W3vina.COM Free Wordpress Themes Joomla Templates Best Wordpress Themes Premium Wordpress Themes Top Best Wordpress Themes 2012

Tag Archive | "NTB"

Pengungsi Ahmadiyah; Ombudsman: Jokowi mesti contoh Gus Dur dalam kasus Ahmadiyah

Home / Nasional / Berita Peristiwa
Tri Wahyuni, CNN Indonesia | Senin, 08/12/2014 14:15 WIB

Jakarta, CNN Indonesia — Ombudsman Republik Indonesia (ORI) meminta Presiden Joko Widodo untuk menyelesaikan persoalan pengungsi jemaat Ahmadiyah. ORI menilai selama ini penanganan pengungsi Ahmadiyah masih jauh dari visi misi Nawa Cita Jokowi.

Anggota Ombudsman Bidang penyelesaian Laporan dan Pengaduan, Budi Santoso, mengatakan Jokowi perlu membuktikan Revolusi Mental yang digembar-gemborkan selama masa kampanye untuk menyelesaikan persoalan Ahmadiyah.

“Kalau dilihat Nawa Cita itu keinginan kuat bahwa negara harus hadir di semua persoalan masyarakat,” katanya dalam Peluncuran Laporan Tim Gabungan Advokasi Untuk Pemulihan Hak-Hak Pengungsi Ahmadiyah di Nusa Tenggara Barat (NTB) di Gedung Ombudsman, Jakarta, Senin (8/12).

Dalam persoalan Ahmadiyah, Budi melihat absennya peran negara sehingga nasib jemaat masih jauh dari ideal untuk menjalani kehidupan secara normal. Hal tersebut, katanya, terutama pemenuhan hak dasar seperti administrasi kependudukan untuk akses pendidikan.

Sejauh ini, pihaknya telah berupaya memberikan pemenuhan hak dasar tersebut. Namun, hal itu dinilai belum cukup. Budi berharap negara bisa hadir di tengah pengungsi Ahmadiyah untuk mengupayakan hak dasar memeluk keyakinan yang dipilih.

Lebih jauh lagi, Budi menilai persoalan intoleransi merupakan persoalan yang mesti diselesaikan oleh negara. “Mudah-mudahan dalam persoalan Ahmadiyah Jokowi bisa meniru sikap Gusdur yang jelas dan tegas keberpihakan pada minoritas, suku dan agama,” ujar dia.

Tim Gabungan Advokasi terdiri atas beberapa lembaga penggiat Hak Asasi Manusia (HAM) dan keadilan sosial seperti Komnas HAM, Komisi Nasional Anti Kekerasan Terhadap Perempuan (Komnas Perempuan), Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI), Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) dan Ombudsman RI. “Kami mendesak Presiden Jokowi menjadikan isu perlindungan hak atas kebebasan beragam dan berkeyakinan sebagai agenda prioritas,” ujar dia.

Sementara itu, Jayadi Damanik dari Komnas HAM mengatakan hingga saat ini perilaku diskriminasi terhadap pengungsi jemaat Ahmadiyah di NTB meningkat. Perilaku diskriminatif tersebut dilakukan mulai dari pejabat publik hingga aparat kepolisian. “Saya melihat dan mendengar sendiri pejabat pemerintahan di sana berkata,’Agama saya Islam. Bagi saya Ahmadiyah itu sesat,” kata dia mengutip pernyataan pejabat bersangkutan.

Berdasarkan penelusuran tim Gabungan Advokasi, ditemukan beberapa catatan diskriminasi terhadap pengungsi jemaat Ahmadiyah yang perlu mendapatkan perhatian serius pemerintah, diantaranya gugatan status hukum pernikahan terhadap perempuan yang menikah dengan orang non-Ahmadiyah, ancaman perkosaan dan pelecehan seksual, penyerangan dan pengusiran, serta sulitnya mengurus Kartu Tanda Penduduk, akta nikah, kartu keluarga hingga pembedaan rapor siswa warga Ahmadiyah.

Hingga kini, tercatat jumlah pengungsi Ahmadiyah di Nusa Tenggara Barat mencapai 200 pengungsi atau 42 Kepala Keluarga yang terpencar di daerah Transito dan Praya. (utd/sip)

Posted in Nasional, PerspektifComments (0)

Komnas Perempuan: Konflik agama rentan kekerasan gender

Tribunnews.com » Nasional » Hukum
Senin, 8 Desember 2014 14:16 WIB

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA – Pengungsi jemaah Ahmadiyah di Nusa Tenggara Barat sering mendapat penyerangan dari kelompok-kelompok tertentu selama sembilan tahun terakhir.

Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan menyoroti persoalan yang dialami oleh korban pengungsian yang rentan terjadinya kekerasan gender.

Wakil Ketua Komisi Nasional Anti Kekerasan Terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) Masruchah mengatakan perempuan di pengungsian sering mendapat perlakuan tindak kekerasan.

