W3vina.COM Free Wordpress Themes Joomla Templates Best Wordpress Themes Premium Wordpress Themes Top Best Wordpress Themes 2012

Tag Archive | "Madura"

Perilaku Intoleran Masih Marak. Pemerintah Abaikan Penyelesaian Kasus

Pikiran Rakyat OnLine

Selasa, 23/12/2014 – 21:45

JAKARTA, (PRLM).- Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) menyatakan pemerintah telah melakukan pengabaian dalam menyelesaikan sejumlah kasus pelanggaran kebebasan beragama/berkeyakinan di tanah air. Kondisi itu berakibat pada masih tingginya tindakan intoleransi dan ketidakpastian nasib korban.

Demikian hal tersebut mengemuka dalam laporan akhir tahun Hak Atas Kebebasan Beragama/berkeyakinan Komnas HAM 2014.

“Tindak pelanggaran kebebasan beragama/berkeyakinan yang terhimpun baik melalui pemantauan maupun pengaduan masyarakat baik oleh korban maupun kelompok – kelompok pemantau dan pendamping mengalami peningkatan dari tahun sebelumnya,” kata Komisioner Komnas HAM RI M. Imdadun Rahmat di Jakarta, Selasa (23/12/2014).

Pada 2014, jumlah pengaduan mencapai 67 berkas atau meningkat dibanding 2013 dengan 39 berkas.

Dalam catatan Komnas HAM, sejumlah kasus penyelesaian kasus pelanggaran kebebasan beragama yang diabaikan pemerintah adalah pembangunan gereja HKBP Filadelfia Bekasi, GKI Yasmin Bogor, pembangunan Masjid Nur Musafir Batuplat Kota Kupang, mushala Asyafiiyah Kota Denpasar, pemulangan pengungsi warga Syiah Sampang Madura dan Ahmadiyah Lombok.

Dari kasus – kasus yang diadukan pada 2014, terdapat tiga kategori pengaduan kebebasan beragama/berkeyakinan berupa tindakan penyegelan, perusakan atau penghalangan pendirian rumah ibadah (30 berkas).

Selain itu, terjadi pula diskriminasi, pengancaman dan kekerasan terhadap pemeluk agama dan keyakinan tertentu (22 berkas) dan penghalangan ritual pelaksanaan ibadah (15 berkas).

“Komnas HAM menemukan pelanggaran kebebasan beragama/berkeyakinan dalam bentuk penutupan, perusakan, penyegelan atau pelarangan rumah ibadah merupakan isu menonjol yang perlu mendapat perhatian serius,” ucap Imdadun.

Meningkatnya kasus – kasus terkait pendirian rumah ibadah tak bisa dilepaskan dari lemahnya penegakkan hukum dan tidak efektifnya regulasi yang mengatur pendirian rumah ibadah.

“Keberadaan Peraturan Bersama Menteri (PBM) No 9 dan 8 tahun 2006 tak mampu diimplementasikan secara konsisten di lapangan. Hal ini terbukti, meskipun beberapa rumah ibadah sudah memenuhi ketentuan di dalam PBM, namun rumah ibadah tetap tak bisa didirikan,” ujar Imdadun.

Dia menambahkan, Komnas HAM telah merekomendasikan pengkajian ulang peraturan perundang – undangan dan kebijakan di tingkat nasional dan daerah yang tergolong diskriminatif dan melanggar hak kebebasan beragama/berkeyakinan. Tetapi, hingga kini rekomendasi tersebut tak dilaksanakan.

Upaya pemantauan dan mediasi yang dilakukan terhadap aparatus pemerintah daerah yang melanggar kebebasan juga belum sepenuhnya efektif.

Oleh karena itu, Komnas HAM pun meminta Presiden Joko Widodo memberikan kepastian hukum bagi korban – korban pelanggaran kebebasan beragama dan berkeyakinan serta mempertimbangkan pentingnya Undang – Undang tentang kebebasan beragama dan berkeyakinan. (Bambang Arifianto/A-89)***

Posted in Nasional, Persekusi, PerspektifComments (0)

3 hal yang perlu diperhatikan pemerintah terkait isu Perempuan

BeritaSatu.com

NASIONAL
Kamis, 13 November 2014 | 00:08

Jakarta – Menurut Dwi Rubiyanti Khalifah dari NGO Asian Muslim Action Network (AMAN) Indonesia, ada tiga area yang kritis yang perlu direspon cepat oleh negara terkait isu perempuan. Tiga area tersebut adalah perempuan dan fundamentalisme agama, migrasi dan perlindungan buruh migran dan perempuan minoritas.

