembaga independen semacam BLU (Badan Layanan Umum), yang khusus mengelola dana haji. Mereka yang duduk di dalam lembaga itu tidak harus pegawai negeri sipil atau dari lingkungan kementerian ini saja. Mereka bisa berasal dari luar atau bahkan kalangan swasta. Syaratnya ber-
integritas, berkualitas, dan profesional. Jadi, Direktorat Jenderal Penyelenggaraan Haji
tak lagi mengelola dana. Kami juga minta agar ada verifikasi yang intensif terhadap kondisi pemondokan di Mekah. Jangan sampai ada yang berusia tua. Begitu juga sarana transportasi, seperti bus dan katering.

Beberapa kalangan menduga kedatangan Anda ke KPK sebagai bagian dari upaya menyelamatkan SDA?

Ha-ha-ha…, sama sekali tidak benar. Bagaimana mau menyelamatkan Pak SDA? Kita hormati saja proses hukum. KPK tidak bisa diintervensi, apalagi yang mengintervensi saya.

Anda merasa ada distorsi kepercayaan masyarakat terhadap kementerian ini?

::halaman 38

Presiden Susilo Bambang Yudhoyono memberi ucapan selamat kepada Lukman Hakim Saifuddin, yang dilantik menjadi Menteri Agama di Istana Negara, Jakarta, Senin (9/6). (abror rizki/rumnggapres)

Presiden Susilo Bambang Yudhoyono memberi ucapan selamat kepada Lukman
Hakim Saifuddin, yang dilantik menjadi Menteri Agama di Istana Negara, Jakarta,
Senin (9/6). (abror rizki/rumnggapres)

Oh, iya, iya, saya menyadari betul hal itu. Beberapa kasus yang terjadi belakangan memang menjadikan tingkat kepercayaan publik terhadap Kementerian Agama berada pada titik yang cukup rendah. Bahkan mungkin terendah dalam sejarah kementerian ini. Karena itulah menjadi tanggung jawab saya untuk mengembalikan kepercayaan itu. Karena itu, penyelenggaraan ibadah haji tahun ini menjadi pertaruhan bagi kami, apakah bisa memenuhi harapan masyarakat atau, kalau tidak bisa, masyarakat bisa mengerti apa duduk masalahnya.

Pekerjaan besar Anda yang lain adalah isu pluralitas terkait keyakinan. Bagaimana Anda melihat?

Ini persoalan klasik yang sudah ada sejak berabad-abad lalu. Jangan pernah punya pretensi, persoalan seperti itu akan hilang atau berhenti. Mengapa? Karena ini persoalan keyakinan yang ada dalam diri masing-masing orang. Sedangkan keyakinan atau agama itu mempunyai misi dakwah, menyebarluaskan ajaran. Karena itu, gesekan-gesekan pun akan terjadi. Saya mengajak semua agama, terutama

::halaman 39

Menteri Agama Lukman Hakim Saifuddin (tengah) bersama Wakil Ketua KPK Busyro Muqoddas (kedua dari kanan) dan Bambang Widjojanto (kedua dari kiri) memaparkan hasil pertemuan, Selasa (10/5). (Yudhi Mahatma/ANTARA FOTO)

Menteri Agama Lukman Hakim Saifuddin (tengah) bersama Wakil Ketua KPK Busyro Muqoddas (kedua dari kanan) dan Bambang Widjojanto (kedua dari kiri) memaparkan hasil pertemuan, Selasa (10/5). (Yudhi Mahatma/ANTARA FOTO)

tokoh-tokoh agama, untuk menyebarkan agamanya sesuai dengan esensi dari agamanya. Tujuan agama itu kan memanusiakan manusia, perdamaian, keselamatan. Seharusnya itu yang dikedepankan.

Jadi, soal toleransi?

Iya, toleransi itu kan kemampuan untuk mengerti dan memahami orang lain. Jangan bicara toleransi bila ternyata tidak memahami atau mengerti apa kebutuhan dan keberadaan orang lain. Jangan bicara toleransi kalau hanya banyak menuntut orang lain mengerti dan memahami dirinya. Seharusnya juga proaktif, dirinyalah yang proaktif mengerti dan memahami orang lain yang berbeda dengan dirinya. Terlebih, faktanya, Indonesia itu majemuk, plural.

