Posted on 12 December 2014. Tags: agama, ahmadi, ahmadiyah, AMAN, anak, BeritaSatu, HAM, Indonesia, Jakarta, kebebasan beragama, Komnas HAM, KTP, NTB, NU, Ombudsman, ORI, pemilu, perempuan, Suara Pembaruan, UK
BeritaSatu.com
Jakarta – Pelayanan publik terhadap kelompok minoritas di Indonesia dinilai masih diskriminatif. Hal itu diutarakan dalam Laporan Tim Gabungan Advokasi untuk Pemulihan Hak-hak Pengungsi Ahmadiyah di NTB yang dilakukan oleh lima lembaga yaitu, Komnas HAM, LPSK, KPAI, Komnas Perempuan, dan Ombudsman.
“Dari sisi pelayanan publik, Ombudsman memastikan kehidupan warga negara yang layak, kalau tidak ada pelayanan kami akan campur tangan,” kata Asisten Senior Ombudsman Dominikus Dallu, di Kantor Ombudsman, Jakarta, Senin (8/12).
Menurutnya, negara belum melaksanakan kewajibannya dalam konteks memberikan pelayanan keamanan bagi setiap warga negara termasuk Ahmadiyah. Salah satu indikatornya adalah lambannya pelayanan Kartu Tanda Penduduk (KTP) yang diberikan kepada kelompok Ahmadiyah di NTB.
“Mereka mendapat KTP saat mendekati pemilu legislatif lalu. Jadi, ketika negara sedang butuh menghadapi pemilu, urusan administrasi mereka dipermudah. Tetapi ketika mereka butuh administrasi, negara mempersulit,” jelasnya.
Dominikus berpandangan, pengungsi Ahmadiyah di NTB memiliki hak mendapatkan pelayanan publik. Baik pelayanan administrasi pendidikan, surat keterangan catatan kepolisian, akte kelahiran, serta kartu-kartu dari program pemerintah.
Komisioner Komnas HAM Jayadi Damanik menjelaskan, perlakuan diskriminatif terhadap kelompok Ahmadiyah dilakukan oleh pejabat publik dan aparat polisi. Kesimpulan dari hasil laporan tim gabungan terhadap 200 pengungsi yang terdiri dari 42 kepala keluarga yang tersebar di daerah Transito dan Praya, NTB sejak 2007 pemerintah diusulkan untuk memasukan temuan-temuan di lapangan sebagai bahan dalam Rancangan Undang-undang Perlindungan Kebebasan Beragama.
Penelusuran tim gabungan juga menemukan, catatan diskriminasi terhadap pengungsi Ahmadiyah berupa gugatan status hukum pernikahan terhadap perempuan yang menikah dengan orang non-Ahmadiyah, ancaman perkosaan, pelecehan seksual, penyerangan, dan pengusiran.
Komisioner Komnas Perempuan Masruchah menyebutkan, perempuan Ahmadiyah kerap mendapatkan pelecehan seksual ketika terjadi intimidasi di rumah-rumah mereka. “Perempuan Ahmadiyah mendapat ancaman kekerasan dan perkosaan saat terjadi penyerangan. Begitu pula dengan anak-anak, yang mendapatkan diskriminasi saat di sekolah harus dikeluarkan dari sekolahnya karena diketahui sebagai warga Ahmadiyah,” katanya.
Selain masalah dalam mengurus KTP akta nikah, kartu keluarga hingga pembedaan rapor siswa warga Ahmadiyah juga dinilai dipersulit.
Penulis: E-11/NAD
Sumber: Suara Pembaruan
Posted in Nasional, Perspektif
Posted on 05 November 2014. Tags: 2014, agama, ahmadi, ahmadiyah, Berita Satu, HAM, Indonesia, islam, Jakarta, Katolik, kristen, Lensa Indonesia, Lukman Hakim Saifuddin, Menag, menteri agama, Suara Pembaruan, Suryadharma Ali, syiah, UK, UU Perlindungan Umat Beragama
“ADA sejumlah persoalan pokok yang dibahas, pertama mengenai perlindungan negara terhadap umat beragama, misalnya terkait dengan kasus Syiah dan Ahmadiyah. Selanjutnya pelayanan negara terhadap rumah ibadah, serta bagaimana sikap negara terhadap agama yang dianut oleh warga negara di luar enam agama resmi kita,” ujarnya.
Lensa Indonesia
LENSAINDONESIA.COM: Kementerian Agama (Kemenag) saat ini sedang merancang Undang-Undang tentang Perlindungan Umat Beragama. Hal itu disampaikan Menteri Agama, Lukman Hakim Saifuddin yang menilai perlunya membuat aturan itu karena sering terjadinya perbedaan pandangan terkait legalisasi agama pada pelayanan negara di ranah formal.
Hingga saat ini, belum ada kesepakatan mengenai cara negara dalam melayani seluruh masyarakat secara legal tanpa mengganggu keyakinan masing-masing. ”Mudah-mudahan rancangan undang-undang (RUU) tentang Perlindungan Umat Beragama ini sudah kelar dalam kurun waktu enam bulan ke depan,” jelas Menteri Agama dalam rilis kepada Lensa Indonesia, Senin (03/11/2014).
Baca juga: Menteri Agama Suryadharma Ali jadi target KPK dan KPK didesak periksa Menteri Agama soal dana haji
Lebih lanjut, Kemenag juga telah menggelar FGD dan Seminar Nasional tentang Pemetaan Masalah Layanan Negara terhadap Umat Beragama. Selain diikuti enam tokoh agama diantaranya Islam, Kristen, Katolik, Hindu, Buddha dan Konghuchu FGD, acara ini juga diikuti para tokoh agama/kepercayaan di luar enam agama tersebut.
