W3vina.COM Free Wordpress Themes Joomla Templates Best Wordpress Themes Premium Wordpress Themes Top Best Wordpress Themes 2012

Tag Archive | "Kompas.com"

Komnas HAM: Pemerintah gagal lindungi kelompok minoritas

HAFID mengakui, hingga saat ini masih terjadi aksi kekerasan dan perlakuan tidak adil yang diterima beberapa kelompok agama minoritas. Ia mencontohkan apa yang terjadi kepada umat Kristiani di Bogor dan Bekasi. Selain itu, juga terhadap pemeluk keyakinan Ahmadiyah di beberapa daerah di Indonesia.

Kamis, 25 Desember 2014 | 17:16 WIB

JAKARTA, KOMPAS.com – Ketua Komisi Nasional Hak Azasi Manusia (Komnas HAM) Hafid Abbas mengakui, pemerintah gagal melindungi kelompok-kelompok minoritas saat menjalankan aktivitas keagamaan. Menurut Hafid, masalah kebebasan beragama belum berjalan dengan baik di Indonesia.

“Memang, masih ada kegagalan-kegagalan. Negara tidak sepenuhnya hadir melindungi kebebasan beragama, belum ada perhatian lebih dari pemerintah,” ujar Hafid saat dihubungi Kompas.com, Kamis (25/12/2014).

Hafid mengakui, hingga saat ini masih terjadi aksi kekerasan dan perlakuan tidak adil yang diterima beberapa kelompok agama minoritas. Ia mencontohkan apa yang terjadi kepada umat Kristiani di Bogor dan Bekasi. Selain itu, juga terhadap pemeluk keyakinan Ahmadiyah di beberapa daerah di Indonesia.

Hafid mengatakan, toleransi antar umat beragama tidak pernah lepas dalam sejarah panjang perjalanan bangsa Indonesia. Untuk itu, Komnas HAM mengajak semua lapisan masyarakat agar momentum Natal ini dapat digunakan sebagai perekat emosi sosial.

Hafid juga mendesak kepada pemerintah, khususnya Presiden Joko “Jokowi” Widodo, agar memberikan perhatian lebih kepada masalah-masalah yang berkaitan dengan kebebasan beragama. Menurut Hafid, masalah tersebut tidak boleh dibiarkan terlalu lama.

“Saya optimis pemerintahan Jokowi mampu mengatasi permasalahan itu. Terutama, melihat agenda dalam Nawa Cita, saya yakin pemerintah bisa memberikan suatu kepastian,” kata Hafid.

Penulis: Abba Gabrillin
Editor: Hindra Liauw

Posted in Nasional, Persekusi, PerspektifComments (0)

Kolom agama dalam perspektif HAM

Kompas.com

Malah, tak sedikit yang dibunuh dan diusir. Warga Ahmadiyah dan Syiah mengalami hal itu sampai hari ini. Kita telah membuat diskriminasi dan segregasi!

Kamis, 27 November 2014 | 14:22 WIB

Oleh: Todung Mulya Lubis

KOMPAS.com – NANI Maryani Ramli, seorang perempuan, pada 1956 memiliki surat keterangan penduduk (belum disebut kartu tanda penduduk atau KTP) untuk Daerah Kota Praja Jakarta Raya. Di sana tak tersua kolom agama.

Yang ada hanya kolom nama, jenis kelamin, bangsa (suku), umur (tanggal kelahiran), tempat kelahiran, pekerjaan, dan alamat. Sama sekali tak ada kolom agama. KTP perempuan tersebut dikeluarkan Lurah Petojo dengan stempel kelurahan.

Di Surabaya pada 1958, Soemiati mendapat kartu penduduk warga negara Indonesia yang kolom-kolomnya lebih kurang sama: tak juga memiliki kolom agama. Saat itu tiada yang mempertanyakan mengapa tidak ada kolom agama sebab agama diper- lakukan sebagai kawasan pribadi, dalam arti: merupakan urusan manusia bersangkutan. Negara tak perlu tahu agama apa yang dianut seseorang.

Konsep kewargaan

Kolom agama kala itu tak ada karena, meski dalam jagat politik Indonesia, partai-partai Islam sangat kuat (Masyumi, NU, PSII, Persis, dan lain-lain). Banyak juga partai beraliran nasionalis, sosialis, dan komunis (PNI, PSI, PKI, Murba, dan lain-lain). Apakah tidak adanya kolom agama karena kesepahaman para pemimpin negeri yang menganggap agama bukan urusan negara? Atau, tak adanya kolom agama itu dikarenakan kompromi politik antarsemua kekuatan politik?

