W3vina.COM Free Wordpress Themes Joomla Templates Best Wordpress Themes Premium Wordpress Themes Top Best Wordpress Themes 2012

Tag Archive | "ORI"

imamimtiaz-3-imam-ahmadiyah-ottawa

Imam Ahmadiyah Ottawa Menganjurkan Sebaiknya Kartun Satir tentang Agama Ilegal

Imam Ahmadiyah Ottawa mengecam serangan teroris terhadap surat kabar mingguan Paris yang menewaskan 12 orang, tetapi ia mengatakan kartun satir tokoh agama seharusnya ilegal.

Imtiaz Ahmed, imam Jamaah Muslim Ahmadiyah Ottawa mengatakan seharusnya mempublikasikan kartun yang menggambarkan tokoh agama dengan cara menghina adalah tindakan melanggar hukum.

“Tentu saja kami membela kebebasan berbicara, tetapi harus seimbang. Harus ada batas. Harus ada kode etik, “kata Ahmed.

“Kami percaya bahwa setiap jenis ekspresi vulgar tentang orang suci agama apapun bukanlah merupakan kebebasan berbicara sama sekali.”

Ahmed mengatakan harus ada batasan ditempatkan pada kebebasan berbicara untuk mencegah publikasi materi yang menyinggung. Dia mengatakan bahwa menjadi kasus bila itu berkaitan dengan Holocaust. Masyarakat umum mencela orang-orang yang mengatakan Holocaust tidak pernah terjadi.

“Kami tidak ingin masyarakat Yahudi disakiti oleh sentimen ini,” kata Ahmed.

Ahmed mengatakan hasil karya majalah satir Charlie Hebdo, yang mengancam berupa karikatur Nabi Muhammad, telah menyinggung dan berdasarkan atas kebohongan yang telah “membajak agama Islam.”

Alih-alih memperhatikan beberapa “orang yang mengalami gangguan” yang telah melakukan serangan teroris, fokus harus tetap pada umat Islam yang damai, kata Ahmed.

Jamaah Muslim Ahmadiyah telah menentang ilustrasi tersebut di masa lalu dengan cara damai. Ahmed mengatakan anggota jamaah ahmadiyah pergi ke universitas untuk mengedukasi siswa tentang Nabi Muhammad. Ia juga terlibat dalam kampanye yang disebut “Stop The Crisis” untuk menangani radikalisasi pemuda Muslim.

“Tindakan mereka (Charlie Hebdo) sangat menyinggung, tapi satu hal yang harus saya katakan: tidak ada satu ayat pun Nabi saw yang mengijinkan seorang Muslimm main hakim sendiri dan melakukan kejahatan mengerikan terhadap kemanusiaan,” kata Ahmed. “Kami mengutuk itu.

Posted in MancanegaraComments (0)

ahmadiyah-nigeria

Ahmadiyah Nigeria menghasilkan 2 profesor, PhD, dan 4 penghargaan tertinggi

Jamaah Muslim Ahmadiyah Nigeria diakui statusnya sebagai perintis jawara pendidikan Barat dan sekuler di Nigeria dengan menghasilkan dua Profesor di Ilmu Hewan dan Farmakologi Klinik, dua Ph.D Hukum Islam dan Yayasan Pendidikan, tujuh lulusan Master, dan empat peraih First Class Honours bidang Matematika, Biokimia, Antropologi, Fisiologi Tanaman dan Produksi Tanaman di empat universitas Nigeria.

Universitas-universitas tersebut adalah Universitas Ibadan, Ilorin, Lagos, Universitas Obafemi Awolowo University, Universitas Federal Pertanian, Abeokuta, Lagos negara Univeristas, Ladoke Akintola, Universitas Pendidikan Tai Solarin, Universitas Al-Hikmah, Universitas Ilorin dan Babcock, Ilishan Remo.

Dua Profesor tersebut adalah Profesor Abdul Rahman Abdullah, Ilmu Hewan, Universitas Bbacock dan Profesor Abdul Fatah Fehintola bidang Farmakologi Klinik, Universitas Ibadan. Dr (Barrister) Owoade Abdul Lateef mengantongi Ph.D Hukum Islam dan Dr Basirat Dikko mengantongi Ph.D-nya bidang Yayasan Pendidikan dari Universitas Lagos. Dua perempuan mengantongi gelar bidang Kedokteran dan Pembedahan.

