W3vina.COM Free Wordpress Themes Joomla Templates Best Wordpress Themes Premium Wordpress Themes Top Best Wordpress Themes 2012

Tag Archive | "Setara Institute"

[November 2014] Amnesty International tunggu realisasi komitmen HAM

HukumOnLine.com

Para korban terusir dari kampung, dan tak bisa kembali lagi. Ratusan keluarga masih berada di lokasi pengungsian atau tempat sanak saudara. “Indikator terpenuhinya komitmen Jokowi-JK terhadap HAM itu dapat dilihat jika komunitas Syiah di Sampang dan Ahmadiyah di NTB bisa dipulangkan ke kampung halamannya. Selain itu merevisi semua regulasi yang bertentangan dengan hukum dan HAM internasional,” kata Josef dalam jumpa pers yang digelar Amnesty International di Jakarta, Jumat (21/11).

SABTU, 22 NOVEMBER 2014

Salah satu indikatornya adalah kebijakan pemerintah melindungi dan memenuhi hak-hak korban pelanggaran HAM.

IMPLEMENTASI komitmen pemerintah baru, Jokowi-JK, terhadap penegakan HAM bukan saja dinanti masyarakat Indonesia, tapi juga komunitas internasional. Amnesty International, sebuah organisasi internasional yang membidangi isu HAM, menunggu realisasi komitmen yang disampaikan Jokowi-JK saat kampanye pilpres.

Pengkampanye Amnesty Internasional Indonesia, Josef Benedict, mengatakan realisasi komitmen pemerintah baru di bidang HAM ditunggu banyak pihak, baik di dalam negeri maupun luar negeri. Josef melihat dalam sepuluh tahun terakhir, pelanggaran HAM di Indonesia dengan dalih penodaan agama cenderung meningkat. Amnesty International mencatat sejak 2005 sampai sekarang, tercatat 106 orang diadili dan dijatuhi hukuman menggunakan tuduhan pendonaan agama. Padahal pada masa Orde Baru jumlah yang diadili sangat sedikit.

Josep berharap Jokowi-JK mampu membenahi masalah ini. Indikator yang bisa digunakan adalah melihat pada kebijakan yang dikeluarkan pasangan presiden dan wakil presiden ini. Terutama bagaimana kebijakan pemerintah terhadap korban pelanggaran HAM dalam kasus berbasis agama/keyakinan.

Para korban terusir dari kampung, dan tak bisa kembali lagi. Ratusan keluarga masih berada di lokasi pengungsian atau tempat sanak saudara. “Indikator terpenuhinya komitmen Jokowi-JK terhadap HAM itu dapat dilihat jika komunitas Syiah di Sampang dan Ahmadiyah di NTB bisa dipulangkan ke kampung halamannya. Selain itu merevisi semua regulasi yang bertentangan dengan hukum dan HAM internasional,” kata Josef dalam jumpa pers yang digelar Amnesty International di Jakarta, Jumat (21/11).

Peneliti senior Setara Institute, Bonar Tigor Naipospos, berpendapat masalah kebebasan berkeyakinan dan beragama di Indonesia sangat rumit. Kondisi itu bertambah parah pasca tumbangnya Presiden Soeharto. Setara Institute mencatat sejak 2007-2012 terjadi peningkatan kasus pelanggaran kebebasan berkeyakinan dan beragama secara signifikan. Tahun 2007 tercatat ada 97 kasus dan 2012 terjadi lebih dari 300 kasus.

Maraknya intoleransi, menurut Bonar, ikut dipicu oleh regulasi seperti pasal 165a KUHP dan UU No.1/PNPS/1965 (Penodaan Agama). Oleh karenanya ia mengusulkan agar regulasi itu dicabut atau direvisi. “Ketentuan itu selalu jadi alasan kelompok intoleran untuk menyerang kelompok minoritas,” pungkasnya.

_
Ralat:
Paragraf 6, tertulis:
Maraknya intoleransi, menurut Bonar, ikut dipicu oleh regulasi seperti pasal 165a KUHP dan UU No.1/PNPS/1965 (Penodaan Agama).

Yang benar:
Maraknya intoleransi, menurut Bonar, ikut dipicu oleh regulasi seperti pasal 156a KUHP dan UU No.1/PNPS/1965 (Penodaan Agama).

@Redaksi

Posted in Kemanusiaan, Nasional, PerspektifComments (0)

Kebebasan beragama, warisan SBY, pekerjaan rumah Jokowi

DAFTAR lain, kelompok Ahmadiyah yang sudah hampir delapan tahun terkatung-katung di pengungsian di Asrama Transito Mataram, Nusa Tenggara Barat.

Kompas.com

KOMPAS.com – PRESIDEN Susilo Bambang Yudhoyono telah mengakhiri pemerintahannya dan kini digantikan Presiden Joko Widodo. Bersamaan dengan itu, berbagai masalah lama diwariskan kepada pemerintahan baru, termasuk kasus-kasus pelanggaran kebebasan beragama dan berkeyakinan.

Bagaimana petanya?