Hal ini berdasarkan pemantauan tim gabungan investigasi untuk pemulihan hak-hak pengungsi Ahmadiyah di NTB.

Ia menuturkan, perempuan-perempuan Ahmadiyah seringkali mendapat ancaman kekerasan dan perkosaan saat terjadi penyerangan.

“Bahkan di wilayah publik dengan nilai-nilai patrakal di masyarakat yang memposisikan perempuan sebagai objek seksual,” kata Masruchah di Kantor Ombudsman Republik Indonesia, Jakarta, Senin (8/12/2014).

Selain itu, perempuan Ahmadiyah juga mengalami penurunan terhadap akses kehidupan layak. Ia menyebut, perempuan kerap mengalami gangguan dan ancaman ketika berjualan di pasar.

Perempuan tersebut juga kesulitan mengakses bantuan kesehatan karena dihadapkan dengan persoalan keyakinan beragama.

“Mereka (perempuan) Ahmadiyah juga terus mengalami pengusiran dan hidup berpindah karena tidak adanya jaminan keamanan secara penuh dari negara,” ujar Masruchah.

#Ahmadiyah #Komnas Perempuan

Posted in Nasional, PerspektifComments (0)

Ombudsman: Pelayanan publik pengungsi Ahmadiyah harus dipenuhi

Tribunnews.com » Nasional » Umum
Senin, 8 Desember 2014 12:33 WIB
Laporan wartawan Tribunnews.com, Randa Rinaldi

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA – Persoalan pelanggaran terhadap kebebasan beragama masih terjadi di berbagai wilayah Indonesia. Satu di antaranya persoalan pelanggaran agama yang dialami komunitas jemaat Ahmadiyah di Nusa Tenggara Barat.

Tepat Februari 2015, pengungsi jemaat Ahmadiyah telah berada di lokasi pengungsian selama sembilan tahun. Pengungsi ini terbagi di dua titik yaitu di Gedung Transito Mataram dan bekas Rumah Sakit Praya Lombok Tengah.

Menurut Asisten Senior Ombudsman, Dominikus Dallu, negara berkewajiban untuk memberikan pelayanan keamanan bagi setiap warga negara termasuk Ahmadiyah.

“Dari sisi pelayanan publik, Ombudsman memastikan kehidupan warga negara yang layak kalau tidak ada pelayanan kami akan campur tangan,” kata Domunikus saat peluncuran laporan tim gabungan advokasi untuk pemulihan hak-hak pengungsi Ahmadiyah di Kantor Ombudsman, Jakarta, Senin (8/12/3014).

Menurutnya, pengungsi Ahmadiyah di NTB harus menerima hak dalam pelayanan publik. Pelayanan tersebut meliputi pelayanan administrasi pendidikan, sketerangan catatan kepolisian, akte kelahiran, serta program pemerintah yang meluncurkan kartu sakti.

“Kartu Tanda Penduduk (KTP) mereka belum didapatkan sebelum pemilihan legislatif. KTP mereka baru diurus kalau ada kehendak politik. Kami bersama, tentunya ingin memastikan hal-hal itu tidak terjadi lagi,” jelas Dominikus.

#Ombudsman #Ahmadiyah

Posted in Nasional, PerspektifComments (0)

3 hal yang perlu diperhatikan pemerintah terkait isu Perempuan

BeritaSatu.com

NASIONAL
Kamis, 13 November 2014 | 00:08

Jakarta – Menurut Dwi Rubiyanti Khalifah dari NGO Asian Muslim Action Network (AMAN) Indonesia, ada tiga area yang kritis yang perlu direspon cepat oleh negara terkait isu perempuan. Tiga area tersebut adalah perempuan dan fundamentalisme agama, migrasi dan perlindungan buruh migran dan perempuan minoritas.

“Antara 2009-2014, pemerintah Indonesia praktis tidak membuat kebijakan hukum yang melindungi perempuan akibat merebaknya fundamentalisme agama. Hanya ada Permenkes No. 6 Tahun 2014 yang membatalkan sunat pada perempuan No. 1636/2010,” ujar Dwi pada jumpa pers di Jakarta, Rabu (12/11).

Namun, setelah Permenkes tersebut keluar justru banyak sekali hambatan dari sisi peraturan, diantaranya diterbitkannya beberapa Peraturan Daerah (Perda) diskriminatif terhadap perempuan atas nama syariah Islam di Aceh, pelarangan pemakaian jilbab di Bali, pemaksaan pemakaian atribut agama di sekolah publik dan pembiaran Negara terhadap tindak kekerasan terhadap perempuan di Sampang, Madura dan kasus Ahmadiyah di NTB, dan Jawa Barat.

Sedangkan, terkait dengan perlindungan buruh migran, Solidaritas Perempuan mencatat sampai November 2012 penempatan buruh migran berlangsung tanpa standar dan jaminan perlindungan kerja yang buruk. Mereka kerap mengalami kekerasan, pelecehan seksual, pemerkosaan, gaji tidak dibayar, kriminalisasi, hingga ancaman hukuman mati.