Tak ada yang bisa menjawab pasti. Namun, kita bisa berspekulasi bahwa pada zaman yang banyak diasosiasikan sebagai zaman liberal itu, turunannya adalah bahwa konsep kewargaan lebih diutamakan. Yang terpenting apakah seseorang itu warga negara atau bukan. Seorang warga negara bebas memeluk agama atau kepercayaan atau tak beragama sama sekali. Biarlah urusan agama itu terpulang kepada manusia bersangkutan. Nyatanya, pabrik masyarakat kita tetap kukuh meski isinya kumpulan manusia dari beragam agama dan ideologi politik. Negeri ini tetap utuh. Kohesi sosial terjaga.

Kapan isu agama muncul dalam kebijakan pemerintah? Pada 1965, melalui UU No 1/PNPS/1965 tentang Penyalahgunaan dan Penodaan Agama, disebutkan dalam penjelasannya bahwa agama yang dipeluk penduduk di Indonesia adalah Islam, Kristen, Katolik, Hindu, Buddha, dan Konghucu. Tak salah apabila orang menafsirkan, adanya pengakuan negara terhadap agama tertentu ini dipicu juga oleh ketakutan atas bahaya komunisme yang dianggap tak beragama.

Tuduhan kudeta oleh PKI saat itu membuat mutlaknya seseorang memiliki agama jadi penting. Mereka yang tak beragama akan mudah sekali dituduh sebagai komunis dan ditangkap atau hilang. Pertanyaannya: bagaimana dengan agama lainnya, seperti Ahmadiyah, Bahai, Yahudi, dan semua aliran kepercayaan?

Di sinilah diskriminasi itu bermula. Orang Tionghoa sejak 1967 dilarang melaksanakan upacara agama mereka secara terbuka. Lebih jauh dalam KTP tak boleh ada agama Konghucu dan orang Tionghoa harus menggunakan nama Indonesia, bukan nama Tionghoa. Mereka kehilangan hak-hak sipil mereka. Bayangkan, bagaimana nasib penganut agama dan kepercayaan lainnya?

Pengukuhan keberadaan agama yang diakui negara kembali dilakukan melalui Instruksi Presiden Nomor 1470 Tahun 1978 yang ditegaskan Surat Edaran Mendagri No 477/1978 yang intinya hanya mengakui lima agama: Islam, Kristen Katolik, Kristen Protestan, Hindu, dan Buddha. Selanjutnya, dalam Tap MPR No II/MPR/1998 dikatakan bahwa penganut kepercayaan tak boleh mengarah pada pembentukan agama baru dan sedapat mungkin diarahkan bergabung dengan salah satu agama yang diakui negara. Tiada tempat buat agama lain dan kepercayaan.

Baru pada 2000, 35 tahun kemudian, ketika Gus Dur menjadi Presiden, keluar Keppres No 6/2000 yang mengatakan bahwa upacara keagamaan penganut Konghucu bisa dilaksanakan secara terbuka tanpa memerlukan izin. Inilah salah satu produk reformasi yang penting. Sepertinya iklim kebebasan beragama sudah mulai tumbuh dan Presiden Gus Dur yang sangat pro kemajemukan memang memberi angin segar untuk tumbuhnya masyarakat yang pluralistis.

Namun, dalam praktik, iklim masyarakat yang pluralistis itu tidak sepenuhnya mulus. Dalam kartu identitas penduduk atau KTP, misalnya, dalam kolom agama, pemilik KTP tersebut harus mencantumkan agamanya dan agama tersebut harus salah satu dari agama yang diakui. Seorang penganut agama Bahai mengeluhkan bahwa dia tak boleh mencantumkan agama Bahai di kolom agama di KTP-nya. Dia harus menulis salah satu agama yang diakui oleh negara untuk memperoleh KTP itu.

Semua ini mempunyai dampak turunan: kesulitan mengurus dan mencatatkan perkawinan, kesulitan mendapatkan akta kelahiran anak, memperoleh pekerjaan, dan sebagainya. Diskriminasi disyahkan. Akibatnya, banyak orang yang memilih tidak mempunyai KTP. Lebih jauh, dalam masyarakat mereka, yang bukan berasal dari agama yang diakui akan dituduh sebagai tak beragama atau mengikuti aliran agama sesat.