“Antara 2009-2014, pemerintah Indonesia praktis tidak membuat kebijakan hukum yang melindungi perempuan akibat merebaknya fundamentalisme agama. Hanya ada Permenkes No. 6 Tahun 2014 yang membatalkan sunat pada perempuan No. 1636/2010,” ujar Dwi pada jumpa pers di Jakarta, Rabu (12/11).

Namun, setelah Permenkes tersebut keluar justru banyak sekali hambatan dari sisi peraturan, diantaranya diterbitkannya beberapa Peraturan Daerah (Perda) diskriminatif terhadap perempuan atas nama syariah Islam di Aceh, pelarangan pemakaian jilbab di Bali, pemaksaan pemakaian atribut agama di sekolah publik dan pembiaran Negara terhadap tindak kekerasan terhadap perempuan di Sampang, Madura dan kasus Ahmadiyah di NTB, dan Jawa Barat.

Sedangkan, terkait dengan perlindungan buruh migran, Solidaritas Perempuan mencatat sampai November 2012 penempatan buruh migran berlangsung tanpa standar dan jaminan perlindungan kerja yang buruk. Mereka kerap mengalami kekerasan, pelecehan seksual, pemerkosaan, gaji tidak dibayar, kriminalisasi, hingga ancaman hukuman mati.

“Kemudian, yang terakhir adalah perempuan minoritas, dimana kelompok yang paling rentan adalah LGBT (Lesbian, Gay, Bisexual and Transgender). Akibatnya mereka terjepit dalam stigma dan penghakiman sosial,” imbuh Desti Murdijana, Wakil Ketua Komisi Nasional Perempuan.

Menurutnya, penghakiman sosial sangat merugikan kelompok LGBT. Di beberapa daerah bahwa perempuan Lesbian banyak yang dipaksa menikah denan laki-laki agar sembuh.

“Bahkan lebih ekstrim, ada kepercayaan yang mengharuskan LGBT harus digauli secara paksa dengan lawan jenis agar kembali “normal”,” tandasnya.

Penulis: Kharina Triananda/AF

Posted in Kemanusiaan, Nasional, PerspektifComments (0)

Membedah hukum dewasa ini

Oleh Prof J.E. Sahetapy(*)
HukumOnline.com

SAYA perlu menyebut beberapa pelanggaran HAM berat agar tidak kelupaan dan semoga bisa diselesaikan dalam waktu dekat ini oleh Pemerintah Jokowi-JK: 1. Kelompok Syiah terusir dari desa Karangayam, Kecamatan Omben dan desa Bluuran, Kecamatan Karangpenang, Sampang di Madura; 2. Kelompok Ahmadiyah terkatung-katung di pengungsian di Asrama Transito, Mataram, Lombok; 3. Penyegelan Gereja Kristen Indonesia Yasmin di Bogor, Jawa Barat (sudah 5 tahun); 4. Izin pendirian Masjid Baluplat di NTT (3 tahun); 5. Penyegelan Gereja HKBP di Bekasi (2 tahun) di Jawa Barat (sumber Kompas 2 November 2014).

SENIN, 01 DESEMBER 2014

Harus terus dibina dan dipupuk budaya malu seperti di Jepang dan budaya rasa bersalah seperti di Eropa.

Bergen kan men zien, maar het recht kan men niet zien.
(Gunung-gunung dapat dilihat, tetapi hukum tidak dapat dilihat)

L.J. van Apeloorn (1954)

TIDAK dikandung maksud untuk membedah hukum secara holistik. Itu tidak mungkin dilakukan di atas kertas beberapa lembar ini. Yang dibedah hanyalah hukum pidana ; itupun dari perspektif kriminologi dan viktimologi. Pernah ditulis oleh Vrij, Guru Besar hukum pidana Belanda (tahun lupa), bahwa “De kriminologie riep het strafrecht tot de werkelijkheid” (Kriminologi menyadarkan hukum pidana akan kenyataan yang ada). Hal inipun dilakukan dalam tulisan ini dalam segenggam dari perspektif kriminologi dan viktimologi dalam konteks implementasi.

Sejak Proklamasi 17 Agustus 1945 hingga runtuhnya Orde Baru yang diperjuangkan oleh para mahasiswa, dalam garis besar dalam segenggam, hukum pidana dalam implementasinya, untuk meminjam lagi ungkapan Van Apeldoorn (1954) ialah ”Wanneer wij het recht zo zien: als ordening der menselijke levensverhoudingen, dan krijgen ook de dode wetsartikelen voor ons een andere betekenis” (Apabila kami melihat hukum demikian: sebagai penataan dari hubungan kehidupan kemanusiaan, maka juga pasal-pasal mati undang-undang yang kita dapati mempunyai arti yang lain).