”Kami masih mengungsi. Rencana Presiden SBY memulangkan kami sudah mentok,” kata Iklil Almilal (43), juru bicara pengungsi Syiah asal Sampang, di Rumah Susun Jemundo, Sidoarjo, Jawa Timur.

Saat dihubungi dari Jakarta, Rabu (22/10), Iklil bercerita, dulu betapa girang perwakilan pengungsi saat diterima SBY di rumahnya di Cikeas, Bogor, Juli 2013.

Presiden berjanji memulangkan mereka ke Sampang, dan dibentuk tim rekonsiliasi yang dipimpin Rektor Institut Agama Islam Negeri Sunan Ampel Surabaya Abd A’la. ”Pak SBY bilang, insya Allah, bapak-bapak akan kembali ke kampung Lebaran nanti,” kata Iklil menirukan ucapan Presiden SBY.

Namun, hingga masa jabatan Presiden SBY berakhir 20 Oktober 2014, janji itu kandas. Sebanyak 73 keluarga (173 jiwa) kelompok Syiah masih mengungsi. Tak bisa andalkan bantuan makan Rp 709.000 per jiwa per bulan, mereka berjibaku bekerja serabutan. ”Kami kecewa tak bisa pulang kampung untuk bertani dan beternak seperti dulu,” kata Iklil.

Kelompok Syiah terusir dari Desa Karanggayam, Kecamatan Omben, dan Desa Bluuran, Kecamatan Karangpenang, Sampang, akibat serangan massa, 26 Agustus 2012. Kekerasan itu menewaskan satu orang, melukai 10 orang, dan 46 rumah terbakar. Jika dihitung sejak tinggal sementara di GOR Sampang sebelum dipindah ke Rumah Susun Jemundo, dua tahun dua bulan sudah mereka mengungsi.

Terbengkalai

Kisah sedih pengungsi Syiah salah satu dari daftar kasus pelanggaran kebebasan beragama di Indonesia yang terbengkalai selama pemerintahan Presiden SBY.

Daftar lain, kelompok Ahmadiyah yang sudah hampir delapan tahun terkatung-katung di pengungsian di Asrama Transito Mataram, Nusa Tenggara Barat. Begitu pula penyegelan Gereja Kristen Indonesia Yasmin di Bogor, Jawa Barat (berlangsung 5 tahun); izin pendirian masjid di Baluplat, Nusa Tenggara Timur (3 tahun); dan penyegelan Gereja Huria Kristen Batak Protestan Filadelfia di Bekasi (2 tahun).

Saat bersamaan, marak pelanggaran kebebasan beragama dan berkeyakinan, terutama lima tahun terakhir. Berdasarkan laporan The Wahid Institute, ada 121 peristiwa pada 2009. Jumlah ini meningkat jadi 184 peristiwa tahun 2010, 267 peristiwa (2011), dan 278 peristiwa (2012). Tahun 2013, jumlahnya sedikit menurun jadi 245 peristiwa, tetapi kasusnya kian menyebar.

Laporan serupa disampaikan Setara Institute, Maarif Institute, Human Rights Watch, Human Rights Working Group di Indonesia, dan Litbang Kementerian Agama RI. Pelanggaran itu dilakukan aparat negara dan masyarakat. Bentuknya beragam: serangan terhadap kelompok berbeda, pelarangan terhadap aliran yang dicap sesat, pelarangan/penyegelan rumah ibadah, atau kriminalisasi atas nama agama.

Mengapa kondisi itu bisa terjadi pada masa pemerintahan Presiden SBY? Menurut Program Officer The Wahid Institute Alamsyah M Dja’far, pemerintahan saat itu tidak serius menjalankan Pancasila dan UUD 1945 yang menjamin kemerdekaan penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agama dan kepercayaannya.

Pekerjaan rumah

Berbagai kasus yang terbengkalai itu kini menjadi pekerjaan rumah pemerintahan Presiden Joko Widodo. Ketua Badan Pengurus Setara Institute Hendardi meminta Jokowi menangani berbagai kasus pelanggaran, khususnya pengungsi dan eksekusi putusan hukum terkait rumah ibadah.

Presiden Jokowi telah memilih kembali Lukman Hakim Saifuddin sebagai Menteri Agama dalam kabinetnya. Seusai pelantikan, Selasa (29/10), Lukman berjanji menyelesaikan kasus-kasus lama yang terbengkalai itu. ”Kami terus mencari solusi. Karena kompleksitas masalahnya, kami harus uraikan secara utuh. Mudah-mudahan ada jalan keluar,” katanya. (Ilham Khoiri)

Ikuti perkembangan berita ini dalam topik: Indonesia Baru

_
Editor: Sandro Gatra
Sumber: KOMPAS CETAK

Posted in Nasional, PerspektifComments (0)

Australia needs to talk human rights issues with Indonesia

THOSE targeted include Muslim sects such as the Shia and the Ahmadiyah as well as Christians and adherents to nativist beliefs.

The Canberra Times; Andreas Harsono

PRIME Minister Tony Abbott had the opportunity to restart his “more Jakarta, less Geneva” foreign policy when he attended the inauguration of Indonesia’s new president, Joko “Jokowi” Widodo yesterday. Abbott now also has a rare and vital opening to engage on human rights issues.