“Kemudian, yang terakhir adalah perempuan minoritas, dimana kelompok yang paling rentan adalah LGBT (Lesbian, Gay, Bisexual and Transgender). Akibatnya mereka terjepit dalam stigma dan penghakiman sosial,” imbuh Desti Murdijana, Wakil Ketua Komisi Nasional Perempuan.

Menurutnya, penghakiman sosial sangat merugikan kelompok LGBT. Di beberapa daerah bahwa perempuan Lesbian banyak yang dipaksa menikah denan laki-laki agar sembuh.

“Bahkan lebih ekstrim, ada kepercayaan yang mengharuskan LGBT harus digauli secara paksa dengan lawan jenis agar kembali “normal”,” tandasnya.

Penulis: Kharina Triananda/AF

Posted in Kemanusiaan, Nasional, PerspektifComments (0)

[November 2014] Amnesty International tunggu realisasi komitmen HAM

HukumOnLine.com

Para korban terusir dari kampung, dan tak bisa kembali lagi. Ratusan keluarga masih berada di lokasi pengungsian atau tempat sanak saudara. “Indikator terpenuhinya komitmen Jokowi-JK terhadap HAM itu dapat dilihat jika komunitas Syiah di Sampang dan Ahmadiyah di NTB bisa dipulangkan ke kampung halamannya. Selain itu merevisi semua regulasi yang bertentangan dengan hukum dan HAM internasional,” kata Josef dalam jumpa pers yang digelar Amnesty International di Jakarta, Jumat (21/11).

SABTU, 22 NOVEMBER 2014

Salah satu indikatornya adalah kebijakan pemerintah melindungi dan memenuhi hak-hak korban pelanggaran HAM.

IMPLEMENTASI komitmen pemerintah baru, Jokowi-JK, terhadap penegakan HAM bukan saja dinanti masyarakat Indonesia, tapi juga komunitas internasional. Amnesty International, sebuah organisasi internasional yang membidangi isu HAM, menunggu realisasi komitmen yang disampaikan Jokowi-JK saat kampanye pilpres.

Pengkampanye Amnesty Internasional Indonesia, Josef Benedict, mengatakan realisasi komitmen pemerintah baru di bidang HAM ditunggu banyak pihak, baik di dalam negeri maupun luar negeri. Josef melihat dalam sepuluh tahun terakhir, pelanggaran HAM di Indonesia dengan dalih penodaan agama cenderung meningkat. Amnesty International mencatat sejak 2005 sampai sekarang, tercatat 106 orang diadili dan dijatuhi hukuman menggunakan tuduhan pendonaan agama. Padahal pada masa Orde Baru jumlah yang diadili sangat sedikit.

Josep berharap Jokowi-JK mampu membenahi masalah ini. Indikator yang bisa digunakan adalah melihat pada kebijakan yang dikeluarkan pasangan presiden dan wakil presiden ini. Terutama bagaimana kebijakan pemerintah terhadap korban pelanggaran HAM dalam kasus berbasis agama/keyakinan.

Para korban terusir dari kampung, dan tak bisa kembali lagi. Ratusan keluarga masih berada di lokasi pengungsian atau tempat sanak saudara. “Indikator terpenuhinya komitmen Jokowi-JK terhadap HAM itu dapat dilihat jika komunitas Syiah di Sampang dan Ahmadiyah di NTB bisa dipulangkan ke kampung halamannya. Selain itu merevisi semua regulasi yang bertentangan dengan hukum dan HAM internasional,” kata Josef dalam jumpa pers yang digelar Amnesty International di Jakarta, Jumat (21/11).

Peneliti senior Setara Institute, Bonar Tigor Naipospos, berpendapat masalah kebebasan berkeyakinan dan beragama di Indonesia sangat rumit. Kondisi itu bertambah parah pasca tumbangnya Presiden Soeharto. Setara Institute mencatat sejak 2007-2012 terjadi peningkatan kasus pelanggaran kebebasan berkeyakinan dan beragama secara signifikan. Tahun 2007 tercatat ada 97 kasus dan 2012 terjadi lebih dari 300 kasus.

Maraknya intoleransi, menurut Bonar, ikut dipicu oleh regulasi seperti pasal 165a KUHP dan UU No.1/PNPS/1965 (Penodaan Agama). Oleh karenanya ia mengusulkan agar regulasi itu dicabut atau direvisi. “Ketentuan itu selalu jadi alasan kelompok intoleran untuk menyerang kelompok minoritas,” pungkasnya.

_
Ralat:
Paragraf 6, tertulis:
Maraknya intoleransi, menurut Bonar, ikut dipicu oleh regulasi seperti pasal 165a KUHP dan UU No.1/PNPS/1965 (Penodaan Agama).

Yang benar:
Maraknya intoleransi, menurut Bonar, ikut dipicu oleh regulasi seperti pasal 156a KUHP dan UU No.1/PNPS/1965 (Penodaan Agama).