Tidak dikandung maksud untuk mengangkat dan membedah kembali, apalagi menggali pengalaman-pengalaman yang menyedihkan, yang merisaukan hati dan pikiran pada waktu itu, yang bukan saja memperkosa kebenaran dan keadilan, tetapi juga HAM seolah-olah di-”desavoueer” atau tidak diakui. Untuk itu bertalian dengan implementasi hukum, juga yang dilakukan di dan oleh pengadilan, pada waktu itu saya menggunakan ungkapan ”power by remote control”.

Sampai pada suatu tahap dan aras tertentu, hal itu yaitu pelanggaran HAM masih berlaku dan dengan frekuensi yang menakjubkan. Mustahil alat-alat negara dan aparat penegak hukum tidak tahu, apalagi Presiden SBY. Kalau pelanggaran HAM di Miami, Amerika Serikat direspon oleh Presiden SBY dengan wawancara di halaman istana negara demi konsumsi politik dalam negeri, maka ibarat pepatah: ”kuman di seberang lautan tampak, gajah dipelupuk mata tidak tampak”. Ini yang disebut politik pencitraan yang munafik alias mencla-mencle. Bahkan kasus HAM yang sudah ”in kracht van gewijsde” oleh Mahkamah Agung RI tidak digubris oleh SBY sebagai ”commander in chief RI”.

Secara menyolok meskipun KPK telah membantai orang-orang terhormat di jajaran pemerintahan, di Senayan sampai di daerah-daerah luar Jawa dan disiarkan oleh semua media pers, masih belum tampak juga bahwa fenomena korupsi itu telah berakhir atau selesai. Kata orang Negeri Kincir Angin: ”voor hoe lang nog!” (masih berapa lama lagi), meskipun disadari bahwa itu baru puncak gunung es. Sudah demikian parahkah mental dan rusaknya budaya bangsa ini !? Simak berita kompas (11-11-14) : “Meski Bergaji Besar Pegawai Tetap Korupsi”. Jadi inikah ”mafia negara” atau ”negara mafia”.

Dan Presiden-Presiden setelah Soeharto lebih banyak ”mendandani” diri dan kelompoknya, belum tampak ada gebrakan yang keras dan tegas terhadap korupsi. Gus Dur mungkin sebagai Presiden perkecualian sampai melabel Senayan sebagai taman kanak-kanak, cahaya harapan kebersihan tanpa korupsi di ufuk timur belum tampak terbit juga. Kemudian muncul pahlawan dengan sejumlah janji dalam bakul politik pencitraan. Sayang, sampai pada ”de laatste stuiptrekken” alias ”nafas terakhir” sehingga muncul dua kubu politik seperti tidak kenal alias lupa pada ”Weltanschauung” Pancasila, SBY seperti terus keliru bermain kartu as politiknya. Dalam jagad media sosial muncul plesetan SBY yaitu antara lain ”Shamed By You”. Apakah ini sebagai ”Blunder sepuluh syarat keramat” (Gatra 2-8 Oktober 2014), entahlah!

Setelah Orde Baru tumbang, HAM seperti terus diperkosa, dan meskipun dipajang politik pencitraan yang mencla-mencle oleh SBY, saya perlu menyebut beberapa pelanggaran HAM berat agar tidak kelupaan dan semoga bisa diselesaikan dalam waktu dekat ini oleh Pemerintah Jokowi-JK:

  1. Kelompok Syiah terusir dari desa Karangayam, Kecamatan Omben dan desa Bluuran, Kecamatan Karangpenang, Sampang di Madura.
  2. Kelompok Ahmadiyah terkatung-katung di pengungsian di Asrama Transito, Mataram, Lombok.
  3. Penyegelan Gereja Kristen Indonesia Yasmin di Bogor, Jawa Barat (sudah 5 tahun).
  4. Izin pendirian Masjid Baluplat di NTT (3 tahun).
  5. Penyegelan Gereja HKBP di Bekasi (2 tahun) di Jawa Barat (sumber Kompas 2 November 2014).

Tidak perlu ditanya data masa lampau. Aparat Sipil (Polisi) dan terutama militer tidak bisa begitu saja cuci tangan. Simak “konflik” yang oleh rakyat dirasakan terutama di Indonesia Timur khusus di Maluku seolah-olah direkayasa oleh dan dari Pusat.