Such engagement is crucial for Australia to maintain a strong and sustainable bilateral relationship with its northern neighbour. Indonesia’s human rights situation has deteriorated over the decade of Susilo Bambang Yudhoyono’s presidency, and Australia can and should play an important role in encouraging Widodo to act quickly to end increasing abuses.

The alarming rise in religious intolerance and related violence in Indonesia should be a priority in Australia’s engagement with Widodo and his government. Yudhoyono was reluctant to act against Islamist militants who attack religious minorities, or to revise discriminatory regulations. Those targeted include Muslim sects such as the Shia and the Ahmadiyah as well as Christians and adherents to nativist beliefs. According to the Setara Institute, a non-profit think tank monitoring religious freedom, incidents of religious violence increased from 91 cases in 2007 to 220 cases in 2013. Widodo himself has made a good start by stating that he will protect the constitutional rights of the country’s minorities.

Since 1963, successive Indonesian governments have blocked international media form visiting Papua -including Australian media – to allow only those foreign reporters who get special official permission. Two French reporters, detained in Papua since August 6 for “illegal reporting,” are the most recent victims of Indonesia’s Papua censorship obsession.

Widodo visited Papua on June 5 and told reporters that if elected president he would open access to Papua for foreign journalists and international organisations. On October 1, the Australian Senate passed a motion calling for Indonesia to release the two journalists as a sign of Jokowi’s “commitment to a more open” Papua. Abbott should support Widodo’s intention to lift restrictions on foreign journalists from freely reporting in Papua.

The Australian government should also support redress for Indonesia’s many victims of abuses committed by government security forces over the years. Ten years ago, outspoken Indonesian human rights advocate Munir was murdered. Despite evidence implicating Indonesia’s domestic intelligence agency, the masterminds of his killing have evaded justice. Munir is one of many victims of a culture of impunity rooted in Indonesia’s three decades of authoritarian rule where successive Indonesian governments have failed to prosecute the worst offenders or provide redress.

Widodo has publicly committed to investigating the arrest, torture and enforced disappearance of dozens of pro-democracy activists by security forces in the dying months of the Suharto regime. The Australian government should impress upon Widodo that the rule of law requires a meaningful and transparent accounting of all serious abuses.

The Australian and Indonesian governments also have an opportunity to work together to address their mutual failings in respecting international standards of protection for refugees and asylum seekers. In 2013, the Australian government introduced pernicious policies designed to deter asylum seekers, including mandatory offshore processing of asylum seekers arriving by boat, “enhanced screening” or fast-tracked deportations after cursory interviews, and withdrawing government-provided legal assistance to asylum seekers. Australian defence officials charged with the asylum-seeker response now regularly refuse to answer questions from journalists, citing vague “national security” concerns at the expense of the public’s right to information.

The Indonesian government likewise has a dismal record in respecting the rights of migrant and asylum-seekers, including children. Hundreds of migrant and asylum-seeking children are detained every year in sordid conditions, without access to lawyers, and sometimes beaten. Others are left to fend for themselves, without any assistance with food or shelter.

The Australian government should respect its obligations under the 1951 Refugee Convention, which it ratified in 1954. The Indonesian parliament should ratify the convention as soon as possible to ensure that refugees and asylum seekers, including children, receive the convention’s protections.
Addressing Indonesia’s human rights problems demands that President Widodo allocate no small amount of political capital and sustained political will. Abbott can play an important role in the success of those efforts by signalling his support for Widodo’s moves to make universal rights a key part of his administration.

_
Andreas Harsono is Indonesia researcher for Human Rights Watch.

Posted in Nasional, PerspektifComments (0)

New home minister to delve into minority issues

THE Commission for Missing Persons and Victims of Violence (Kontras) recorded 21 bylaws that had been issued by regional governments between 2005 and 2011 to disband any religious activities by members of the Ahmadiyah community, putting the Ahmadis under threat from locals and radical organizations.

The Jakarta Post

Newly appointed Home Minister Tjahjo Kumolo has said that he will scrutinize problems faced by minority groups over the past decade.

The Indonesian Democratic Party of Struggle (PDI-P) politician said that he would make an inventory of what could be categorized as minority problems.

“We will ask [for data] on what has happened in the past decade,” he said on the sidelines of the Cabinet inauguration on Monday at the Presidential Palace.

He added that he would soon summon governors, mayors and regents to hear directions regarding a plan on financial austerity from President Joko “Jokowi” Widodo.

“We will deliver messages from Bappenas [the National Development Planning Board] and the Finance Ministry so that regional heads can understand about the limitation of [the current] state budget and will be able to anticipate [conditions],” said Tjahjo, referring to soaring fuel prices that may push the Jokowi administration to relieve some subsidies to make larger fiscal room for development programs.

Tjahjo, who is currently still serving as PDI-P secretary-general, is among five PDI-P members appointed in the new Cabinet.