@Redaksi

Posted in Kemanusiaan, Nasional, PerspektifComments (0)

New home minister to delve into minority issues

THE Commission for Missing Persons and Victims of Violence (Kontras) recorded 21 bylaws that had been issued by regional governments between 2005 and 2011 to disband any religious activities by members of the Ahmadiyah community, putting the Ahmadis under threat from locals and radical organizations.

The Jakarta Post

Newly appointed Home Minister Tjahjo Kumolo has said that he will scrutinize problems faced by minority groups over the past decade.

The Indonesian Democratic Party of Struggle (PDI-P) politician said that he would make an inventory of what could be categorized as minority problems.

“We will ask [for data] on what has happened in the past decade,” he said on the sidelines of the Cabinet inauguration on Monday at the Presidential Palace.

He added that he would soon summon governors, mayors and regents to hear directions regarding a plan on financial austerity from President Joko “Jokowi” Widodo.

“We will deliver messages from Bappenas [the National Development Planning Board] and the Finance Ministry so that regional heads can understand about the limitation of [the current] state budget and will be able to anticipate [conditions],” said Tjahjo, referring to soaring fuel prices that may push the Jokowi administration to relieve some subsidies to make larger fiscal room for development programs.

Tjahjo, who is currently still serving as PDI-P secretary-general, is among five PDI-P members appointed in the new Cabinet.

A career politician and lawmaker, Tjahjo has never acquired public office before. The nationalistic background of the PDI-P, however, has given hope that he will be able to reform the conservative approach of home ministers from the time of the Susilo Bambang Yudhoyono administration.

Previously, Yudhoyono preferred to give the ministerial post to former military officers or local bureaucrats, which led to violent incidents with religious minority groups.

Human rights watchdogs recorded a rising number of incidents among religious groups during Yudhoyono’s two terms.

The Commission for Missing Persons and Victims of Violence (Kontras) recorded 21 bylaws that had been issued by regional governments between 2005 and 2011 to disband any religious activities by members of the Ahmadiyah community, putting the Ahmadis under threat from locals and radical organizations.

A political analyst from the Indonesian Civilized Circle (Lima), Ray Rangkuti, suggested that Tjahjo would be more open-minded in handling sectarian conflicts compared to his predecessor Gamawan Fauzi.

“Looking at his character and his background as a [PDI-P] politician, I believe that Tjahjo will be more tolerant. He tends to go against mass organizations that often create trouble, such as the Islam Defenders Front [FPI], but he will handle those according to regulations,” Ray said.

Human rights defender Hendardi, who chairs human rights watchdog the Setara Institute, said that the first challenge for Tjahjo would be to end discrimination against minorities like the Ahmadi and Shia groups.

He was referring to the Islamic sect of the Shia community based in Sampang, East Java, whose hundreds of members remain banned from returning home after they were forcibly evicted from their villages when their homes were burned by a group of people claiming to be representatives of the majority Sunni Muslims in August 2012.

Similarly, members of the Ahmadiyah community in Ketapang, West Nusa Tenggara (NTB), have been living in a local shelter after a mob claiming to be members of the Sunni majority attacked and burned their houses eight years ago.

Adding to discrimination imposed on the country’s religious minorities, the GKI Yasmin church in Bogor, West Java, has remained sealed for more than 10 years despite a ruling by the Supreme Court, the country’s highest legal institution, stipulating its legitimacy.

“[Along with the Religious Affairs Ministry and the Law and Human Rights Ministry] Tjahjo must also revoke all laws and regulations that accommodate discrimination against the country’s religious minority groups, such as, among other things, the bans on Ahmadiyah as well as a 2006 joint ministerial decree on places of worship,” Hendardi said.

The 2006 joint ministerial decree stipulates that congregation members must secure approval from at least 60 local residents of different faiths and the government-sponsored Regional Interfaith Harmony Forum (FKUB) before establishing a house of worship.

Robert Endi Jaweng, executive director of the Regional Autonomy Watch (KPPOD), specifically called on Tjahjo to keep a close watch on the development of Aceh and Papua, two provinces are that still marred with political instability, as well as economic and security concerns.

“I was hoping that the new home minister would be someone who has experience in governing. But now, we have Tjahjo, a politician. He may face challenges in building communication with special regions, particularly Aceh and Papua, and coordinating with respective ministries to ensure that sufficient funds and the right policies are in place to propel these regions’ development,” he said. (idb)

_
Hasyim Widhiarto contributed to this article
PIC: Tjahjo Kumolo. JP

Posted in Nasional, PerspektifComments (0)

Duet Jokowi JK; Jokowi didesak tuntaskan kasus kebebasan beragama di Indonesia

MENURUT Imdadun ada beberapa contoh kasus yang selama ini terbengkalai selama bertahun-tahun. Misalnya saja kasus warga Ahmadiyah di Nusa Tenggara Barat yang menjadi pengungsi atau nasib penganut Syiah di Sampang, Madura. “Ada beberapa kasus utama yang bisa di-address oleh pemerintah baru. Yaitu kasus kekesaran terhadap warga Ahmadiyah di NTB, begitu juga dengan kasus Syiah, Sampang.