Beberapa waktu lalu ada pernyataan

::halaman 40

Jangan bicara toleransi bila ternyata tidak memahami atau mengerti apa kebutuhan dan keberadaan orang lain. (Andika Wahyu/ANTARA FOTO)

Jangan bicara toleransi bila ternyata tidak memahami atau mengerti apa kebutuhan dan keberadaan orang lain. (Andika Wahyu/ANTARA FOTO)

agar Ahmadiyah tidak memakai embel-embel Islam hingga mereka bersyahadat kembali. Menurut Anda?

Begini, dalam hal itu, prosesnya, yang mainstream atau yang arus besar harus memiliki kesediaan untuk mengayomi yang belum besar. Sebab, mereka itulah yang perlu dirangkul dan diajak untuk mengedepankan titik-titik persamaannya. Tetapi kita juga harus memiliki kesadaran bahwa sesungguhnya perbedaan itu sunatullah, sesuatu yang given. Memang dari sananya Tuhan itu menciptakan perbedaan-perbedaan itu. Jadi, kesadaran seperti itu yang harus dibangun.

Artinya, eksistensi aliran dan keyakinan yang berbeda, seperti Ahmadiyah dan Syiah, juga diakui?

Ya, saya pikir harus ada kesadaran memahami itu, karena yang dituntut dari kita adalah mengajak (memahami keyakinan kita). Soal hasilnya, itu bukan urusan kita lagi, tapi urusan pribadi masing-masing dengan Yang Ada di Sana (Tuhan).■

ARIF ARIANTO

MENAG RINama: Lukman Hakim Saifuddin
Tempat/Tanggal Lahir: Jakarta,25 November 1962
Istri: Trisna Willy
Anak: Naufal Zilal Kemal, Zahira Humaira, Sabilla Salsabilla

Pendidikan:

  • Pondok Pesantren Modern Gontor, Ponorogo, Jawa Timur, 1983
  • Sarjana (S-1) Universitas Islam As-Syafi’iyah Jakarta, 1990

Organisasi:

  • Wakil Sekretaris Pimpinan Pusat Lembaga Kemaslahatan Keluarga NU, 1985-1988
  • Sekretaris Lajnah Kajian dan Pengembangan Sumber Daya Manusia NU, 1988-1999
  • Wakil Ketua Umum PPP, 2009 sampai sekarang

Karier:

  • Wakil Ketua MPR RI Periode 2009-2014
  • Anggota DPR RI Periode 2004-2009
  • Anggota DPR RI Periode 1999-2004
  • Anggota DPR RI Periode 1997-1999
  • Project Manager Helen Keller International, Jakarta, 1995-1997

Karya:
Buku Riwayat Hidup dan Perjuangan PROF. K.H. SAIFUDDIN ZUHRI Ulama Pejuang Kemerdekaan, 2013. Disusun bersama Ali Zawawi, Zubairi Hasan, dan Sahlul Fuad.

Posted in Nasional, RabthahComments (0)

GUSDURians Sidoarjo ajak deklarasi lintas iman

detikNews

Sidoarjo – Pendukung almarhum Gus Dur yang biasa disebut GUSDURians menggelar deklarasi lintas iman di Pondok Pesantren (Ponpes) Ahlus Shofa Wal Wafa di Desa Simoketawang Wonoayu, Sidoarjo.

Ratusan orang dari kalangan pemuda Ansor, pemuda Katolik, pemuda Budha, pemuda Hindu dan beberapa gereja di Sidoarjo itu membacakan 8 poin. Mereka terdiri dari Pengasuh Ponpes Ahlus Shofa Wal Wafa KH Moh Nizam As Shofa, Ketua Ansor Sidoarjo Slamet Budiono, GKJW pendeta Natael, GKI pendeta Yosees, Katolik pendeta Yossi, Pemuda Hindu Agus, Ahmadiyah [Ilma Ali] Hasan dan Ketua GUSDURians Dodik.