Setelah Reformasi menjebol Orde Baru, diperkirakan akan ada “trace” baru. Ternyata pemain-pemain lama muncul kembali dengan topeng-topeng baru. Sebagian besar dari mereka adalah Sengkuni-Sengkuni lama dan ada pula yang baru, baik di kalangan pemerintahan maupun dan terutama di Senayan. Mereka bergaya dan ”ribut” dan seperti lupa ungkapan kolonial bahwa ”de pot verwijt de ketel” alias pantat belanga menuduh atau mengkritisi pantat wajan, padahal dua-dua sama hitamnya. Hal itu secara ”mutatis mutandis” terulang kembali di akhir pemilu yang baru lalu. Senayan seolah-olah menciptakan dua Blok. Sejarah seperti terulang!

Dunia kepolisian meskipun di bawah otoritas RI 1 dan Kejaksaan ”idem dito”, dua-dua sama payah dalam rangka memberantas dan mengadili korupsi. Saya lalu teringat kasus ”cicak lawan buaya”. Istilah deponering masih dipakai, padahal di Belanda sudah lama mengganti dengan istilah seponering. Kepolisian seperti sulit menyelesaikan kasus perut buncit yang kaya raya. Banyak ceritera yang tidak sedap tentang kejaksaan, dulu dan sejak kematian Jaksa Agung Lopa. Baik saja tidak cukup. Jaksa Agung harus berani. Kenakalan jaksa makin merisaukan berdasarkan pengaduan masyarakat yang diterima Komisi Kejaksaan. Selama 2013 terdapat 168 jaksa yang melanggar kode etik dan 18 jaksa dihukum berat dengan 5 orang dipecat. (Kompas 06-11-14).

Dalam berbagai dilema konstelasi pada waktu itu, muncul gagasan untuk menciptakan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Setelah mengalami perubahan undang-undang, ternyata KPK bisa menggebrak dengan segala kelemahan ”inhaerensi” yang ada padanya, meskipun ia seperti disabot dari dan di Senayan, juga pernah oleh pihak kepolisian. Beberapa akademisi murahan seperti ikut membantu dan menentang secara terselubung KPK, dan Menteri Hukum dan HAM seperti tidak mau membela ”lex specialis derogat legi generali” dengan alasan murahan bahwa RUU yang sudah diajukan pantang dicabut kembali. (cf. Tempo 02-03-14). Memang benar ungkapan kolonial : ”Zo heer, zo knecht”. Arti bebas : ”seperti majikannya yang mudah obral janji”. Teringat saya pada ”Blunder Sepuluh Syarat Keramat” (Gatra 2-8 Oktober 2014. Belum lagi soal ”Napi korupsi bebas berkeliaran” (Kompas 30-10-14)

Sepanjang saya telusuri bahan bacaan bertalian dengan korupsi, sangatlah menarik untuk dicatat ”para pejabat negara terkorup”. Menurut Advokat Indonesia News thn X, edisi 6, 2013, ada 19 orang : 1. Pejabat Kemenpora. 2. Mantan Kakorlantas Polri. 3. Mantan pegawai Dirjen Pajak Kementerian Keuangan. 4. Pejabat Kementerian Kehutanan Kepala Biro Perencanaan dan Keuangan Dephut. 5. Mantan Kabareskim Polri. 6 Mantan Pegawai Dirjen Pajak. 7. Mantan Bupati Buol. 8. Mantan Deputi Senior Bank Indonesia. 9. Mantan Gubernur Sumatera Utara. 10. Mantan Gubernur Bengkulu. 11. Mantan Gubernur Maluku Utara. 12. Mantan Walikota Bekasi. 13. Mantan Wakil Walikota Cirebon. 14. Mantan Bupati Subang. 15. Mantan Bupati Lampung Timur. 16. Mantan Gubernur BI. 17. Mantan Menteri Kelautan. 18. Mantan Walikota Salatiga. 19. Mantan Gubernur Bank Indonesia. Quo Vadis RI kita ini !?

Bayangkan 309 Kepala Daerah terjerat korupsi (MI, 9 Okt 2013). Keputusan hukum ternyata bisa dibeli. Di Jkt 83,8% percaya ; 69,2% di Jayapura percaya (Kompas 10 Okt 2005). 60.000 dosen tidak layak (Seputar Ind, 4 Sept 2008). Plagiat marak di kalangan dosen (Jawa Pos, 3 Okt 2013). Produksi 1.600 ijasah palsu (JP 14 Juni 2012). Kiyai mesum setubuhi 2 santriwati dan cabuli 5 korban (JP 20 Febr 2014). Siswi SMP di sekolah di Jkt Pusat diperkosa, lalu direkam 6 teman sekolah di depan siswi-siswi lain (JP 18 Okt 2013). Belum lagi tentang kasus Bank Century dan lain-lain yang belum sempat dicatat. Sekali lagi : Quo Vadis bangsa dan negara kita !