A career politician and lawmaker, Tjahjo has never acquired public office before. The nationalistic background of the PDI-P, however, has given hope that he will be able to reform the conservative approach of home ministers from the time of the Susilo Bambang Yudhoyono administration.

Previously, Yudhoyono preferred to give the ministerial post to former military officers or local bureaucrats, which led to violent incidents with religious minority groups.

Human rights watchdogs recorded a rising number of incidents among religious groups during Yudhoyono’s two terms.

The Commission for Missing Persons and Victims of Violence (Kontras) recorded 21 bylaws that had been issued by regional governments between 2005 and 2011 to disband any religious activities by members of the Ahmadiyah community, putting the Ahmadis under threat from locals and radical organizations.

A political analyst from the Indonesian Civilized Circle (Lima), Ray Rangkuti, suggested that Tjahjo would be more open-minded in handling sectarian conflicts compared to his predecessor Gamawan Fauzi.

“Looking at his character and his background as a [PDI-P] politician, I believe that Tjahjo will be more tolerant. He tends to go against mass organizations that often create trouble, such as the Islam Defenders Front [FPI], but he will handle those according to regulations,” Ray said.

Human rights defender Hendardi, who chairs human rights watchdog the Setara Institute, said that the first challenge for Tjahjo would be to end discrimination against minorities like the Ahmadi and Shia groups.

He was referring to the Islamic sect of the Shia community based in Sampang, East Java, whose hundreds of members remain banned from returning home after they were forcibly evicted from their villages when their homes were burned by a group of people claiming to be representatives of the majority Sunni Muslims in August 2012.

Similarly, members of the Ahmadiyah community in Ketapang, West Nusa Tenggara (NTB), have been living in a local shelter after a mob claiming to be members of the Sunni majority attacked and burned their houses eight years ago.

Adding to discrimination imposed on the country’s religious minorities, the GKI Yasmin church in Bogor, West Java, has remained sealed for more than 10 years despite a ruling by the Supreme Court, the country’s highest legal institution, stipulating its legitimacy.

“[Along with the Religious Affairs Ministry and the Law and Human Rights Ministry] Tjahjo must also revoke all laws and regulations that accommodate discrimination against the country’s religious minority groups, such as, among other things, the bans on Ahmadiyah as well as a 2006 joint ministerial decree on places of worship,” Hendardi said.

The 2006 joint ministerial decree stipulates that congregation members must secure approval from at least 60 local residents of different faiths and the government-sponsored Regional Interfaith Harmony Forum (FKUB) before establishing a house of worship.

Robert Endi Jaweng, executive director of the Regional Autonomy Watch (KPPOD), specifically called on Tjahjo to keep a close watch on the development of Aceh and Papua, two provinces are that still marred with political instability, as well as economic and security concerns.

“I was hoping that the new home minister would be someone who has experience in governing. But now, we have Tjahjo, a politician. He may face challenges in building communication with special regions, particularly Aceh and Papua, and coordinating with respective ministries to ensure that sufficient funds and the right policies are in place to propel these regions’ development,” he said. (idb)

_
Hasyim Widhiarto contributed to this article
PIC: Tjahjo Kumolo. JP

Posted in Nasional, PerspektifComments (0)

Menag dituntut tegakkan pluralisme

“MENGINGAT sudah ada kepastian hukum serta berani membuka segel sejumlah masjid Ahmadiyah di beberapa tempat. Kemudian bisa tidak dalam satu tahun ke depan pengungsi Ahmadiyah di Lombok yang sudah 9 tahun. Juga pengungsi Syiah di Sidoarjo yang sudah 3 tahun,” kata Bonar.

Koran Jakarta

KEMBALI diangkatnya Lukman Hakim Saifuddin sebagai menteri agama (menag) membawa harapan baru kehidupan beragama di Tanah Air lebih terjamin. Dalam periode singkat, selama jadi menteri, Wakil Ketua Umum PPP itu telah menunjukkan sosok menteri yang siap berdialog dengan siapa saja. Pekerjaan terberat Lukman sebagai menag adalah memastikan pluralisme di Indonesia bisa tegak kembali dan umat beragama bisa dijamin haknya dalam beribadah sesuai keyakinan dan agamanya.

Wakil Ketua Setara Institute, Bonar Tigor Naipospos, mengatakan itu di Jakarta, Minggu (26/10). Menurut Bonar, selama Lukman menjadi menag harus diakui politisi PPP itu tak seperti pendahulunya, Suryadharma Ali. Lukman membawa perubahan signifikan di Kemenag. “Bukan hanya soal penyelenggaraan ibadah haji, tetapi juga membuka ruang dialog dengan kelompok minoritas yang selama ini mengalami diskriminasi dan tekanan dari kelompok toleran,” kata dia.

Namun, Bonar berharap ada tindakan lebih lanjut dan nyata, tidak sekadar berdialog dan membuka ruang komunikasi, tetapi juga kebijakan serta tindakan nyata melindungi warga negara yang didiskriminasi keyakinannya. Dia pun menantang Lukman apakah berani dalam 100 hari masa kerjanya sebagai menteri bisa memastikan GKI Yasmin bisa melanjutkan pembangunan rumah ibadahnya.