Kebebasan beragama

Meski Reformasi sudah mulai sejak 1998 dan Indonesia memiliki jaminan hak asasi yang kuat untuk menjalankan agama dan keyakinannya, baik itu atas dasar UUD 1945 maupun Kovenan Hak Sipil dan Politik, persoalan kebebasan beragama ini tak mendapat jaminan. Banyak kasus ketika penganut agama minoritas dan agama yang tak diakui negara mengalami intimidasi, teror, dan kesulitan menjalankan agama mereka. Malah, tak sedikit yang dibunuh dan diusir. Warga Ahmadiyah dan Syiah mengalami hal itu sampai hari ini. Kita telah membuat diskriminasi dan segregasi!

Ihwal kolom agama yang harus diisi dengan agama yang diakui hanya satu soal, tetapi ini soal yang sangat mengganggu dan menghambat banyak orang yang mencari pekerjaan, mendapatkan pelayanan pemerintah, dan sebagainya. UU No 23/2006 tentang Administrasi Kependudukan sepertinya memberi jalan keluar dengan membolehkan kolom agama tak diisi dan mereka tetap bisa memperoleh KTP dan data mereka dicatat dalam database kependudukan.

Namun, dalam praktik, kolom agama itu dipaksakan diisi. Sedi- kit yang berani melawan. Syukur- lah, Menteri Dalam Negeri Tjahjo Kumolo membikin gebrakan dengan mengatakan bahwa kolom agama itu tidak perlu diisi. Mendagri memulihkan kembali hak warga negara memilih agama mereka dan tak perlu mencatatkannya dalam dokumen apa pun, termasuk KTP.

Langkah Mendagri ini terbilang maju walau seyogianya Mendagri harus melangkah selangkah lagi: menghapus saja kolom agama pada KTP. Harus diakui bahwa pencantuman kolom agama ini sangat mungkin menjadi sumber diskriminasi, dan sebagai negara yang mengakui semua warga negara bersamaan kedudukannya dalam hukum, merupakan kewajiban kita menghilangkan semua peluang terjadinya diskriminasi.

Seandainya secara statistik negara memerlukan data mengenai jumlah penganut setiap agama, data itu bisa diperoleh melalui berbagai survei dan sensus yang secara berkala dilaksanakan.

Perihal kolom agama ini tak perlu diperdebatkan terlalu panjang. Kebanyakan negara di dunia, termasuk negara tetangga dan negara Timur Tengah, tidak punya kolom agama dalam KTP mereka. Kebijakan tentang KTP tanpa kolom agama bukanlah sesuatu yang ahistoris.

Todung Mulya Lubis
Ketua Dewan Pendiri Imparsial

Posted in Kemanusiaan, Nasional, PerspektifComments (0)

Kebebasan beragama, warisan SBY, pekerjaan rumah Jokowi

DAFTAR lain, kelompok Ahmadiyah yang sudah hampir delapan tahun terkatung-katung di pengungsian di Asrama Transito Mataram, Nusa Tenggara Barat.

Kompas.com

KOMPAS.com – PRESIDEN Susilo Bambang Yudhoyono telah mengakhiri pemerintahannya dan kini digantikan Presiden Joko Widodo. Bersamaan dengan itu, berbagai masalah lama diwariskan kepada pemerintahan baru, termasuk kasus-kasus pelanggaran kebebasan beragama dan berkeyakinan.

Bagaimana petanya?

”Kami masih mengungsi. Rencana Presiden SBY memulangkan kami sudah mentok,” kata Iklil Almilal (43), juru bicara pengungsi Syiah asal Sampang, di Rumah Susun Jemundo, Sidoarjo, Jawa Timur.

Saat dihubungi dari Jakarta, Rabu (22/10), Iklil bercerita, dulu betapa girang perwakilan pengungsi saat diterima SBY di rumahnya di Cikeas, Bogor, Juli 2013.

Presiden berjanji memulangkan mereka ke Sampang, dan dibentuk tim rekonsiliasi yang dipimpin Rektor Institut Agama Islam Negeri Sunan Ampel Surabaya Abd A’la. ”Pak SBY bilang, insya Allah, bapak-bapak akan kembali ke kampung Lebaran nanti,” kata Iklil menirukan ucapan Presiden SBY.

Namun, hingga masa jabatan Presiden SBY berakhir 20 Oktober 2014, janji itu kandas. Sebanyak 73 keluarga (173 jiwa) kelompok Syiah masih mengungsi. Tak bisa andalkan bantuan makan Rp 709.000 per jiwa per bulan, mereka berjibaku bekerja serabutan. ”Kami kecewa tak bisa pulang kampung untuk bertani dan beternak seperti dulu,” kata Iklil.