Saya ingin mengakhiri tulisan pendek ini dengan pengamatan saya bahwa Indonesia dewasa ini dalam keadaan anomie (Durkheim 1952 dan Merton 1957). Namun, tanpa lupa akan peringatan Adolph Quetelet (1835) bahwa ”Societies have the criminals they deserve”. Pemerintah sekarang ini harus memperkuat KPK dalam rangka memberantas korupsi sampai ke akar-akarnya, meskipun itu menyangkut (para) pejabat (ter) tinggi di masa lampau.

Sementara itu harus terus dibina dan dipupuk budaya malu seperti di Jepang dan budaya rasa bersalah seperti di Eropa. Mulailah menanam hal itu di taman kanak-kanak dan terus dipelihara di Sekolah Dasar. Kalau dimulai dari Sekolah Menengah, apalagi di Perguruan Tinggi, maka hal itu sudah terlambat. Ungkapan kolonial: “Men kan geen ijzer met handen breken” (Orang tidak bisa patah besi dengan tangan). Itu berarti: besi harus terus dipanasi, baru bisa dibengkokkan. Agama sejak kecil cukup dididik di rumah. Di sekolah, terutama di Sekolah Dasar ditanam mata pelajaran Budi Pekerti. Jangan lupa: “sehari selembar benang, lama-lama menjadi sehelai kain”.

_
(*) Ketua Komisi Hukum Nasional

(**) Tulisan ini disajikan untuk acara Dialog Hukum KHN-PSHK-ILUNI FHUI-Hukumonline “Pekerjaan Rumah Sektor Hukum Pemerintahan Jokowi-JK”, 19 November 2014.

Posted in Nasional, PerspektifComments (0)

Duet Jokowi JK; Jokowi didesak tuntaskan kasus kebebasan beragama di Indonesia

MENURUT Imdadun ada beberapa contoh kasus yang selama ini terbengkalai selama bertahun-tahun. Misalnya saja kasus warga Ahmadiyah di Nusa Tenggara Barat yang menjadi pengungsi atau nasib penganut Syiah di Sampang, Madura. “Ada beberapa kasus utama yang bisa di-address oleh pemerintah baru. Yaitu kasus kekesaran terhadap warga Ahmadiyah di NTB, begitu juga dengan kasus Syiah, Sampang.

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA – Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) mendesak presiden dan wakil presiden terpilih Joko Widodo-Jusuf Kalla segera menyelesaikan hak atas jaminan kebebasan beragama dan berkeyakinan di Indonesia.

Komisioner Komnas HAM, Imdadun Rahmat, mengatakan pemerintahan Jokowi-JK harus memasukkan program perlindungan hak atas kebebasan beragama dalam program 100 hari pemerintahan mereka.
Imdadun mendesak itu menjadi prioritas pemerintahan Jokowi-JK menyusul kegagalan pemerintahan SBY-Boediono menyelesaikan permasalahan keagamaan di Indonesia.

“Kami menyerukan agar kegagalan itu tidak berulang pada pemerintahan yang akan datang dengan cara memasukkan isu atau tanggung jawab negara untuk pemenuhan penghormatan dan perlindungan HAM menjadi prioritas kalau bisa seratus hari pemerintahan yang akan datang dengan cara membentuk satu panitia khusus yang diberi mandat presiden untuk menyelesaikan masalah yang tidak selesai,” ujar Imdadun saat memberikan keterangan pers di kantornya, Jakarta, Rabu (4/9/2014).

Menurut Imdadun ada beberapa contoh kasus yang selama ini terbengkalai selama bertahun-tahun. Misalnya saja kasus warga Ahmadiyah di Nusa Tenggara Barat yang menjadi pengungsi atau nasib penganut Syiah di Sampang, Madura.

“Ada beberapa kasus utama yang bisa di-address oleh pemerintah baru. Yaitu kasus kekesaran terhadap warga Ahmadiyah di NTB, begitu juga dengan kasus Syiah, Sampang. Juga kasus problem-problem rumah ibadah itu juga harus diselesaikan,” beber Imdadun.

Imdadun menambahkan desakan penyelesaian tersebut sejalan dengan progam visi-misi Joko Widodo-Jusuf Kalla saat kampanye calon presiden dan wakil pesiden.

Penulis: Eri Komar Sinaga
Editor: Willy Widianto

Posted in Nasional, Persekusi, PerspektifComments (0)

Banyak janji Yudhoyono soal HAM ‘tidak terpenuhi’

LEMBAGA pegiat lain seperti Setara institute for Democracy and Peace menggaris bawahi kasus-kasus intoleransi beragama yang tidak juga diselesaikan. Dua di antaranya, menurut Setara, adalah kesulitan beribadah yang dialami oleh jemaat GKI Yasmin di Bogor dan penolakan terhadap pengikut Ahmadiyah [dan juga terhadap pengikut Syiah] di Sampang, Madura.