Penghargaan pendidikan adalah bagian dari pertemuan tahunan ke-63 Jamaah Muslim Ahmadiyah Nigeria yang diadakan di Ilaro, Ogun baru-baru ini.

Pimpinan Jamaah Muslim Ahmadiyah Nigeria Dr Mashuud Fasola dengan gembira mengatakan organisasi Islam ini memutuskan untuk memberikan penghargaan akademik kepada anggota untuk mendukung beasiswa dan pengembangan pendidikan di Nigeria, saat dimana pendidikan tidak mendapat tempat kebanggaan pada pertumbuhan Bangsa.

Posted in MancanegaraComments (0)

jalsah-salanah-qadian-ahmadiyah-2014

Penutupan Jalsah Salanah Qadian 2014

Press Ahmadiyya. Hazrat Mirza Masroor Ahmad berpidato di depan 24.000 hadirin yang berada di Qadian dan London.</>

Pemimpin dunia Jamaah Muslim Ahmadiyah, Khalifah Kelima, Yang Mulia Hazrat Mirza Masroor Ahmad menutup pertemuan tahunan (Jalsah Salanah) ke-123 Jamaah Muslim Ahmadiyah di Qadian, India pada Minggu 28 Desember, 2014 dengan pidato yang menginspirasi iman dan mengesankan.

Yang Mulia berpidatao pada sesi terakhir melalui sambungan satelit dari Masjid Baitul Futuh, London. Lebih dari 18,700 orang yang mewakili 37 negara, menghadiri Jalsah di Qadian , sementara lebih dari 5.400 orang berkumpul di London untuk menyaksikan pidato penutupan. Konvensi tahunan juga berlangsung akhir pekan ini di Pantai Gading, Nigeria, Senegal dan Pantai Barat Amerika.

Dalam pidatonya, Yang Mulia berbicara tentang bagaimana ajaran Islam sedang terdistorsi oleh kelompok-kelompok teroris dan ekstremis di seluruh dunia. Dengan tegas beliau mengutuk segala bentuk ekstremisme dan mengatakan bahwa Jamaah Muslim Ahmadiyah terus-menerus terlibat dalam menyebarkan pesan Islam yang damai.

Huzur mengatakan bahwa pertemuan tahunan juga sebagai sarana untuk memperlihatkan ajaran Islam yang benar.

Hazrat Mirza Masroor Ahmad mengatakan:

“Di mana di satu sisi pertemuan tahunan merupakan sarana bagi Muslim Ahmadi untuk meningkatkan pengetahuan dan spiritualitas religius mereka, ini juga sarana untuk menampilkan ajaran Islam yang indah dan karakter sejati Nabi Muhammad (saw) kepada dunia. “

Hazrat Mirza Masroor Ahmad melanjutkan:

“Islam merupakan agama dengan ajaran mengenai perdamaian, saling mencintai dan keadilan yang tiada bandingnya. Maka sebagai duta dari Mesias Muhammadi (saw) adalah tugas kita untuk menyebarkan ajaran-ajaran ini ke seluruh penjuru dunia. “

Hazrat Mirza Masroor Ahmad mengatakan bahwa Muslim Ahmadi menjadi sasaran kelompok teroris dan ekstrimis. Beliau mengatakan dengan sedih baru sehari sebelumnya, seorang pemuda muslim ahmadi telah syahid di Gujranwala, Pakistan. Huzur mengatakan bahwa Muslim Ahmadi menjawab semua provokasi dan kebencian hanya dengan kedamaian dan doa karena inilah yang sesuai dengan ajaran Islam yang benar.

Beliau melanjutkan bahwa dalam bagian awal Al-Qur’an, Allah telah menyatakan bahwa Dia adalah ‘Tuhan Semesta Alam’ dan dengan demikian Dia adalah Tuhan dari semua orang dari semua keyakinan. Dengan demikian, tidak mungkin seorang Muslim sejati untuk menunjukkan apa pun selain simpati untuk semua umat manusia.

Hazrat Mirza Masroor Ahmad mengatakan:

“Kita harus membangun standar yang sangat tinggi untuk kasih sayang bagi seluruh umat manusia. Cinta untuk setiap orang harus memancar keluar dari hati kita seperti air menyembur dari air mancur. Kita harus merawat mereka yang sakit atau mereka yang hatinya sakit karena sedih. Hanya dengan demikian kita dianggap perwakilan Islam yang sebenarnya. “

Huzur menegaskan bahwa kebebasan berkeyakinan dan beragama adalah prinsip dasar ajaran Islam. Beliau mengutip langsung dari Al-Qur’an untuk membuktikan bahwa Islam tidak mengizinkan hukuman bagi orang murtad dan dia juga menolak tuduhan yang sepenuhnya palsu bahwa Islam disebarkan dengan pedang. Beliau mengatakan bahwa sejarah membuktikan bahwa Islam mencapai negara-negara seperti Afrika, Cina, Eropa, India dan bagian lain dunia melalui cara-cara dakwah yang damai.