“Mengingat sudah ada kepastian hukum serta berani membuka segel sejumlah masjid Ahmadiyah di beberapa tempat. Kemudian bisa tidak dalam satu tahun ke depan pengungsi Ahmadiyah di Lombok yang sudah 9 tahun. Juga pengungsi Syiah di Sidoarjo yang sudah 3 tahun,” kata Bonar.

Secara terpisah, Sekjen PDIP, Tjahjo Kumolo, yang didapuk menjadi menteri dalam negeri (mendagri) di Kabinet Kerja menilai penunjukannya itu merupakan tanggung jawab yang diberikan oleh partai dan Presiden Jokowi. Pasca dilantik, jabatan sekjen PDIP akan dilepas. Menurutnya, Mega akan menunjuk Plt Sekjen PDIP hingga pelaksanaan kongres tahun depan. “Saya akan fokus untuk tugas-tugas pemerintahan. Ini amanah. Mudah-mudahan dengan pengalaman saya 30 tahun di DPR jadi bekal, dan saya juga pernah di komisi politik dalam negeri, juga pertahanan,” ujarnya.

Tjahjo mengatakan belum belum mengetahui apa yang akan menjadi skala prioritasnya sebagai mendagri. Menurutnya hal itu menunggu arahan dari Presiden Jokowi. “Besok menunggu arahan Bapak Presiden dalam rapat kabinet pertama setelah pelantikan.

Sebagai Amanah

Sementara itu, menteri sosial (mensos) terpilih Khofifah Indar Parawansah mengaku akan bekerja dengan maksimal atas kepercayaan terhadap dirinya. Menurutnya, jabatan menteri merupakan amanah yang harus dipertanggungjawabkan kepada negara dan rakyat.

“Diberi tugas itu amanah, umur itu amanah, rizki itu amanah, dititipi jabatan itu amanah, dan masing-masing amanah ada tanggung jawab, itu dijadikan satu kesatuan,” kata Khofifah di kediamannya, Jalan Pengadegan Timur Raya, Jakarta, Minggu.

“Karena tambah amanah, saya akan bekerja semaksimal mungkin,” sambung mantan Menteri PPA dan Kepala BKKBN era Presiden Abdurrahman Wahid ini.

Mengenai agenda pertama yang akan dilakukan sebagai mensos, Khofifah masih meenunggu pelantikan dan sidang kabinet. “Kita akan menunggu deadline dari Presiden dan besok (Senin, 27/10) akan disampaikan pada saat rapat kabinet. Jadi, garis besar dan program-program kementerian lembaga masih akan menunggu arahan presiden, setelah itu kita diberi kewenangan untuk mem-breakgdown termasuk menyampaikan program-program apa di tiap kementerian, jadi semua menunggu setelah arahan rapat kabinet,” kata Khofifah.

Khofifah menjelaskan arahan tersebut disampaikan langsung oleh Presiden Joko Widodo sebelum pengumuman menteri. “Dalam briefing, tidak boleh menyampaikan program sebelum ada arahan supaya bisa terintegrasi karena masing-masing kementerian lembaga ada titik singgungnya,” tandasnya.

Hal senada juga diucapkan oleh menteri ketenagakerjaan terpilih, M Hanif Dhakiri. Dia menuturkan akan bekerja keras dalam menjalankan amanah sebagai menteri pada pemerintahan Jokowi-JK. “Alhamdulillah, ini semua adalah amanat dari Allah. Semoga kami bisa menjalankan amanah ini dengan baik dan sukses,” kata Hanif.

Mengenai program yang akan dijalankan pasaca terpilih sebagai menteri, Hanif belum bisa memaparkan karena masih menunggu arahan Presiden Jokowi. (ags/har/fdl/N-1)

Posted in Nasional, PerspektifComments (0)

Soal kebebasan beragama, Gamawan diminta tiru Lukman Hakim

Lukman, menurut Bonar, mau membuka forum dialog dengan umat agama minoritas seperti yang dilakukannya kepada penganut Bahai dan penganut aliran Ahmadiyah.

“Lukman Hakim Saifuddin banyak dipuji karena ia berani meluangkan waktu untuk berdialog dengan pihak-pihak penganut agama minoritas. Sekarang masalahnya di Kemendagri, Gamawan Fauzi yang belum buka akses legalitasnya secara administratif,” kata Bonar, di kantor Setara Institute, Bendungan Hilir, Jakarta Pusat, Rabu (27/8/2014).

JAKARTA, KOMPAS.com — Wakil Ketua Setara Institute Bonar Tigor Naipospos mengatakan, Kementerian Agama harus sejalan dengan Kementerian Dalam Negeri untuk mewujudkan Indonesia yang menjunjung tinggi kebebasan beragama dan berkeyakinan. Menurut dia, dua kementerian ini memegang peranan penting dalam pengakuan kelompok minoritas di Indonesia.

Ia mengapresiasi positif langkah yang dilakukan Menteri Agama Lukman Hakim Saifuddin. Lukman, menurut Bonar, mau membuka forum dialog dengan umat agama minoritas seperti yang dilakukannya kepada penganut Bahai dan penganut aliran Ahmadiyah.