8 Poin pernyatan bersama itu menyatakan keprihatinan yang mendalam dan mengecam segala tindak kekerasan dan intoleransi dalam berbagai bentuk yang sekiranya merusak kehidupan berbangsa dan bernegara.

Menurut Pengasuh Ponpes Ahlus Shofa Wal Wafa KH Moh Nizam As Shofa mengatakan deklarasi ini untuk menyatukan lintas iman agar di Sidoarjo selalu kondusif dan aman, tidak ada perpecahan.

“Mari kita selalu rukun apalagi menjelang pilpres, silahkan milih nomor 1 atau nomor 2, yang penting kita harus saling menghargai kerukunan umat dan jangan saling menjatuhkan sesama umat,” katanya, Minggu (8/6/2014).

Posted in Dakwah, Nasional, RabthahComments (0)

For Ahok, a Long Road to Jakarta’s City Hall

Mayling Oei-Gardiner, a demographer and sociologist from the University of Indonesia, notes that Ahok’s chances to become governor can be used to address other issues affecting minorities. She specifically references the plight of religious minorities, noting the continuing persecution of members of the Ahmadiyah sect, which has drawn international condemnation of the government’s inaction.

The Jakarta Globe

_
Jakarta. With Joko Widodo’s decision to run for presidency comes Deputy Governor Basuki Tjahaja Purnama’s turn to bear the gubernatorial mantle of Jakarta.

Popularly known as Ahok, his ascension to the post of interim governor marks only the second induction of an ethnic Chinese and non-Muslim Indonesian into the capital’s top seat, 50 years after the first governor of Chinese descent, Henk Ngantung, controversially stepped into office.

The popular consensus seems to be that Joko and his running mate, Jusuf Kalla, won the first presidential debate, according to an online poll by the Jakarta Globe that showed almost 90 percent of respondents tipping their hats to the pair.

According to social media monitors at PoliticaWave, the hashtag #PresidentNomor2 — referring to the ticket’s number on the July 9 ballot — became a worldwide trending topic on Twitter, showing strong support for the team from the Indonesian Democratic Party of Struggle (PDI-P).

Now that Joko has taken the lead, the possibility of Ahok cementing his position as governor is becoming increasingly real. Whether he is up to the monumental task is the question many are asking.

Reform politics

With a population of 9.8 million, Jakarta ranks as one of the top 20 biggest cities in the world, but its problems, many complain, are larger than life.

According to a study published by the University of Indonesia (UI), the financial strain of Jakarta’s infamous gridlock may total up to Rp 12.8 trillion ($1.1 billion) a year in productivity, fuel consumption and health costs.

Furthermore, flooding managed to displace 130,000 people and claim the lives of at least a dozen this year alone.

“Whoever leads Jakarta has to be capable in solving its problems. Because Jakarta is our center of government,” says Siswanto, a driver for one of the many upper-middle-class families residing in the capital’s mansions, often in stark contrast with the desolate slums next door.

The city’s long list of woes have had the public calling for a more efficient administration. Joko — popularly known as Jokowi — and Ahok seemed to promise just that during their campaign in 2012. Running against then-incumbent Fauzi Bowo, they charmed citizens with their refreshing take on politics.

“I see Ahok and Jokowi as the first politicians who were willing to face problems directly and try to implement measures to solve them, and [who were] transparent to the public. I think that is the right thing for politicians to do,” says Yulianto Sumarli, a former member of the House of Representatives.

Given that Jokowi has taken his leave of absence to campaign, it is now up to Ahok to deal with the challenges of managing the city. And for his part, Ahok seems to be more than ready for the demanding task.

“The first thing we have to fix here is the bureaucracy … by testing and evaluating [bureaucrats’] performance,” Ahok recently said. “If they won’t follow the rules, we can tell them to get out. Sometimes we have to kick them out. Of course they’ll get angry, but we don’t care.”

‘It’s all good, boss!’

The interim governor is known for his brazen attitude in dealing with the city’s clunking bureaucratic machinery, which many view as inept and inefficient in dealing with the city’s challenges. While this has earned him much admiration, some note that this style of governance may need to change.

“He’s very frank, with a strong sense of leadership,” says Siti Zuhro, a political analyst with the Indonesian Institute of Sciences (LIPI).