BBC Indonesia

PRESIDEN Susilo Bambang Yudhoyono hari Jumat (29/08) dijadwalkan akan menghadiri forum global United Nations Alliance of Civilizations di Bali.

SBY rencananya akan memberi sambutan mengenai isu global dan hak asasi manusia sesuai dengan tema forum tersebut “unity in diversity” atau persatuan dalam keberagaman, seperti yang diungkap staf khusus presiden bidang hubungan internasional Teuku Faizasyah.

Perserikatan Bangsa-Bangsa sebagai penyelenggara juga menganggap Indonesia sebagai negara besar, sangat beragam, damai dan cocok untuk menyelaraskan budaya timur dan barat serta Islam dan dunia agama lain, kata Michele Zaccheo, Direktur Pusat Informasi PBB di Indonesia.

Namun masalah hak asasi manusia justru dinilai memburuk selama masa pemerintahan Presiden Yudhoyono dan banyak janjinya terkait HAM tidak terpenuhi, jelas Andreas Harsono, peneliti Indonesia dari organisasi pegiat HAM Human Rights Watch.

“Ketika SBY mulai jadi presiden, dia kan berjanji menyelesaikan masalah-masalah HAM, hak asasi manusia. Yang terkenal kan janji dia soal Munir yah. Menyelesaikan masalah Munir itu kata dia, the test of our history, ujian kita oleh sejarah. Dia juga janji akan membereskan yang lain, ’65, orang hilang dan seterusnya. Ternyata itu semua tidak dia penuhi,” kata Andreas.

Lembaga pegiat lain seperti Setara institute for Democracy and Peace menggaris bawahi kasus-kasus intoleransi beragama yang tidak juga diselesaikan.

Dua diantaranya, menurut Setara, adalah kesulitan beribadah yang dialami oleh jemaat GKI Yasmin di Bogor dan penolakan terhadap pengikut Ahmadiyah [dan juga terhadap pengikut Syiah] di Sampang Madura.

Menanggapi pendapat tersebut, staf khusus presiden bidang hubungan internasional Teuku Faizasyah mengatakan situasi di Indonesia masih lebih baik dibandingkan dengan negara-negara lain.

“Karena justru, kalau kita bandingkan apa yang terjadi di dunia saat sekarang apa yang dilihat sebagai kasus-kasus intoleransi itu, tidak bisa dibandingkan dengan apa yang terjadi di Timur Tengah di kawasan lainnya di dunia. Bahkan apa yang terjadi juga belum lama ini di Amerika Serikat kan cerminan kasus-kasus intoleransi,” kata Teuku Faizasyah.

Harapan pada pemerintah baru

Di lain pihak, tidak banyak yang bisa dilakukan oleh pemerintahan Yudhoyono yang tinggal tujuh pekan lagi. Karenanya Bonar Tigor Naipospos, dari Setara Institute berharap pemerintah yang akan datang dapat memberi solusi terhadap kasus-kasus intoleransi beragama.

“Enam bulan pertama, dia (Jokowi) dapat mengambil langkah konkret misalnya, satu menyelesaikan persoalan GKI Yasmin. Kedua misalnya, mengembalikan fungsi masjid Al Misbah di Bekasi yang disegel oleh pemerintah kota. Kemudian memulangkan pengungsi Syiah yang sekarang ini ada di Sidoarjo ke Sampang,” ujar Bonar.

Bonar juga berharap pemerintah yang akan datang dapat menghapus regulasi dan peraturan pemerintah yang bersifat diskriminatif terhadap kelompok tertentu.

Forum global United Nations Alliance of Civilizations akan berlangsung hingga Sabtu (30/08) dan juga akan dihadiri oleh sekretaris jenderal PBB Ban Ki Moon.

Posted in Nasional, Persekusi, PerspektifComments (0)

Setumpuk kasus kebebasan beragama tunggu Jokowi-JK

“Selanjutnya, Jokowi harus memulangkan pengungsi Ahmadiyah Transito Mataram, serta memberikan layanan paripura atas hak-hak dasar Ahmadiyah Transito.”

SindoNews.com

JAKARTA – Presiden terpilih Jokowi-JK didesak menyelesaikan kasus intoleransi atau kebebasan beragama yang belum pernah tuntas.