“Lukman Hakim Saifuddin banyak dipuji karena ia berani meluangkan waktu untuk berdialog dengan pihak-pihak penganut agama minoritas. Sekarang masalahnya di Kemendagri, Gamawan Fauzi yang belum buka akses legalitasnya secara administratif,” kata Bonar, di kantor Setara Institute, Bendungan Hilir, Jakarta Pusat, Rabu (27/8/2014).

Bonar menambahkan, seharusnya Kemendagri juga memfasilitasi kebebasan beragama dalam aspek legalitas. Kemendagri, dalam pandangan Bona, juga bisa menyinkronkan legalitas tersebut untuk diinstruksikan ke pemerintah daerah. Ia menyayangkan tindakan Gamawan yang justru menyarankan kepada pemeluk agama minoritas untuk memilih salah satu agama yang diakui negara untuk dicantumkan di kartu tanda penduduk.

“Harusnya Gamawan meniru Lukman Hakim yang berpandangan terbuka bahwa negara hanya sebagai fasilitator umat bergama, bukan (negara) yang memberi pengakuan terhadap keberadaan agama,” kata Bonar.

Posted in Nasional, PerspektifComments (0)

Banyak janji Yudhoyono soal HAM ‘tidak terpenuhi’

LEMBAGA pegiat lain seperti Setara institute for Democracy and Peace menggaris bawahi kasus-kasus intoleransi beragama yang tidak juga diselesaikan. Dua di antaranya, menurut Setara, adalah kesulitan beribadah yang dialami oleh jemaat GKI Yasmin di Bogor dan penolakan terhadap pengikut Ahmadiyah [dan juga terhadap pengikut Syiah] di Sampang, Madura.

BBC Indonesia

PRESIDEN Susilo Bambang Yudhoyono hari Jumat (29/08) dijadwalkan akan menghadiri forum global United Nations Alliance of Civilizations di Bali.

SBY rencananya akan memberi sambutan mengenai isu global dan hak asasi manusia sesuai dengan tema forum tersebut “unity in diversity” atau persatuan dalam keberagaman, seperti yang diungkap staf khusus presiden bidang hubungan internasional Teuku Faizasyah.

Perserikatan Bangsa-Bangsa sebagai penyelenggara juga menganggap Indonesia sebagai negara besar, sangat beragam, damai dan cocok untuk menyelaraskan budaya timur dan barat serta Islam dan dunia agama lain, kata Michele Zaccheo, Direktur Pusat Informasi PBB di Indonesia.

Namun masalah hak asasi manusia justru dinilai memburuk selama masa pemerintahan Presiden Yudhoyono dan banyak janjinya terkait HAM tidak terpenuhi, jelas Andreas Harsono, peneliti Indonesia dari organisasi pegiat HAM Human Rights Watch.

“Ketika SBY mulai jadi presiden, dia kan berjanji menyelesaikan masalah-masalah HAM, hak asasi manusia. Yang terkenal kan janji dia soal Munir yah. Menyelesaikan masalah Munir itu kata dia, the test of our history, ujian kita oleh sejarah. Dia juga janji akan membereskan yang lain, ’65, orang hilang dan seterusnya. Ternyata itu semua tidak dia penuhi,” kata Andreas.

Lembaga pegiat lain seperti Setara institute for Democracy and Peace menggaris bawahi kasus-kasus intoleransi beragama yang tidak juga diselesaikan.

Dua diantaranya, menurut Setara, adalah kesulitan beribadah yang dialami oleh jemaat GKI Yasmin di Bogor dan penolakan terhadap pengikut Ahmadiyah [dan juga terhadap pengikut Syiah] di Sampang Madura.

Menanggapi pendapat tersebut, staf khusus presiden bidang hubungan internasional Teuku Faizasyah mengatakan situasi di Indonesia masih lebih baik dibandingkan dengan negara-negara lain.

“Karena justru, kalau kita bandingkan apa yang terjadi di dunia saat sekarang apa yang dilihat sebagai kasus-kasus intoleransi itu, tidak bisa dibandingkan dengan apa yang terjadi di Timur Tengah di kawasan lainnya di dunia. Bahkan apa yang terjadi juga belum lama ini di Amerika Serikat kan cerminan kasus-kasus intoleransi,” kata Teuku Faizasyah.

Harapan pada pemerintah baru

Di lain pihak, tidak banyak yang bisa dilakukan oleh pemerintahan Yudhoyono yang tinggal tujuh pekan lagi. Karenanya Bonar Tigor Naipospos, dari Setara Institute berharap pemerintah yang akan datang dapat memberi solusi terhadap kasus-kasus intoleransi beragama.

“Enam bulan pertama, dia (Jokowi) dapat mengambil langkah konkret misalnya, satu menyelesaikan persoalan GKI Yasmin. Kedua misalnya, mengembalikan fungsi masjid Al Misbah di Bekasi yang disegel oleh pemerintah kota. Kemudian memulangkan pengungsi Syiah yang sekarang ini ada di Sidoarjo ke Sampang,” ujar Bonar.