Huzur juga menceritakan kunjungan sebelumnya ke Spanyol pada tahun 2013, ketika ia mengunjungi bagian Spanyol di mana umat Islam telah mencari perlindungan selama mungkin setelah diusir dari bagian lain negara tersebut. Huzur mengatakan ia telah bertemu dengan seorang akademisi Kristen yang mengatakan bahwa umat Islam harus merebut kembali Spanyol.

Sebagai tanggapan Hazrat Mirza Masroor Ahmad mengatakan:

“Tentu saja, suatu hari kita akan merebut kembali tanah dimana umat Islam pernah diusir secara paksa, tapi kami tidak akan melakukannya dengan mengacungkan pedang atau melalui kekerasan atau teror. Sebaliknya, kita akan merebut kembali melalui kekuatan cinta dan hanya cinta. “

Huzur mengecam acara terbaru yang disiarkan televisi GEO di mana beberapa orang yang disebut ulama berusaha secara terbuka menghasut kebencian terhadap Jamaah Muslim Ahmadiyah. Dia mengatakan bahwa para ulama melakukannya untuk mengalihkan kesalahan atas terorisme Pakistan dari teroris yang sebenarnya.

Huzur menutup pertemuan tahunan dengan berdoa untuk seluruh dunia dan menegaskan kembali komitmen Jamaah Muslim Ahmadiyah untuk menyebarkan perdamaian.

Hazrat Mirza Masroor Ahmad mengatakan:

“Kita Muslim Ahmadi setelah menerima Hadhrat Masih Mau’ud, berjanji untuk selamanya memberikan contoh ajaran Islam yang sejati. Ini adalah misi kita untuk menyebarkan perdamaian, cinta, kasih sayang dan rekonsiliasi di setiap tingkatan masyarakat dan di seluruh penjuru dunia. Kita tidak akan berhenti sampai segala bentuk kebencian telah berubah menjadi cinta dan kasih sayang. “

Pertemuan tahunan ditutup dengan doa yang dipimpin oleh Hazrat Mirza Masroor Ahmad di mana ia meminta Muslim Ahmadi untuk berdoa bagi perdamaian dunia dan berakhirnya segala bentuk ekstremisme dan terorisme. Dia berdoa untuk berakhirnya krisis Ebola di Afrika dan juga berdoa agar tahun baru membawa kebahagiaan dan kesejahteraan bagi Muslim Ahmadi di seluruh dunia.(NAN)

Posted in MancanegaraComments (0)

geo-tv-pakistan

GEO TV Pakistan memberikan klarifikasi dan meminta maaf tentang tayangan anti-ahmadiyah

Ahmadiyya Times. Jurubicara Geo TV hari ini memberikan klarifikasi bahwa komentar para tamu dalam acara yang ditayangkan Subh-e-Pakistan pada 22 Desember telah melanggar kode etik. Jurubicara mengatakan bahwa sulit untuk mengontrol setiap pembicara dimana mereka memiliki pemikiran masing-masing.

Dia Menambahkan bahwa jaringan Geo meyakini toleransi dan selalu mempromosikan harmoni diantara berbagai golongan. Kontroversi komentar anti-Ahmadiyah yang berlangsung selama acara religi tersebut yang dipandu oleh Amir Liaquat Hussain telah mengakibatkan perdebatan.

Jurubicara Geo selanjutnya meminta maaf atas segala konten yang menyinggung dan berkata bahwa kebijakan stasiun televisi tetaplah konsisten dengan aturan Pakistan Electronic Media Regulatory Authority.

Posted in MancanegaraComments (0)

‘Time of Tolerance’ may be coming to end in Indonesia

Jakarta Globe

Politics of Peace: Focus on national elections has been touted as the cause behind decreased religious violence in 2014

By Kennial Caroline Laia on 12:14 am Dec 29, 2014

Jakarta. The absence of major cases of violence stemming from religious intolerance in Indonesia this year by no means indicates that the issue has been resolved. Observers noted that political euphoria during Indonesia’s election year has diverted many sentiments of intolerance to the political arena, while poor law enforcement is still considered a main culprit behind lingering, if not growing intolerance.