“[He’s] very clear in giving instructions, in talking about problems facing Jakarta; no hiding. That’s OK for urban society, who have no problems with him. [But] to reform bureaucracy, Ahok needs to adopt a more efficient method in persuading the administration to embrace his program. Stop yelling, stop being angry; be nice and diplomatic.”

Siti also cautions that a healthy relationship between the central government and the city administration is key, as the system remains very hierarchical. Conflict, she concludes, is not necessary.

Thung Yu Lan, also of LIPI, points out that Jokowi functioned as a defender of his deputy governor. Now that he is on the campaign trail, it is crucial for Ahok to amass popular support that will guard against jealous bureaucrats intending to undermine him at every step. Without it, she continues, he may not be able to snag a second term in office.

The remarks come in light of his latest row with Sports Minister Roy Suryo. The minister, who is known for stirring up controversy in his own right, has threatened to take Ahok to the police over his claims that the Sports Ministry was hindering the completion of Jakarta’s long-awaited monorail project.

In a statement issued on Tuesday, Suryo vowed to report the case to the police should the city administration refuse to retract its claims.

The social minefield of politics aside, the administrative burden of running this city single-handedly seems to have taken a toll on the action-oriented man.

The interim governor jokingly claimed his hand was cramping up from signing too many documents, but on a more serious note, he also admitted that without Jokowi to share the workload, every task fell on his team’s shoulders.

Nevertheless, despite the increased workload, he continues to maintain a positive front, claiming to feel no pressure from the administration.

“[Jokowi] often calls. He asks, ‘Is everything OK?’ And I always answer, ‘It’s all good, boss!’”

Minority politics

One of the greatest attractions of the Jokowi-Ahok ticket was their revolutionary approach to managing the city, along with the fact that Ahok is ethnically Chinese and Christian — a rare combination to rise to the forefront of local politics.

Many still remember the chaos that descended upon the city in May 1998, when people of Chinese descent were being targeted. Yet there are signs that the citizens of Jakarta are willing to look past the socio-ethnic divides that once tore them apart.

“I see him and Jokowi as the first clean, responsible, transparent [team], instead of [having] the first ethnically Chinese deputy governor,” Yulianto says.

When asked about his own experience as a minority politician, Yulianto says he has never given the matter much consideration, as he doesn’t consider himself to be a minority.

“We all have to live with it, we are all Indonesians,” he says.

Yet Ahok’s rise to interim governor may serve as a significant symbol for those from ethnic minorities to enter the world of Indonesian politics.

“His identifier isn’t his race or religion, but how he does his work, and I think that’s the one thing that encourages me the most,” says Glenys, a Chinese-Indonesian university student interested in politics. The fact that Ahok exemplifies how minorities are able to exercise their political agency in a more influential capacity is also very heartening, she says.

In the face of rising intolerance

However, not everyone is thrilled by the recent developments in Jakarta’s administration. The acting governor’s blunt attitude and minority status have caused no small ire with the Islamic Defenders Front (FPI), a hard-line fundamentalist group active known for its attacks on minorities.

Now that Ahok is a step closer to permanently clinching the top seat at City Hall, the FPI has made public its intent to support Jokowi’s rival, Prabowo Subianto. The group made its stance quite clear on its official website, in which Muslim voters were urged not to choose “the presidential candidate [whose victory] could lead to [Ahok’s] appointment as governor.”

Mayling Oei-Gardiner, a demographer and sociologist from the University of Indonesia, notes that Ahok’s chances to become governor can be used to address other issues affecting minorities. She specifically references the plight of religious minorities, noting the continuing persecution of members of the Ahmadiyah sect, which has drawn international condemnation of the government’s inaction.

While Indonesia has long been touted as a model Muslim-majority democracy, the truth remains that many fear its trademark pluralism is failing. Data collected by the Setara Institute for Peace and Democracy show incidences of religious intolerance increasing annually — 200 in 2009, 216 in 2010, 244 in 2011, and 264 in 2012.