Menteri Agama juga mengungkapkan, FGD bertujuan agar peta masalah terkait layanan negara terhadap umat beragama, sekaligus merumuskan alternatif solusi yang bisa dilakukan dalam menyelesaikan persoalan. “Ada sejumlah persoalan pokok yang dibahas, pertama mengenai perlindungan negara terhadap umat beragama, misalnya terkait dengan kasus Syiah dan Ahmadiyah. Selanjutnya pelayanan negara terhadap rumah ibadah, serta bagaimana sikap negara terhadap agama yang dianut oleh warga negara di luar enam agama resmi kita,” ujarnya.
Pihak Kemenag berharap nantinya semua aspirasi agama dan kepercayaan di Indonesia dapat diakomodir. Selain itu, kualitas kehidupan umat beragama juga ditargetkan bisa lebih baik.
Ditambahkan Menteri Agama, terkait meningkatnya gejala faham radikal yang memanfaatkan isu-isu agama, Kemenag juga akan membuat program deradikalisasi pendidikan keagamaan. Salah satunya dengan membuat dan menerbitkan Tafsir-Tafsir Tematik.
“Tema-tema tentang kerukunan, cinta tanah air, keragaman dan lain sebagainya, dengan berbasiskan pada penafsiran ayat Al-Qur’an. Dengan cara ini, kita ingin mengimbangi proses radikalisasi untuk kemudian memperkuat pemahaman umat beragama dengan paham keagamaan yang lebih baik,” tukas kader PPP ini.@sarifa
_
JAKARTA; “Kerukunan umat beragama secara umum, kata Lukman juga wajib disyukuri.” Berita Satu (mengutip Suara Pembaruan)
Posted in Nasional, Perspektif
Posted on 16 August 2014. Tags: 2014, agama, Agustus 2014, ahmadi, ahmadiyah, Berita Satu, BeritaSatu, FPI, ICRP, Indonesia, interfaith, islam, Jakarta, Jawa Barat, jawa tengah, Jawa Timur, Juni 2014, kebebasan beragama, kristen, Mataram, menteri agama, Setara Institute, Suara Pembaruan, syiah, UCAN Indonesia, UK
Suara Pembaruan
[JAKARTA] Setara Institute mempublikasikan laporan tengah tahun (Januari-Juni 2014) tentang kondisi kebebasan beragama di Indonesia. Laporan ini menunjukkan pelanggaran terhadap kebebasan beragama memperlihatkan tren menurun.
Direktur Riset Setara Institute, Ismail Hasani, menjelaskan dibanding periode yang sama pada dua tahun terakhir, kasus pelanggaran di tahun 2014 lebih jauh menurun. Pada semester pertama di 2012 tercatat 120 peristiwa dengan 168 tindakan. Sedangkan tahun 2013 terjadi 122 peristiwa dengan 16 tindakan.
Pada tahun 2014 tercatat 60 peristiwa dengan 81 bentuk tindakan yang menyebar di 17 provinsi. Misalnya tindakan pembiayaran, bila pada tahun lalu sebanyak 12 kasus, menurun menjadi 4 kasus di tahun ini. Penyegelan tempat ibadah juga menurun dari 11 kasus menjadi 2, sedangkan tindakan intoleransi dari 19 ke 13.
Sebagian besar kasus tahun 2014 terjadi di Jawa Barat (19), lalu menyusul Jawa Tengah (10 kasus), Jawa Timur (8 kasus), dan sisanya tersebar di daerah lainnya. Dari 81 tindakan itu terdapat 34 tindakan yang melibatkan para penyelenggara negara sebagai aktor utama. Masih seperti biasanya, kepolisian adalah institusi negara yang paling banyak melakukan pelanggaran.
“Tindakan yang melibatkan aktor negara itu antara lain 30 tindakan aktif atau by commission, pembiaran atau by omission, dan pernyataan pejabat publik yang provokatif dan mengundang terjadinya kekerasan atau condoning,” kata Ismail saat konferensi pers, di Jakarta siang ini, Senin (11/8).
Sementara itu, kelompok yang paling banyak melakukan pelanggaran berturut-turut, adalah kelompok warga 22 tindakan, Front Pembela Islam (FPI) 5 tindakan,n dann Forum Umat Islam (FUI) 4 tindakan. Pelanggaran kebebasan beragama ini paling banyak menimpa aliran keagamaan, umat Kristen, Ahmadiyah, dan Syiah.
Dijelaskan Ismail, hingga kini penyebab terjadinya pelanggaran itu belum diatasi oleh aktor negara. Misalnya, pembiaran produk hukum diskriminatif, kriminalisasi korban pelanggaran, pembiaran pelaku kekerasan menikmati impunitas dan imunitas karena tidak diadili secara serius. Juga pembiaran berbagai provokasi yang terus menebar kebencian terhadap kelompok agama atau keyakinan rentan lainnya.
Meskipun mengalami penurunan, Menteri Agama Lukman Hakim diminta untuk terus mendorong kondisi yang kondusif guna mencegah terjadinya kasus pelanggaran beragama dan berkeyakinan.
“Meskipun tinggal menghitung hari, Lukman Hakim harus membuat langkah konstruktif sebagai legasi Kementerian Agama maupun bagi dirinya sendiri. Di antaranya memulangkan pengungsi Ahmadiyah Transito Mataram atau paling tidak memenuhi hak-hak dasar mereka, seperti kesehatan, pendidikan, dan pekerjaan yang layak,” kata Bonar Tigor Naipospos, Wakil Ketua Setara Institute. [D-13/N-6]
_
Berita lain/serupa:
Suara Pembaruan
BeritaSatu
UCAN Indonesia
ICRP
Posted in Nasional, Perspektif, Rabthah