Bonar juga berharap pemerintah yang akan datang dapat menghapus regulasi dan peraturan pemerintah yang bersifat diskriminatif terhadap kelompok tertentu.

Forum global United Nations Alliance of Civilizations akan berlangsung hingga Sabtu (30/08) dan juga akan dihadiri oleh sekretaris jenderal PBB Ban Ki Moon.

Posted in Nasional, Persekusi, PerspektifComments (0)

Setumpuk kasus kebebasan beragama tunggu Jokowi-JK

“Selanjutnya, Jokowi harus memulangkan pengungsi Ahmadiyah Transito Mataram, serta memberikan layanan paripura atas hak-hak dasar Ahmadiyah Transito.”

SindoNews.com

JAKARTA – Presiden terpilih Jokowi-JK didesak menyelesaikan kasus intoleransi atau kebebasan beragama yang belum pernah tuntas.

“Jokowi-JK harus memulangkan pengungsi Syiah ke Sampang, Madura,” ujar Wakil Ketua Setara Institute Bonar Tigor Naipospos di kantornya, Jalan Danau Gelinggang, Bendungan Hilir, Jakarta, Rabu (27/8/2014).

Menurutnya, hal itu harus menjadi salah satu prioritas Jokowi dalam jangka pendek. Selanjutnya, Jokowi harus memulangkan pengungsi Ahmadiyah Transito Mataram, serta memberikan layanan paripura atas hak-hak dasar Ahmadiyah Transito.

Selain itu, Jokowi juga harus memerintahkan Wali Kota Bogor Bima Arya menjalankan perintah Mahkamah Agung terkait keabsahan pendirian Gereja Taman Yasmin Bogor dan Gereja HKBP Filadelfia Bekasi.

“Jokowi-JK harus membuka segel Mesjid Al Misbah Bekasi,” tuturnya.

Untuk jangka panjang, lanjutnya, Jokowi diminta membentuk gugus tugas pemajuan dan perlindungan kebebasan beragama atau berkeyakinan untuk menangani kekerasan dan pelanggaran kebebasan beragama atau berkeyakinan tidak berpola dan sporadis.

“Mendesain program pendidikan karakter bangsa dengan anggaran yang terintegrasi dan akuntabel,” kata dia.

(kri)

Posted in Nasional, Persekusi, PerspektifComments (0)

Jokowi didesak selesaikan kasus Syiah & Ahmadiyah

“SBY gagal memulangkan warga Syiah ke Sampang Madura. Tim rekonsiliasi juga tidak jelas juntrungannya. Mereka masih di rumah susun Sidoarjo,” jelas Wakil Ketua SETARA Institute Bonar Tigor Naipospos di kantornya. Bahkan pada pengungsi Ahmadiyah di Mataram pemprov NTB belum memberikan KTP kepada mereka.

Merdeka.com – PRESIDEN terpilih Joko Widodo sudah punya tugas rumah menumpuk. Salah satunya menyelesaikan berbagai konflik antar umat beragama di Indonesia.

SETARA Institute for democracy and peace menganggap beberapa konflik antar umat beragama seperti Syiah belumlah tuntas.

“SBY gagal memulangkan warga Syiah ke Sampang Madura. Tim rekonsiliasi juga tidak jelas juntrungannya. Mereka masih di rumah susun Sidoarjo,” jelas Wakil Ketua SETARA Institute Bonar Tigor Naipospos di kantornya.

Bahkan pada pengungsi Ahmadiyah di Mataram pemprov NTB belum memberikan KTP kepada mereka.

“Mereka mempunyai hak di sana, lahir di sana semuanya hak-hak mereka menjadi terbengkalai,” sambung dia.

Keadaan serupa juga terjadi pada gereja Taman Yasmin Bogor, gereja HKBP Filadelfia sampai masjid Al Misbah di Bekasi.

“Realitas politik memaksa wali kota tidak berani mengambil keputusan yang tegas. Mereka butuh back up dari pusat. Tugas Jokowi berikutnya membackup Bogor dan Bekasi,” tutupnya.

[ian]

Posted in Nasional, Persekusi, PerspektifComments (0)

President Yudhoyono’s blind side: Religious violence in Indonesia

THE targets? The many Christian congregations, Shiites and the Ahmadiyah. These groups have become targets of Sunni militant groups who label most non-Muslims as “infidels,” and Muslims who do not adhere to Sunni orthodoxy as “blasphemers.” Even Indonesia’s atheists live in fear of such groups.

Jakarta Globe

Outgoing President Susilo Bambang Yudhoyono broke his long silence on violent religious extremism the other day, describing it in an Aug. 21 interview as “shocking” and “becoming out of control.”

To the dismay of the many Indonesians who have fallen victim to the country’s rising tide of religious intolerance, Yudhoyono’s concerns were not for plight of the country’s besieged religious minorities, but rather a response to the actions of the Islamic State in Iraq and Syria. That group’s well-documented brutality and indications that Indonesians are joining its ranks is certainly cause for worry.