Kelompok Syiah terusir dari Desa Karanggayam, Kecamatan Omben, dan Desa Bluuran, Kecamatan Karangpenang, Sampang, akibat serangan massa, 26 Agustus 2012. Kekerasan itu menewaskan satu orang, melukai 10 orang, dan 46 rumah terbakar. Jika dihitung sejak tinggal sementara di GOR Sampang sebelum dipindah ke Rumah Susun Jemundo, dua tahun dua bulan sudah mereka mengungsi.

Terbengkalai

Kisah sedih pengungsi Syiah salah satu dari daftar kasus pelanggaran kebebasan beragama di Indonesia yang terbengkalai selama pemerintahan Presiden SBY.

Daftar lain, kelompok Ahmadiyah yang sudah hampir delapan tahun terkatung-katung di pengungsian di Asrama Transito Mataram, Nusa Tenggara Barat. Begitu pula penyegelan Gereja Kristen Indonesia Yasmin di Bogor, Jawa Barat (berlangsung 5 tahun); izin pendirian masjid di Baluplat, Nusa Tenggara Timur (3 tahun); dan penyegelan Gereja Huria Kristen Batak Protestan Filadelfia di Bekasi (2 tahun).

Saat bersamaan, marak pelanggaran kebebasan beragama dan berkeyakinan, terutama lima tahun terakhir. Berdasarkan laporan The Wahid Institute, ada 121 peristiwa pada 2009. Jumlah ini meningkat jadi 184 peristiwa tahun 2010, 267 peristiwa (2011), dan 278 peristiwa (2012). Tahun 2013, jumlahnya sedikit menurun jadi 245 peristiwa, tetapi kasusnya kian menyebar.

Laporan serupa disampaikan Setara Institute, Maarif Institute, Human Rights Watch, Human Rights Working Group di Indonesia, dan Litbang Kementerian Agama RI. Pelanggaran itu dilakukan aparat negara dan masyarakat. Bentuknya beragam: serangan terhadap kelompok berbeda, pelarangan terhadap aliran yang dicap sesat, pelarangan/penyegelan rumah ibadah, atau kriminalisasi atas nama agama.

Mengapa kondisi itu bisa terjadi pada masa pemerintahan Presiden SBY? Menurut Program Officer The Wahid Institute Alamsyah M Dja’far, pemerintahan saat itu tidak serius menjalankan Pancasila dan UUD 1945 yang menjamin kemerdekaan penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agama dan kepercayaannya.

Pekerjaan rumah

Berbagai kasus yang terbengkalai itu kini menjadi pekerjaan rumah pemerintahan Presiden Joko Widodo. Ketua Badan Pengurus Setara Institute Hendardi meminta Jokowi menangani berbagai kasus pelanggaran, khususnya pengungsi dan eksekusi putusan hukum terkait rumah ibadah.

Presiden Jokowi telah memilih kembali Lukman Hakim Saifuddin sebagai Menteri Agama dalam kabinetnya. Seusai pelantikan, Selasa (29/10), Lukman berjanji menyelesaikan kasus-kasus lama yang terbengkalai itu. ”Kami terus mencari solusi. Karena kompleksitas masalahnya, kami harus uraikan secara utuh. Mudah-mudahan ada jalan keluar,” katanya. (Ilham Khoiri)

Ikuti perkembangan berita ini dalam topik: Indonesia Baru

_
Editor: Sandro Gatra
Sumber: KOMPAS CETAK

Posted in Nasional, PerspektifComments (0)

Ini 5 permintaan Komnas HAM kepada Jokowi soal kebebasan beragama dan berkeyakinan

PERTAMA, memberikan kepastian hukum dengan memberikan perlindungan melalui akses kebenaran, keadilan, dan pemulihan bagi korban pengungsian Ahmadiyah di Mataram, pengungsi Syiah Sampang, jemaat HKBP Filadelfia Bekasi, jemaat GKI Yasmin Bogor, jemaah masjid di Batuplat NTT dan jemaah mushala di Denpasar, Bali.

JAKARTA, KOMPAS.com — Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) menagih komitmen presiden terpilih Joko Widodo (Jokowi) atas penegakan dan perlindungan hak beragama, berkeyakinan, dan beribadah.

“Dalam visi dan misinya, presiden terpilih berkomitmen atas penegakan HAM, salah satunya perlindungan dan pemajuan atas hak beragama, berkeyakinan, dan beribadah. Namun, patut dimasukkan ke dalam program prioritas kerja nyata pada awal pemerintahan baru,” ujar Komisioner Komnas HAM Imdadun Rahmat dalam konferensi pers di Jakarta, Kamis (4/9/2014), seperti dikutip Antara.