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA – Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) mendesak presiden dan wakil presiden terpilih Joko Widodo-Jusuf Kalla segera menyelesaikan hak atas jaminan kebebasan beragama dan berkeyakinan di Indonesia.

Komisioner Komnas HAM, Imdadun Rahmat, mengatakan pemerintahan Jokowi-JK harus memasukkan program perlindungan hak atas kebebasan beragama dalam program 100 hari pemerintahan mereka.
Imdadun mendesak itu menjadi prioritas pemerintahan Jokowi-JK menyusul kegagalan pemerintahan SBY-Boediono menyelesaikan permasalahan keagamaan di Indonesia.

“Kami menyerukan agar kegagalan itu tidak berulang pada pemerintahan yang akan datang dengan cara memasukkan isu atau tanggung jawab negara untuk pemenuhan penghormatan dan perlindungan HAM menjadi prioritas kalau bisa seratus hari pemerintahan yang akan datang dengan cara membentuk satu panitia khusus yang diberi mandat presiden untuk menyelesaikan masalah yang tidak selesai,” ujar Imdadun saat memberikan keterangan pers di kantornya, Jakarta, Rabu (4/9/2014).

Menurut Imdadun ada beberapa contoh kasus yang selama ini terbengkalai selama bertahun-tahun. Misalnya saja kasus warga Ahmadiyah di Nusa Tenggara Barat yang menjadi pengungsi atau nasib penganut Syiah di Sampang, Madura.

“Ada beberapa kasus utama yang bisa di-address oleh pemerintah baru. Yaitu kasus kekesaran terhadap warga Ahmadiyah di NTB, begitu juga dengan kasus Syiah, Sampang. Juga kasus problem-problem rumah ibadah itu juga harus diselesaikan,” beber Imdadun.

Imdadun menambahkan desakan penyelesaian tersebut sejalan dengan progam visi-misi Joko Widodo-Jusuf Kalla saat kampanye calon presiden dan wakil pesiden.

Penulis: Eri Komar Sinaga
Editor: Willy Widianto

Posted in Nasional, Persekusi, PerspektifComments (0)

Komnas HAM tagih janji Jokowi soal Ahmadiyah

Pertama, memberikan kepastian hukum dengan memberikan perlindungan melalui akses kebenaran, keadilan dan pemulihan bagi korban pengungsian Ahmadiyah di Mataram, pengungsi Syiah Sampang, jemaat HKBP Filadelfia Bekasi, jemaat GKI Yasmin Bogor, jamaah Masjid di Batuplat NTT dan jamaah mushalla di Denpasar, Bali.

Harian Terbit

Jakarta, HanTer – Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) menagih komitmen Joko Widodo (Jokowi) atas penegakan perlindungan dan pemajuan hak beragama, berkeyakinan dan beribadah, yang tertuang dalam visi dan misi Presiden terpilih itu.

“Dalam visi dan misinya Presiden terpilih berkomitmen atas penegakkan HAM, salah satunya perlindungan dan pemajuan atas hak beragama, berkeyakinan dan beribadah, namun patut dimasukkan ke dalam program prioritas kerja nyata di awal pemerintahan baru,” ujar Komisioner Komnas HAM Imdadun Rahmat dalam konferensi pers di Jakarta, Kamis.

Imdadun menyampaikan sedikitnya terdapat lima hal terkait kebebasan beragama, yang patut dipertimbangkan Jokowi dalam program prioritas di kabinetnya.

Pertama, memberikan kepastian hukum dengan memberikan perlindungan melalui akses kebenaran, keadilan dan pemulihan bagi korban pengungsian Ahmadiyah di Mataram, pengungsi Syiah Sampang, jemaat HKBP Filadelfia Bekasi, jemaat GKI Yasmin Bogor, jamaah Masjid di Batuplat NTT dan jamaah mushalla di Denpasar, Bali.

Kedua, mengevaluasi pelaksanaan Peraturan Bersama Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri (PBM) Nomor 8 dan 9 Tahun 2006 tentang Pedoman Pelaksanaan Tugas Kepala Daerah/Wakil Kepala Daerah dalam Kerukunan Umat Beragama, Pemberdayaan Forum Kerukunan Umat Beragama dan Pendirian Rumah Ibadat, karena PBM itu dinilai diskriminatif.

“Pertimbangan kuantitatif dukungan warga dalam pendirian rumah ibadat pada dasarnya hanya memberikan proteksi berlebihan bagi umat mayoritas, sementara kelompok minoritas agama dilanggar,” ujarnya dikutip Antara.

Ketiga, mencabut Keputusan Bersama Menteri Agama, Jaksa Agung dan Menteri Dalam Negeri RI Nomor 3 Tahun 2008 tentang Peringatan dan Perintah kepada Penganut, Anggota dan/atau Anggota Pengurus Jemaat Ahmadiyah Indonesia (JAI) dan Warga Masyarakat, karena kebijakan itu dinilai formal dan substansial bertentangan konstitusi. “Keberadaan SKB itu menjadi pemicu munculnya aksi-aksi kekerasan terhadap kelompok Ahmadiyah di Indonesia,” kata dia.