Atheist Alexander Aan spent two years in prison for denouncing the existence of God on Facebook. In 2011, a mob of 1,500 attacked a community of Ahmadiyah Muslims in Banten, killing at least three and leaving five seriously injured. However, only 12 were arrested, and sentenced to three to five months in prison.

In the words of one Ahmadi: “Please let the outside world know that we are no longer safe in our own homes.”

In the face of growing intolerance, Ahok’s rising star may provide that safety as well as a sense of hope to many.

“[Ahok] is brave. Brave enough to die,” Mayling says, adding that she wakes up every day fearing news of his assassination.

Despite his many admirers, occupying such a game-changing position is not without its pressures.

“If he’s successful, we can rely on him to create a good image. But if he fails, there’s also a problem,” Thung says.

Road work

So what would Ahok have to do to transform Jakarta into an efficient metropolis? Most observers seem to be urging him to continue Jokowi’s programs.

“In terms of reigning over Jakarta, one of the city’s problems, as well as the country’s, is poverty. How is he going to deal with poverty? I think he has take a positive step in moving people to public housing,” Mayling says.

On the overcrowded state of Jakarta, the demographer suggest the administration can work with neighboring provinces to help slow down the annual tide of people rushing into the capital after Idul Fitri in search of jobs and a better life. While Mayling concedes a complete block on migration is highly unlikely, improvement in the quality of life outside the capital might help reduce its seemingly magnetic pull. Job creation, health and education are also on the list of issues to be considered, especially since they constitute venues of social mobility.

Many have expressed their disappointment they may not be able to see Jokowi and Ahok make good on their campaign promises. Whether Ahok will continue down the path the team has laid out remains to be seen.

Mulyono, a security guard, believes the solutions to many of Jakarta’s problems lie in continuing the programs already set in place by Jokowi. However, given the differences between the two leaders, he doubts this will be the case.

Whatever route he chooses to take, it remains clear that Ahok will continue to cut a controversial figure in politics for the foreseeable future.

“As long as you’re Indonesian, it doesn’t matter what your ethnicity is. It’s being an Indonesian that makes or breaks. It’s being Indonesian that shows what people are willing to do for the nation,” Mayling says.
_
Correction: This version reflects to say that Basuki Tjahaja Purnama is ethnically Chinese.

Posted in Kemanusiaan, Nasional, PerspektifComments (0)

Pemerintah wajib berikan jaminan sosial bagi jemaah Syiah dan Ahmadiyah

KBR, Jakarta – Lembaga Swadaya Masyarakat INFID mendesak pemerintah memberikan bantuan sosial seperti Jamkesmas dan Raskin kepada pengungsi Syiah dan Ahmadiyah. Ini menyusul evaluasi PBB soal pemenuhan hak ekonomi sosial budaya di Indonesia.

Manager Program INFID Beka Ulung Hapsara mengatakan pemerintah terbukti gagal memenuhi hak dasar Syiah dan Ahmadiyah selama bertahun-tahun. Hak tersebut adalah hak catatan sipil, politik, bekerja dan upah layak, pendidikan, kesehatan, serta budaya.

“Selama mereka mengungsi, (pemerintah harus menjamin) hak pendidikan, hak kesehatan dan pekerjaan, juga yang tak kalah penting hak administrasi kependudukan. Ketika kita menegakkan konstitusi, hak-hak sipil politik maupun ekosob itu akan dipenuhi,” kata Beka Ulung Hapsara kepada KBR, di Jakarta, Sabtu (7/6) sore.

Kelompok Ahmadiyah di Mataram, NTB, terpaksa mengungsi di Asrama Transito setelah desa mereka dibakar kelompok intoleran pada 2006. Sementara itu, kelompok Syiah di Sampang mengalami hal yang sama sejak 2012. Hingga kini, upaya pengembalian mereka ke tempat tinggalnya masih berjalan.

Editor: Citra Dyah Prastuti

Posted in Nasional, PersekusiComments (0)

@WartaAhmadiyah

Tweets by @WartaAhmadiyah

http://www.youtube.com/user/AhmadiyahID

Kanal Youtube

 

Tautan Lain


alislam


 
alislam


 
alislam


 
alislam

Jadwal Sholat

shared on wplocker.com