Imdadun menyampaikan, sedikitnya terdapat lima hal terkait kebebasan beragama yang patut dipertimbangkan Jokowi dalam program prioritas di kabinetnya.

Pertama, memberikan kepastian hukum dengan memberikan perlindungan melalui akses kebenaran, keadilan, dan pemulihan bagi korban pengungsian Ahmadiyah di Mataram, pengungsi Syiah Sampang, jemaat HKBP Filadelfia Bekasi, jemaat GKI Yasmin Bogor, jemaah masjid di Batuplat NTT dan jemaah mushala di Denpasar, Bali.

Kedua, mengevaluasi pelaksanaan Peraturan Bersama Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri (PBM) Nomor 8 dan 9 Tahun 2006 tentang Pedoman Pelaksanaan Tugas Kepala Daerah/Wakil Kepala Daerah dalam Kerukunan Umat Beragama, Pemberdayaan Forum Kerukunan Umat Beragama, dan Pendirian Rumah Ibadat karena PBM itu dinilai diskriminatif.

“Pertimbangan kuantitatif dukungan warga dalam pendirian rumah ibadah pada dasarnya hanya memberikan proteksi berlebihan bagi umat mayoritas, sementara kelompok minoritas agama dilanggar,” ujar dia.

Ketiga, mencabut Keputusan Bersama Menteri Agama, Jaksa Agung, dan Menteri Dalam Negeri RI Nomor 3 Tahun 2008 tentang Peringatan dan Perintah kepada Penganut, Anggota dan/atau Anggota Pengurus Jemaat Ahmadiyah Indonesia (JAI) dan Warga Masyarakat. Kebijakan itu dinilai bertentangan dengan konstitusi.

“Keberadaan SKB itu menjadi pemicu munculnya aksi-aksi kekerasan terhadap kelompok Ahmadiyah di Indonesia,” kata dia.

Keempat, mempertimbangkan pentingnya UU kebebasan beragama dan berkeyakinan sebagai konsekuensi logis jaminan perlindungan hak atas kebebasan beragama dan berkeyakinan kepada seluruh rakyat, sebagaimana ditegaskan dalam pertimbangan hukum Mahkamah Konstitusi.

Kelima, membentuk panitia khusus yang bertugas melakukan penyelesaian kasus-kasus dan pemajuan hak atas kebebasan beragama dan berkeyakinan di Indonesia untuk memastikan dilaksanakannya rekomendasi sebagaimana disebutkan dalam butir satu hingga empat sebagai kebijakan prioritas presiden terpilih.

Editor: Sandro Gatra
Sumber: Antara

Posted in Nasional, Persekusi, PerspektifComments (0)

Soal kebebasan beragama, Gamawan diminta tiru Lukman Hakim

Lukman, menurut Bonar, mau membuka forum dialog dengan umat agama minoritas seperti yang dilakukannya kepada penganut Bahai dan penganut aliran Ahmadiyah.

“Lukman Hakim Saifuddin banyak dipuji karena ia berani meluangkan waktu untuk berdialog dengan pihak-pihak penganut agama minoritas. Sekarang masalahnya di Kemendagri, Gamawan Fauzi yang belum buka akses legalitasnya secara administratif,” kata Bonar, di kantor Setara Institute, Bendungan Hilir, Jakarta Pusat, Rabu (27/8/2014).

JAKARTA, KOMPAS.com — Wakil Ketua Setara Institute Bonar Tigor Naipospos mengatakan, Kementerian Agama harus sejalan dengan Kementerian Dalam Negeri untuk mewujudkan Indonesia yang menjunjung tinggi kebebasan beragama dan berkeyakinan. Menurut dia, dua kementerian ini memegang peranan penting dalam pengakuan kelompok minoritas di Indonesia.

Ia mengapresiasi positif langkah yang dilakukan Menteri Agama Lukman Hakim Saifuddin. Lukman, menurut Bonar, mau membuka forum dialog dengan umat agama minoritas seperti yang dilakukannya kepada penganut Bahai dan penganut aliran Ahmadiyah.

“Lukman Hakim Saifuddin banyak dipuji karena ia berani meluangkan waktu untuk berdialog dengan pihak-pihak penganut agama minoritas. Sekarang masalahnya di Kemendagri, Gamawan Fauzi yang belum buka akses legalitasnya secara administratif,” kata Bonar, di kantor Setara Institute, Bendungan Hilir, Jakarta Pusat, Rabu (27/8/2014).