Keempat, mempertimbangkan pentingnya UU Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan sebagai konsekuensi logis jaminan perlindungan hak atas kebebasan beragama dan berkeyakinan kepada seluruh rakyat, sebagaimana ditegaskan dalam pertimbangan hukum Mahkamah Konstitusi.

Kelima, membentuk Panitia Khusus yang bertugas melakukan penyelesaian kasus-kasus dan pemajuan hak atas kebebasan beragama dan berkeyakinan di Indonesia untuk memastikan dilaksanakannya rekomendasi sebagaimana disebutkan dalam butir satu hingga empat sebagai kebijakan prioritas Presiden terpilih.

Menurut Imdadun hak kebebasan beragama dan berkeyakinan menjadi persoalan yang tidak kunjung diselesaikan. Pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono dinilainya telah gagal menegakkan kebebasan berkeyakinan.

Dia berharap Jokowi tidak mengulangi kegagalan pemerintahan Yudhoyono itu. “Pemerintahan SBY gagal menegakkan kebebasan berkeyakinan. Kami tidak ingin kegagalan ini diteruskan pemerintahan baru, sehingga kami mengusulkan dalam program 100 hari pemerintahan baru agar dimasukkan agenda ini dalam prioritasnya,” ujar dia.

Dia menekankan selama ini terdapat beberapa kasus yang menjadi perhatian nasional dan internasional, yang menunjukkan kegagalan pemerintahan SBY, seperti fakta warga Ahmadiyah di NTB dan Syiah di Sampang yang harus hidup di pengungsian.

“Dua kasus ini potret yang terang benderang bahwa pemerintah gagal menjalankan kewajibannya. Ini kami sebut gagal, karena Komnas HAM sudah berupaya maksimal berkomunikasi dengan Presiden (Yudhoyono), tapi rekomendasi kami tidak dijalankan,” tegas dia.
(Anu)

Posted in Nasional, Persekusi, PerspektifComments (0)

Jokowi didesak selesaikan kasus Syiah & Ahmadiyah

“SBY gagal memulangkan warga Syiah ke Sampang Madura. Tim rekonsiliasi juga tidak jelas juntrungannya. Mereka masih di rumah susun Sidoarjo,” jelas Wakil Ketua SETARA Institute Bonar Tigor Naipospos di kantornya. Bahkan pada pengungsi Ahmadiyah di Mataram pemprov NTB belum memberikan KTP kepada mereka.

Merdeka.com – PRESIDEN terpilih Joko Widodo sudah punya tugas rumah menumpuk. Salah satunya menyelesaikan berbagai konflik antar umat beragama di Indonesia.

SETARA Institute for democracy and peace menganggap beberapa konflik antar umat beragama seperti Syiah belumlah tuntas.

“SBY gagal memulangkan warga Syiah ke Sampang Madura. Tim rekonsiliasi juga tidak jelas juntrungannya. Mereka masih di rumah susun Sidoarjo,” jelas Wakil Ketua SETARA Institute Bonar Tigor Naipospos di kantornya.

Bahkan pada pengungsi Ahmadiyah di Mataram pemprov NTB belum memberikan KTP kepada mereka.

“Mereka mempunyai hak di sana, lahir di sana semuanya hak-hak mereka menjadi terbengkalai,” sambung dia.

Keadaan serupa juga terjadi pada gereja Taman Yasmin Bogor, gereja HKBP Filadelfia sampai masjid Al Misbah di Bekasi.

“Realitas politik memaksa wali kota tidak berani mengambil keputusan yang tegas. Mereka butuh back up dari pusat. Tugas Jokowi berikutnya membackup Bogor dan Bekasi,” tutupnya.

[ian]

Posted in Nasional, Persekusi, PerspektifComments (0)

Bupati Ciamis memperuncing konflik agama di Ciamis

JAMAAH muslim Ahmadiyah di Indonesia (Jemaat Ahmadiyah Indonesia; JAI) terus mendapat tekanan. Kali ini menimpa jamaahnya di Ciamis, Jawa Barat.

Tekanan bukan hanya datang dari massa intoleran, namun juga dari pejabat pemerintah yang mestinya memberikan perlindungan kepada warganya; Bupati Ciamis.

Demikian dikutip dari siaran pers yang diterima Warta Ahmadiyah, Selasa (24/6) pagi, dari Koalisi Pemantau Peradilan Kebebasan Beragama/Berkeyakinan (KPP-KBB) di Jakarta.

Senin, 23 Juni 2014, di Ciamis berlangsung pawai Ta’aruf. Pawai ini berlanjut di Tasikmalaya dan Garut.

Ta’aruf dalam bahasa Indonesia berarti perkenalan. Sekitar 300-an massa Front Pembela Islam meramaikan pawai tahunan ini.