Islamic scholar Azyumardi Azra said the condition of religious tolerance in Indonesia this year was better than last year in that there were no major cases as had been recorded in previous years.

“Overall, this year is much better than last year. Public tolerance has improved. There’s no big case we should be alarmed of,” Azyumardi told the Jakarta Globe last week.

The history professor from Syarif Hidayatullah State Islamic University, however, scrutinized the intense use of religious sentiment during the elections, for both the legislative elections on April 9 and the presidential race on July 9.

“One thing that must be highlighted this year is the utilization of religion as political means during presidential campaigns,” he said, referring especially to rampant smear campaign against candidate Joko Widodo, who has become Indonesia’s seventh president.

Joko, a Javanese-born Muslim, was called a Chinese Christian, a missionary, a Zionist underling and a communist agent, among other things, in smear messages circulating freely via text messages, chat services and social media platforms among Indonesian voters.

Azyumardi said it was luck that although many voters might have been swayed by the smears, none were inspired to commit violence.

“Fortunately, [the use] of religious sentiments appear to have had no significant effect on voters in that they didn’t ignite violence,” he said.

Muhammad Nurkhoiron, a commissioner with the National Commission on Human Rights, better known as Komnas HAM, said the election festivities rendered religious intolerance issues abandoned this year, resulting in no significant progress being made to address the problem.

“In 2014, no specific policy has been made to ensure better minority protection because of focus on the electoral process between April and July,” Nurkhoiron said last week.

He called efforts to improve religious tolerance in Indonesia a “stagnant” process.

“There are still rallies on minorities’ places of worship, hate speeches in social media and even public demonstrations against a Chinese Christian government official.”

He was referring to Jakarta Governor Basuki Tjahaja Purnama, formerly deputy governor to Joko, whose ascent to the top job in the capital was marked with rallies by hard-line groups such as the Islamic Defenders Front (FPI) who objected to predominantly Muslim Jakarta being ruled by a Christian governor.

Among cases of religious intolerance that made media headlines in Indonesia this year are an FPI attack against members of the minority Islamic sect Ahmadiyah in Ciamis, West Java in June; the ban on hijab in a number of schools in predominantly Hindu Bali; and the attack on a house hosting a Catholic mass in Yogyakarta in May.

Nurkhoiron said radical mobs especially had been encouraged to keep launching attacks against the minority due to poor law enforcement. Even in the absence of a law specifically guaranteeing the right to religious freedom for minorities, any cases of violence and assaults should be considered crimes, in line with the Criminal Code.

“The police must protect the people, both from the minority and the majority. Sadly, the police often take side with the majority,“ he said.

Nurkhoiron added the intolerance and violence cases were often encouraged or aggravated by some regulations, as well as fatwas issued by local ulema, such as edits of the Indonesian Council of Ulema, or MUI.

Hard-line groups such as the FPI have based their violent protests against the Ahmadist on an edict issued by the MUI in 2005 that read: “Ahmadiyah isn’t part of Islam. It is deviant and misleading. Therefore, people who adhere to the religion are infidels.”

“An edict isn’t a law product but is a social product created by and applied for certain communities. Should the edict violate the existing and official laws, it is the task of law enforcers to warn people [against the edict],” he said.

The Jakarta Globe attempted to contact MUI chairman Din Syamsuddin for comment, but he didn’t return the Jakarta Globe’s calls and text messages.

An outdated, but still often used decree issued by Indonesia’s first president Sukarno in 1965 is another example of discriminatory regulations against Muslims who have different interpretations on Islam from the mainstream Muslim communities, Nukhorison added.

Despite the little progress, he said 2014 offered a ray of hope.

“The religious minister this year has given a green light to support minority groups. We are waiting for [the realization],” Nurkhoiron says.

Religious Affairs Minister Lukman Hakim Saifuddin last week said the ministry was drafting a bill on religious tolerance that would guarantee one’s right to freedom of religion, including protection of minority religious groups.

Earlier in July, Lukman won praise from rights activists and minority groups as he said he recognized Baha’i as a faith, although he later clarified that it was his personal opinion, not a policy of the government.

Indonesia recognizes six official religions: Islam, Protestantism, Catholicism, Buddhism, Hinduism and Confucianism.