Bonar menambahkan, seharusnya Kemendagri juga memfasilitasi kebebasan beragama dalam aspek legalitas. Kemendagri, dalam pandangan Bona, juga bisa menyinkronkan legalitas tersebut untuk diinstruksikan ke pemerintah daerah. Ia menyayangkan tindakan Gamawan yang justru menyarankan kepada pemeluk agama minoritas untuk memilih salah satu agama yang diakui negara untuk dicantumkan di kartu tanda penduduk.

“Harusnya Gamawan meniru Lukman Hakim yang berpandangan terbuka bahwa negara hanya sebagai fasilitator umat bergama, bukan (negara) yang memberi pengakuan terhadap keberadaan agama,” kata Bonar.

Posted in Nasional, PerspektifComments (0)

KontraS: Perlindungan dan pemenuhan Hak Asasi Manusia di era SBY buruk

HARIS mengatakan, banyak permasalahan kasus HAM yang tidak dapat diselesaikan pada era SBY. Di antaranya adalah kasus kekerasan terhadap kelompok minoritas yang marak terjadi, misalnya kasus Ahmadiyah dan kasus pelanggaran HAM yang dialami pemeluk Syah di Sampang, Madura.

JAKARTA, KOMPAS.com – Komisi untuk Orang Hilang dan Tindak Kekerasan (KontraS), menyatakan bahwa perlindungan dan pemenuhan Hak Asasi Manusia (HAM) di era pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono berlangsung buruk.

SBY dianggap tidak berhasil menyelesaikan permasalahan HAM selama dua periode pemerintahan. “10 tahun bersama SBY saya pikir kita hadapi kondisi HAM indonesia yang buruk,” ujar Koordinator KontraS, Haris Azhar, di Kantor KontraS, Jalan Borobudur no. 14, Menteng Jakarta Pusat, Minggu (24/8/2014).

Haris mengatakan, banyak permasalahan kasus HAM yang tidak dapat diselesaikan pada era SBY. Di antaranya adalah kasus kekerasan terhadap kelompok minoritas yang marak terjadi, misalnya kasus Ahmadiyah dan kasus pelanggaran HAM yang dialami pemeluk Syah di Sampang, Madura.

SBY dinilai melakukan tindakan pasif terhadap orang yang melanggar HAM terhadap kelompok minoritas di Indonesia.

“Diskriminasi terhadap kelompok minoritas berjalan cukup konsisten. Jika dilihat dari sisi pelaku, SBY patut dianggap tolerah terhadap organisasi yang tidak beradab yang melakukan kekerasan dan kebencian terhadap kelompok minoritas,” ujar Haris.

Selain pelanggaran HAM terhadap kelompok minoritas, SBY juga dianggap tidak dapat menangani dengan baik terjadinya pelanggaran HAM di Papua. Dalam catatan KontraS, selama periode SBY, tercatat telah terjadi 264 peristiwa kekerasan dengan jumlah korban tewas mencapai 54 orang, termasuk warga sipil, dan Anggota TNI/Polri.

Dalam upaya menyelesaikan kasus HAM di Papua, lanjut Haris, SBY hanya menjawab dengan pidato kenegaraan pada tahun 2010 di Gedung DPR RI, tanpa diketahui tindak lanjutnya.

KontraS juga menyoroti proses hukum kasus pelanggaran HAM berat masa lalu pada era pemerintahan SBY. Menurut Azhar, SBY seolah-olah menganggap persoalan HAM di masa lalu sudah selesai, dengan mengalihkan proses penyelesaian kasus HAM berat tersebut dari hukum ke jalur politik.

SBY, kata dia, telah memerintahkan Menkopolhukam membentuk tim kecil penyelesaian pelanggaran HAM berat. Namun, hingga kini hasil kerja tim kecil tidak jelas tindak lanjutnya.

“SBY dalam beberapa kesempatan mengatakan bahwa di masanya tidak terjadi pelanggaran HAM yang berat. Mengingkari adanya fakta-fakta pelanggaran HAM yang meluas secara perlahan dalam masa pemerintahannya.,” ucap Haris.

Penulis: Fathur Rochman. Editor: Desy Afrianti.
_
Serupa di tempat lain: Waspada Online.

Posted in Nasional, Persekusi, PerspektifComments (0)

Datangi Jokowi, aktivis HAM sodorkan dokumen pelanggaran HAM di RI

Dalam hal kebebasan umat beragama, Andreas mendesak Jokowi agar nantinya bisa mencabut SKB tiga menteri mengenai Ahmadiyah, dan peraturan mengenai pembangunan rumah ibadah yang harus mendapat persetujuan 60 persen dari penduduk sekitar yang ia nilai mempersulit warga dari agama minoritas.