But Yudhoyono’s comments betray a troubling lack of concern about the acts of harassment, intimidation and violence suffered by Indonesia’s own religious minorities from Islamist militants during his decade as president. Instead, Yudhoyono downplayed such incidents in Indonesia by claiming it is “understandable that sometimes there will be conflict between different groups.”

That is more than gross understatement. Indeed, it could summarize the Yudhoyono government’s sorry record in adequately confronting religious intolerance and related violence during his administration. During the last decade, there have been numerous incidents of harassment, threats and violence against religious minorities. Indonesia’s Setara Institute, which monitors religious freedom in Indonesia, documented 220 cases of violent attacks on religious minorities in 2013, an increase from 91 such cases in 2007.

The targets? The many Christian congregations, Shiites and the Ahmadiyah. These groups have become targets of Sunni militant groups who label most non-Muslims as “infidels,” and Muslims who do not adhere to Sunni orthodoxy as “blasphemers.” Even Indonesia’s atheists live in fear of such groups.

The increasing violence against religious minorities — and the government’s failure to take decisive steps against it — does more than put the lie to Yudhoyono’s sunny assessment of Indonesia as a country in which “We respect all religions.” The government’s inaction violates guarantees of religious freedom in the Indonesian constitution and Indonesia’s obligations under the International Covenant on Civil and Political Rights, which Indonesia ratified in 2005.

Indonesia’s Shiite minority has had particular reason to worry in recent weeks. In April, the Anti-Shiite Alliance, a gathering of militant Sunni organizations, attracted thousands to hear speeches advocating “jihad” against the country’s Shiite minority. Among the participants were members of one of the country’s most violent Islamist organizations, the Islamic Defenders Front (FPI). The FPI that day opted for a uniform of black ski masks and camouflage jackets stenciled with the term “Heresy Hunters” to leave no question about their intentions.

But while Yudhoyono frets publicly about the far-away threat of the Islamic State, he and his government have allowed the FPI and kindred groups to carry out violence against religious minorities with near impunity. A June 2008 FPI attack on representatives of the interfaith National Alliance for Freedom of Faith and Religion at the base of the National Monument (Monas) in Jakarta injured dozens. More recently, the FPI forced the closure of an Ahmadiyah mosque in West Java in October 2013 after threatening to burn it down. Rather than confront the FPI, Yudhoyono and his government have chosen to coddle it. On Aug. 22, 2013, Indonesia’s then-religious affairs minister, Suryadharma Ali, opted to make the keynote speech at the FPI’s annual congress in Jakarta at which he praised the group as a “national asset.”

But Yudhoyno’s failure to protect religious freedom goes far beyond his acceptance of the depredations of Islamist thugs. On multiple occasions in recent years, police and government officials have been passively or actively complicit in incidents of harassment, intimidation or violence against religious minorities.

On Feb. 6, 2011, police stood by while a group of some 1,500 Islamist militants attacked 21 members of Cikeusik’s Ahmadiyah community who were holding a prayer meeting in a private home. The militants bludgeoned to death three Ahmadiyah men and seriously injured five others. A court sentenced 12 of the perpetrators to token prison sentences of three to six months. Adding insult to injury, the court also sentenced an Ahmadiyah man to a six-month prison term for merely attempting to defend himself. Police have yet to publicly release the results of their internal investigation into the attack.

Moreover, Indonesian government officials and security forces have often facilitated harassment and intimidation of religious minorities by militant Islamist groups. That includes making explicitly discriminatory statements, refusing to issue building permits for religious minorities’ houses of worship, and pressuring congregations to relocate. Such actions are in part made possible by discriminatory laws and regulations, including a blasphemy law that officially recognizes only six religions, and house of worship decrees that give local majority populations significant leverage over religious minority communities.

Indonesian government institutions have also played a role in the violation of the rights and freedoms of the country’s religious minorities. They include the Ministry of Religious Affairs and the Coordinating Board for Monitoring Mystical Beliefs in Society (Bakor Pakem) under the Attorney General’s Office. Also, the semi-official Indonesian Ulema Council (MUI) has eroded religious freedom by issuing decrees and fatwas (religious rulings) against members of religious minorities and pressing for the prosecution of “blasphemers.”

Yudhoyono will step down as Indonesia’s president in late October, leaving a toxic legacy of rising religious intolerance and related violence.

A key challenge of his successor, Joko Widodo, or Jokowi, will be to take immediate steps to recognize and reverse the malign impact of Yudhoyono’s decade of failure in protecting religious freedom. Prioritizing protection for the country’s religious minorities and a zero-tolerance policy for abuses by Islamist militants will be a vital step toward that goal.

_
Phelim Kine is a former Jakarta-based foreign correspondent and the deputy director of the Asia division at Human Rights Watch.

Posted in Nasional, Persekusi, PerspektifComments (0)

Page 1 of 212

@WartaAhmadiyah

Tweets by @WartaAhmadiyah

http://www.youtube.com/user/AhmadiyahID

Kanal Youtube

 

Tautan Lain


alislam


 
alislam


 
alislam


 
alislam

Jadwal Sholat

shared on wplocker.com