“Jokowi-JK harus memulangkan pengungsi Syiah ke Sampang, Madura,” ujar Wakil Ketua Setara Institute Bonar Tigor Naipospos di kantornya, Jalan Danau Gelinggang, Bendungan Hilir, Jakarta, Rabu (27/8/2014).

Menurutnya, hal itu harus menjadi salah satu prioritas Jokowi dalam jangka pendek. Selanjutnya, Jokowi harus memulangkan pengungsi Ahmadiyah Transito Mataram, serta memberikan layanan paripura atas hak-hak dasar Ahmadiyah Transito.

Selain itu, Jokowi juga harus memerintahkan Wali Kota Bogor Bima Arya menjalankan perintah Mahkamah Agung terkait keabsahan pendirian Gereja Taman Yasmin Bogor dan Gereja HKBP Filadelfia Bekasi.

“Jokowi-JK harus membuka segel Mesjid Al Misbah Bekasi,” tuturnya.

Untuk jangka panjang, lanjutnya, Jokowi diminta membentuk gugus tugas pemajuan dan perlindungan kebebasan beragama atau berkeyakinan untuk menangani kekerasan dan pelanggaran kebebasan beragama atau berkeyakinan tidak berpola dan sporadis.

“Mendesain program pendidikan karakter bangsa dengan anggaran yang terintegrasi dan akuntabel,” kata dia.

(kri)

Posted in Nasional, Persekusi, PerspektifComments (0)

Jokowi didesak selesaikan kasus Syiah & Ahmadiyah

“SBY gagal memulangkan warga Syiah ke Sampang Madura. Tim rekonsiliasi juga tidak jelas juntrungannya. Mereka masih di rumah susun Sidoarjo,” jelas Wakil Ketua SETARA Institute Bonar Tigor Naipospos di kantornya. Bahkan pada pengungsi Ahmadiyah di Mataram pemprov NTB belum memberikan KTP kepada mereka.

Merdeka.com – PRESIDEN terpilih Joko Widodo sudah punya tugas rumah menumpuk. Salah satunya menyelesaikan berbagai konflik antar umat beragama di Indonesia.

SETARA Institute for democracy and peace menganggap beberapa konflik antar umat beragama seperti Syiah belumlah tuntas.

“SBY gagal memulangkan warga Syiah ke Sampang Madura. Tim rekonsiliasi juga tidak jelas juntrungannya. Mereka masih di rumah susun Sidoarjo,” jelas Wakil Ketua SETARA Institute Bonar Tigor Naipospos di kantornya.

Bahkan pada pengungsi Ahmadiyah di Mataram pemprov NTB belum memberikan KTP kepada mereka.

“Mereka mempunyai hak di sana, lahir di sana semuanya hak-hak mereka menjadi terbengkalai,” sambung dia.

Keadaan serupa juga terjadi pada gereja Taman Yasmin Bogor, gereja HKBP Filadelfia sampai masjid Al Misbah di Bekasi.

“Realitas politik memaksa wali kota tidak berani mengambil keputusan yang tegas. Mereka butuh back up dari pusat. Tugas Jokowi berikutnya membackup Bogor dan Bekasi,” tutupnya.

[ian]

Posted in Nasional, Persekusi, PerspektifComments (0)

KontraS: Perlindungan dan pemenuhan Hak Asasi Manusia di era SBY buruk

HARIS mengatakan, banyak permasalahan kasus HAM yang tidak dapat diselesaikan pada era SBY. Di antaranya adalah kasus kekerasan terhadap kelompok minoritas yang marak terjadi, misalnya kasus Ahmadiyah dan kasus pelanggaran HAM yang dialami pemeluk Syah di Sampang, Madura.

JAKARTA, KOMPAS.com – Komisi untuk Orang Hilang dan Tindak Kekerasan (KontraS), menyatakan bahwa perlindungan dan pemenuhan Hak Asasi Manusia (HAM) di era pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono berlangsung buruk.

SBY dianggap tidak berhasil menyelesaikan permasalahan HAM selama dua periode pemerintahan. “10 tahun bersama SBY saya pikir kita hadapi kondisi HAM indonesia yang buruk,” ujar Koordinator KontraS, Haris Azhar, di Kantor KontraS, Jalan Borobudur no. 14, Menteng Jakarta Pusat, Minggu (24/8/2014).

Haris mengatakan, banyak permasalahan kasus HAM yang tidak dapat diselesaikan pada era SBY. Di antaranya adalah kasus kekerasan terhadap kelompok minoritas yang marak terjadi, misalnya kasus Ahmadiyah dan kasus pelanggaran HAM yang dialami pemeluk Syah di Sampang, Madura.

SBY dinilai melakukan tindakan pasif terhadap orang yang melanggar HAM terhadap kelompok minoritas di Indonesia.