JAKARTA, KOMPAS.com. – Peneliti dari Human Right Watch, Andreas Harsono, mendatangi Gubernur DKI Jakarta sekaligus presiden terpilih Joko Widodo, di Balaikota Jakarta, Jumat (22/8/2014) pagi.

Kedatangannya bertujuan untuk menyerahkan dokumen mengenai permasalahan-permasalahan seputar hak asasi manusia di Indonesia.

“Dokumen ini berisi rekomendasi-rekomendasi tentang apa yang bisa dilakukan Jokowi sebagai presiden. Permasalahannya apa dan rekomendasinya apa semua sudah dicantumkan. Dan dokumen ini akan diserahkan secara resmi,” kata Andreas.

Andreas berpendapat, beberapa hal yang perlu dilakukan oleh Jokowi saat nantinya telah dilantik sebagai presiden adalah mengenai kebebasan umat beragama, permasalahan di Papua, kasus sengketa tanah, dan nasib-nasib TKI di luar negeri.

Dalam hal kebebasan umat beragama, Andreas mendesak Jokowi agar nantinya bisa mencabut SKB tiga menteri mengenai Ahmadiyah, dan peraturan mengenai pembangunan rumah ibadah yang harus mendapat persetujuan 60 persen dari penduduk sekitar yang ia nilai mempersulit warga dari agama minoritas.

“Sementara soal Papua, kami meminta agar larangan wartawan asing meliput di sana yang sudah berlangsung sejak tahun 1963, dicabut,” kata Andreas.

_
Penulis: Alsadad Rudi. Editor: Kistyarini

Posted in Nasional, PerspektifComments (0)

Tokoh agama dan kepercayaan tolak ISIS

FOTO: Tokoh lintas agama perwakilan HKBP Philadelphia Pendeta Palty Panjaitan, Jamaah Ahmadiyah Indonesia Maulana Zafrullah Pontoh, Ketua Dewan Syura Ijabi-Syiah Jallaludin Rakhmat, Forum Masyarakat Kristiani Indonesia Jerry Rumahtalu, dan Ketua Persatuan Gereja Indonesia Pendeta Phil Erari (kanan ke kiri) mengangkat poster anti-Negara Islam Irak dan Suriah (ISIS) dalam konferensi pers penolakan kehadiran ISIS di Indonesia, Senin (4/8/2014). Keberadaan ISIS di Timur Tengah mulai menyebar ke Indonesia dengan beredarnya video pernyataan dukungan terhadap ISIS oleh orang Indonesia di media sosial. (TRIBUNNEWS/DANY PERMANA)

_
JAKARTA, KOMPAS.com – Sejumlah tokoh agama dan kepercayaan menolak keberadaan Negara Islam Irak dan Suriah atau Islamic State of Iraq and Syria (ISIS) di Indonesia karena menilai kelompok tersebut mengancam keutuhan NKRI.

“Saya sebagai penganut kepercayaan ngeri melihatnya. Kita sejak kecil belajar agama dan kepercayaan, kami tidak sepakat ISIS ada di Indonesia,” kata Presidium DPP Badan kerja sama organisasi-organisasi Kepercayaan Terhadap Tuhan YME, Suprih Suhartono, di Jakarta, Senin (4/8/2014), seperti dikutip Antara.

Suprih juga meminta pemerintah menindak tegas gerakan tersebut sebelum berkembang lebih besar di Indonesia.

Hal senada disampaikan Bhikhu Garbha Virya dari Vihara Mahavira Graha Pusat. Ia berharap semua pihak bersama-sama berjuang mempertahankan NKRI.

Begitu juga dengan Ketua Presidium HKBP Pendeta Palty Panjaitan dari HKBP Philadelphia. “Saya menolak adanya ISIS di Indonesia sebab apapun alasannya Tuhan tidak pernah memerintahkan membunuh orang lain, justru memerintahkan untuk mengasihi sesama,” kata Pendeta Palty.

Jamaah Ahmadiyah Indonesia (JAI) Maulana Zafrullah Pontoh mengatakan, dalam Al Quran tidak ada pemaksaan.

“Apapun namanya jika ada pemaksaan tentu wajib kita tolak, dan sebagai bangsa Indonesia juga wajib kita tolak karena Indonesia adalah bangsa kekeluargaan tidak membeda-bedakan,” kata Maulana.

Maulana juga mengatakan warga wajib bersatu mendukung pemerintah untuk tidak membiarkan elemen-elemen yang melakukan kekerasan terhadap siapapun dan oleh siapapun.

Para tokoh agama dan kepercayaan itu membuat pernyataan bersama menolak ISIS di Indonesia dan menandatangani spanduk penolakan sebagai dukungan menolak ISIS.