Sangat disesalkan, bahwa dalam pawai ini selain mereka mengusung agenda penyambutan bulan Ramadhan dan deklarasi Capres, FPI juga memiliki agenda khusus, yaitu penutupan Masjid Ahmadiyah Ciamis pada awal pawai.

Agenda ketiga tidak terjadi. Setelah mendapat kabar penutupan masjid itu, jemaah Ahmadi bergegas mengajukan permohonan perlindungan ke Kepolisian Sektor Ciamis.

Beberapa polisi dari Polsek Ciamis termasuk Kapolsek berjaga di Masjid Ahmadiyah. Namun di akhir pawainya, FPI berorasi, berunjukrasa di pendopo, meneriakkan agar Masjid Ahmadiyah Ciamis disegel.

Unjukrasa disambut langsung oleh Bupati Ciamis. Dalam statmennya di depan massa FPI, Bupati Ciamis menyatakan bahwa ia secara pribadi menolak Ahmadiyah.

Ia meminta kepada FPI agar bersabar, sebab untuk melakukan penutupan masjid terdapat prosedur yang harus ditempuh.

Pernyataan Bupati Ciamis itu jelas tidak bisa dikategorikan sebagai statmen pribadi. Namun statmen yang sangat berbahaya dari seorang kepala daerah yang dapat berimplikasi terhadap praktek penyebaran kebencian dan terintimidasinya minoritas Ahmadiyah, terutama di Ciamis.

Pernyataan Bupati Ciamis bukanlah solusi dari kanflik yang ada. Justru sebaliknya akan menyuburkan konflik yang sedang terjadi.

Pernyataan Bupati Ciamis tersebut, sekali lagi, dapat menyulut aksi yang lebih luas dari kelompok intoleran.

Kelompok intoleran merasa mendapat amunisi. Sebagai pelayan masyarakat, seorang Bupati mestinya bersikap dan menunjukkan keseriusannya dalam melindungi warganya yang menghadapi tekanan atau bahaya dari kelompok lain.

Ia harus mampu memberikan jaminan dan perlindungan tiap warganya untuk menjalankan agama atau kepercayaannya masing-masing, sebagaimana diamanatkan oleh Konstitusi UUD 1945.

Sebagai Kepala Daerah, Bupati juga harus menjalankan kewajibannya sesuai dengan UU pemerintah Nomor 32 tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah, yaitu melindungi masyarakat, menjaga persatuan, kesatuan dan kerukunan nasional, serta keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia.

UU nomor 32 tahun 2004 menegaskan pula bahwa dalam menjalankan tugas dan wewenangnya, seorang kepala daerah mempunyai kewajiban untuk memegang teguh dan mengamalkan Pancasila, melaksanakan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 serta mempertahankan dan memelihara keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Sekali lagi, pemakluman Bupati/ pejabat pemerintah melalui pernyataannya (condoning) tersebut, sangat berbahaya dan dapat merusak kerukunan antar umat beragama.

Oleh karena itu Koalisi Pemantau Peradilan Kebebasan Beragama Berkeyakinan [KPP-KBB] mendesak agar:

Bupati Ciamis menghentikan praktek penyebaran kebencian melalui statmen-statmen yang berpotensi merusak kerukunan umat beragama, dan memperuncing konflik yang ada;

Bupati Ciamis menarik kembali statmennya dan meminta maaf kepada Jemaat Ahmadiyah atas statmennya;

Sebagai pejabat pemerintah harus melindungi semua warganya termasuk kelompok minoritas dengan tindakan, sikap, dan kebijakan yang mencerminkan penghormatan terhadap hak asasi manusia;

Kepolisian Resort maupun Sektor Ciamis terus meningkatkan fungsi perlindungan dan pengayoman terhadap kelompok Jemaat Ahmadiyah Ciamis;

Menteri Dalam Negeri memberikan himbauan dan teguran kepada Bupati Ciamis atas pernyataannya, dan agar tidak mengulangi praktek penyebaran kebencian, serta terus berupaya menjaga kerukunan umat beragama.


KETERANGAN:

KPP-KBB lahir dari keprihatinan bersama atas kondisi peradilan yang tidak berpihak pada korban (minoritas) pada kasus-kasus kebebasan beragama/berkeyakinan, pada hari Kamis tanggal 31 Oktober 2013 di Hotel Gren Alia Cikini, Jakarta Pusat, DKI Jakarta.

Dimotori oleh Elsam, sejumlah pekerja HAM dari beberapa organisasi yang selama ini secara masif mengadvokasikan kebebasan beragama/berkeyakinan, memproklamirkan diri membentuk Koalisi Pemantau Peradilan Kebebasan Beragama/Berkeyakinan atau KPP-KBB.