“Diskriminasi terhadap kelompok minoritas berjalan cukup konsisten. Jika dilihat dari sisi pelaku, SBY patut dianggap tolerah terhadap organisasi yang tidak beradab yang melakukan kekerasan dan kebencian terhadap kelompok minoritas,” ujar Haris.

Selain pelanggaran HAM terhadap kelompok minoritas, SBY juga dianggap tidak dapat menangani dengan baik terjadinya pelanggaran HAM di Papua. Dalam catatan KontraS, selama periode SBY, tercatat telah terjadi 264 peristiwa kekerasan dengan jumlah korban tewas mencapai 54 orang, termasuk warga sipil, dan Anggota TNI/Polri.

Dalam upaya menyelesaikan kasus HAM di Papua, lanjut Haris, SBY hanya menjawab dengan pidato kenegaraan pada tahun 2010 di Gedung DPR RI, tanpa diketahui tindak lanjutnya.

KontraS juga menyoroti proses hukum kasus pelanggaran HAM berat masa lalu pada era pemerintahan SBY. Menurut Azhar, SBY seolah-olah menganggap persoalan HAM di masa lalu sudah selesai, dengan mengalihkan proses penyelesaian kasus HAM berat tersebut dari hukum ke jalur politik.

SBY, kata dia, telah memerintahkan Menkopolhukam membentuk tim kecil penyelesaian pelanggaran HAM berat. Namun, hingga kini hasil kerja tim kecil tidak jelas tindak lanjutnya.

“SBY dalam beberapa kesempatan mengatakan bahwa di masanya tidak terjadi pelanggaran HAM yang berat. Mengingkari adanya fakta-fakta pelanggaran HAM yang meluas secara perlahan dalam masa pemerintahannya.,” ucap Haris.

Penulis: Fathur Rochman. Editor: Desy Afrianti.
_
Serupa di tempat lain: Waspada Online.

Posted in Nasional, Persekusi, PerspektifComments (0)

Pemerintah wajib berikan jaminan sosial bagi jemaah Syiah dan Ahmadiyah

KBR, Jakarta – Lembaga Swadaya Masyarakat INFID mendesak pemerintah memberikan bantuan sosial seperti Jamkesmas dan Raskin kepada pengungsi Syiah dan Ahmadiyah. Ini menyusul evaluasi PBB soal pemenuhan hak ekonomi sosial budaya di Indonesia.

Manager Program INFID Beka Ulung Hapsara mengatakan pemerintah terbukti gagal memenuhi hak dasar Syiah dan Ahmadiyah selama bertahun-tahun. Hak tersebut adalah hak catatan sipil, politik, bekerja dan upah layak, pendidikan, kesehatan, serta budaya.

“Selama mereka mengungsi, (pemerintah harus menjamin) hak pendidikan, hak kesehatan dan pekerjaan, juga yang tak kalah penting hak administrasi kependudukan. Ketika kita menegakkan konstitusi, hak-hak sipil politik maupun ekosob itu akan dipenuhi,” kata Beka Ulung Hapsara kepada KBR, di Jakarta, Sabtu (7/6) sore.

Kelompok Ahmadiyah di Mataram, NTB, terpaksa mengungsi di Asrama Transito setelah desa mereka dibakar kelompok intoleran pada 2006. Sementara itu, kelompok Syiah di Sampang mengalami hal yang sama sejak 2012. Hingga kini, upaya pengembalian mereka ke tempat tinggalnya masih berjalan.

Editor: Citra Dyah Prastuti

Posted in Nasional, PersekusiComments (0)

diskusi ilmiah di UIN sunan ampel surabaya

Diskusi Ilmiah: Metodologi Tafsir Al-Quran dan Ideologi Ahmadiyah di UIN Sunan Ampel Surabaya

AHAD, 24 desember 2013, bertempat di ruang laboratorium UIN Sunan Ampel Surabaya berlangsung acara diskusi dengan tajuk metodologi tafsir al-Quran dan ideologi Ahmadiyah. Acara ini diprakarsai oleh Fakultas Usuluddin UIN Sunan Ampel Surabaya bekerja sama dengan BPT  Jemaat Ahmadiyah Indonesia Wilayah Jawa Timur yang dikoordinir oleh Ir. Hamid Ahmad. Read the full story

Posted in Dakwah, Nasional, RabthahComments (0)

@WartaAhmadiyah

Tweets by @WartaAhmadiyah

http://www.youtube.com/user/AhmadiyahID

Kanal Youtube

 

Tautan Lain


alislam


 
alislam


 
alislam


 
alislam

Jadwal Sholat

shared on wplocker.com