ISIS adalah gerakan yang bercita-cita mendirikan negara kekhalifaan Islam di kawasan Timur Tengah. Gerakan ini dipimpin Abu Bakr al-Baghdadi.

ISIS dikenal sebagai gerakan radikal garis keras dalam melakukan misinya seperti pembunuhan massal dan bom bunuh diri.

Badan Nasional Penanggulangan Teroris (BNPT) menyebutkan ISIS termasuk dalam kelompok terorisme.

Pemerintah Indonesia bersikap menolak keberadaan ISIS. Pemerintah tak akan memberikan toleransi terhadap upaya penyebaran paham ISIS di Tanah Air karena paham yang disebarkan ISIS dianggap bertentangan dengan Pancasila dan Bhinneka Tunggal Ika.

_
Ikuti perkembangan berita ini dalam topik: Negara Islam Irak dan Suriah (ISIS)
Editor: Sandro Gatra
Sumber: Antara

Posted in Dakwah, Nasional, RabthahComments (0)

Para tokoh agama dan kepercayaan sepakat tolak ISIS masuk Indonesia

JAKARTA, KOMPAS.com — Para pemuka agama dan pemimpin kepercayaan lokal sepakat menyerukan penolakan organisasi Islamic State in Iraq and Syria (ISIS) masuk ke Indonesia. Seruan tersebut dinyatakan pada Senin (4/8/2014) di kawasan Taman Ismail Marzuki, Jakarta.

“Dengan menyebut nama Tuhan Yang Maha Esa, kami menolak setiap kelompok yang menggunakan kekerasan atas nama agama dan menyebarkan kebencian. Dengan ini, kami menolak ISIS hadir di Indonesia dan mendesak Pemerintah Indonesia untuk menindak warga negara, baik yang berhubungan langsung maupun tidak dengan ISIS,” ujar Jalalludin Rakhmat, pimpinan Ikatan Jamaah Ahlul Bait Indonesia (IJABI), mewakili para pemuka agama membacakan pernyataan penolakan, Senin siang.

Selain itu, lanjut Jalal, tokoh agama dan pimpinan kepercayaan lokal juga menyesalkan ketidaktegasan pemerintah dalam menanggapi aktivitas ISIS di berbagai daerah di Indonesia.

“Ini jelas-jelas berbahaya karena mereka akan menukar Pancasila dengan negara Islam. Penolakan ini untuk menjaga keutuhan NKRI,” ujarnya.

Mereka yang ikut menolak dan menandatangani pernyataan ini ialah Suprih Suhartono, Presidium Badan Koordinasi Organisasi-Organisasi dan Kepercayaan (BKOK), Astono Chandra dari Parisadha Hindu Darma Indonesia (PHDI), Suryanandar dari Majelis Tao Indonesia, Bhikhu Garbha Virya dari Vihara Mahavira Graha Pusat, pendeta Palty Panjaitan dari HKBP Philadelphia, Romo Daniel dari Gereja Ortodox Syria, Romo Benny Susetyo dari KWI dan Setara Institute, pendeta Dr Phil Erari dari Persatuan Gereja Indonesia (PGI), Zuhayri Misrawi dari Nahdlatul Ulama, Sheila Soraya dari Majelis Rohani Bahai, Maulana Zafrullah Pontoh dari Jemaat Ahmadiyah Indonesia (JAI), Jalaluddin Rakhmat dari OASE, pimpinan Ikatan Jamaah Ahlul Bait Indonesia (IJABI), serta Mokhtar Pakpahan.

_
Penulis: Meidella Syahni
Editor: Fidel Ali Permana

Posted in Nasional, RabthahComments (0)

Ahmadiyah Paling Sering Jadi Korban Intoleransi Sepanjang 2013

Foto ilustrasi: Masjid Ahmadiyah yang dirusak sekelompok orang di Kampung Babakan Sindang, Desa Cipakat, Kecamatan Singaparna, Tasikmalaya, Jawa Barat, Senin (6/5/2013).

JAKARTA, KOMPAS.com — Jemaah Ahmadiyah paling sering menjadi korban intoleransi dan pelanggaran kebebasan beragama sepanjang tahun 2013. Read the full story

Posted in Nasional, PersekusiComments (0)

@WartaAhmadiyah

Tweets by @WartaAhmadiyah

http://www.youtube.com/user/AhmadiyahID

Kanal Youtube

 

Tautan Lain


alislam


 
alislam


 
alislam


 
alislam

Jadwal Sholat

shared on wplocker.com