KPP-KBB terdiri dari ELSAM, The Wahid Institut, SETARA Institute, LBH Makassar, LBH Banda Aceh, LBH Bandung, LBH Jakarta, LBH Surabaya, Perkumpulan 6211 Jakarta, CMARs (Center for Marginalized Communities Studies) Surabaya, AMAN Indonesia, Koalisi NGO HAM Aceh, HKBP Filadelfia Bekasi, Lembaga Studi Kemanusiaan (Lensa) NTB, YLBHU Sampang, FAHMINA Cirebon, Lembaga Advokasi dan Pendidikan Anak Rakyat (LAPAR) Sulsel, Serikat Jurnalis untuk Keberagaman (SEJUK) Jakarta, Komisi Nasional Hak Asasi Manusia, Komunitas Tikar Pandan Aceh, dan PELITA Cirebon.


HarapanRakyat.com

Ciamis, (harapanrakyat.com),-

Anggota FPI seusai menggelar orasi di halaman Setda Ciamis. (Foto: Deni Supendi/HR; HarapanRakyat.com)

Anggota FPI seusai menggelar orasi di halaman Setda Ciamis. (Foto: Deni Supendi/HR; HarapanRakyat.com)

MENJELANG Bulan Puasa Ramadhan, ratusan anggota yang tergabung dalam Front Pembela Islam (FPI) Kabupaten Ciamis menggelar pawai (konvoi). Melalui konvoi itu, FPI menghimbau masyarakat Ciamis untuk menghormati bulan suci ramadhan.

Dalam kesempatan yang sama, FPI juga menyambangi Sekretariat Daerah (Setda) Kabupaten Ciamis. di Setda, FPI diterima secara langsung oleh Bupati dan Wabup Ciamis, serta sejumlah pejabat teras.

Saat bertemu pejabat di Setda, FPI yang dikomandani H. Wawan, meminta Pemerintah Kabupaten Ciamis membuat kebijakan yang mengatur tentang pelarangan peredaran minuman keras (miras) sepanjang bulan puasa, dan menutup warung atau rumah makan yang menyediakan makanan saat siang hari di bulan puasa.

“Kami juga meminta Pemkab memberikan larangan kepada jemaah Ahmadiyah yang masih berani menjalankan aktifitas di Ciamis,” seru Wawan. (Deni/R4/HR-Online)


Ciamis, (HarapanRakyat.com),-

Laskar FPI Kabupaten Ciamis saat menggelar aksi di Setda Ciamis. (Foto : Dian Sholeh WP/HarapanRakyat.com)

Laskar FPI Kabupaten Ciamis saat menggelar aksi di Setda Ciamis. (Foto : Dian Sholeh WP/HarapanRakyat.com)

FRONT Pembela Islam (FPI) mendesak kepada pemerintah agar seluruh bentuk kemaksiatan menjelang bulan Rmadhan. Dan agar pemerintah bisa mengeluarkan Perbup tentang minuman keras dan menutup jamaah Ahmadiyah.

Desakan FPI tersebut dalam rangka menghadapi Bulan Suci Ramadan. Selain itu, sebagai upaya untuk menciptakan nuansa ibadah yang nyaman bagi umat muslim. Dengan begitu, umat muslim terbebas dari gangguan-gangguan yang datang dari lingkungan.

Ketua FPI Kabupaten Ciamis, Ustadz Wawan Malik Ridwan, dalam orasinya di depan kantor Pendopo, Senin (23/06), meminta Bupati Ciamis tegas dalam memberikan himbauan tentang pesantren kilat. Masalahnya banyak yang menghiraukan himbauan Bupati.

”Kami ingin Bupati Ciamis tegas, membuat aturan tentang miras, menindak warung-warung yang buka di saat bulan Ramadhan, dan menutup mesjid dan segala bentuk kegiatan Ahmadiyah,” ujarnya.

Sementara itu Bupati Ciamis, H. Iing Syam Arifin, menjelaskan, pada prinsipnya Pemkab Ciamis menyepakati keinginan FPI. Pihaknya mengaku sudah berkumpul dengan Muspida dan membuat surat edaran dalam menghadapi bulan Ramadhan.

Soal pesantren kilat, lanjut Iing, Pemkab akan memonitor pesantren. Menurut dia, sekolah juga bisa membuat kesepakatan (MoU) dengan pesantren tentang penyelenggaraan pesantren kilat. Nanti, bisa kyainya yang datang ke sekolah atau peserta didiknya yang ke pesantren.

”Untuk urusan miras, kita harus membuat program yang panjang dan tidak bisa membuat keputusan sendiri. Dan untuk masalah Ahmadiyah, secara pribadi saya juga menolak. Namun secara aturan jabatan ada prosedur yang jelas, ada beberapa langkah, dan proses hukum yang harus ditempuh,” pungkasnya. (DSW/R4/HR-Online)

Posted in Siaran PersComments (0)

Page 2 of 41234

@WartaAhmadiyah

Tweets by @WartaAhmadiyah

http://www.youtube.com/user/AhmadiyahID

Kanal Youtube

 

Tautan Lain


alislam


 
alislam


 
alislam


 
alislam

Jadwal Sholat

shared on wplocker.com