Haris Azhar, coordinator of the Commission for Missing Persons and Victims of Violence (Kontras), emphasized the need for real actions in the form of law enforcement against those who commit violence on behalf of religion.

“So far, there haven’t been real actions made by the government to address intolerance cases in many areas in Indonesia. Although there has been statement from the minister, I’m afraid it could be no more than a saccharine promise,” Haris said.

“The government often forgets that intolerance cannot be addressed by mere stack of papers consisting of regulations. No matter how many laws you propose, without firm actions by from law enforcers, there will still be groups that commit violence on behalf of religion.”

He further added that the drafted bill would be useless if the government did nothing to revoke bylaws that were against the spirit of the bill.

Bylaws in several regions in Indonesia have been subject to rights activists’ criticism because they are considered discriminatory, most notably in Aceh, the only province in Indonesia allowed to adopt the sharia bylaw following its history of secessionist rebellion.

Azyumardi added it was also imperative for the government to take proactive measures to prevent religious-based violence by bridging the gap between interfaith communities in Indonesia.

“We must consolidate our democracy locally. If not, people will get more fragmented and more violence are likely to happen,” Azyumardi says.

Meanwhile, members of GKI Yasmin congregation in Bogor remained unable to hold a Christmas service inside their church on Thursday. This is the fifth year that they have been unable to hold Christmas service in the church since it was sealed by local authorities in 2010.

GKI Yasmin obtained a permit to open a church in Bogor in 2006, but the permit was later revoked by the municipal government following pressure from local hard-line Islamic groups.

A Supreme Court ruling later overruled the local authority decision, compelling the Bogor administration to reopen the church, but even the new Bogor mayor, Bima Arya Sugiarto, who was elected last year, has refused to comply.

Posted in Nasional, Persekusi, PerspektifComments (0)

PEMANTAUAN KEBIJAKAN HAM kota peduli HAM: Keterlibatan masyarakat dan pemerintahan daerah untuk memajukan dan melindungi hak asasi manusia

Pemerintahan Wonosobo, misalnya, menangani secara khusus serta melindungi kelompok Syiah dan Ahmadiyah di wilayahnya, dimana pemerintahan kabupaten/kota lainnya seakan membiarkan diskriminasi yang terjadi terhadap kedua kelompok tersebut. Sementara pemerintahan kota Palu, melalui Walikotanya meminta maaf kepada para korban peristiwa 1965 untuk merintis upaya rekonsiliasi antara korban dan pelaku peristiwa 1965 di wilayahnya. Selain meminta maaf, Walikota Palu juga menangani secara khusus kepada korban peristiwa 1965 dengan mengeluarkan kebijakan kesehatan gratis bagi korban peristiwa 1965.

 

ELSAM

Rabu, 10 Desember 2014

Oleh: Ari Yurino

Bertepatan dengan Hari HAM Sedunia, yang jatuh pada tanggal 10 Desember, Kementerian Hukum dan HAM memberikan penghargaan kepada sejumlah Kota/Kabupaten Peduli HAM 2014 yang digelar di Kantor Kemenkum HAM. Penghargaan Kota/Kabupaten Peduli HAM 2014 tersebut diberikan langsung oleh Menteri Hukum dan HAM Yasonna Laoly kepada 55 Kota/Kabupaten yang peduli terhadap HAM di wilayahnya masing-masing.[1]

Pemberian Kabupaten/Kota Peduli HAM yang diberikan oleh pemerintah tersebut telah dicanangkan dalam Peraturan Menteri Hukum dan HAM Nomor 11 Tahun 2013 tentang Kriteria Kabupaten/Kota Peduli Hak Asasi Manusia dan Peraturan Menteri Hukum dan HAM Nomor 25 Tahun 2013 tentang Perubahan Permenkumham Nomor 11 Tahun 2013 tentang Kriteria Kabupaten/Kota Peduli HAM. Dalam Permenkumham tersebut ada beberapa kriteria penilaian yang ditetapkan, antara lain: 1) Hak hidup; 2) Hak mengembangkan diri; 3) Hak atas kesejahteraan; 4) Hak atas rasa aman; 5) Hak atas perempuan[2]

Sejak diberlakukannya Permenkumham tersebut, pemerintah memberikan penghargaan kepada sejumlah Kota/Kabupaten yang peduli terhadap HAM. Di tahun 2013, 19 Kota/Kabupaten memperoleh penghargaan tersebut. Sementara di tahun 2014, Kota/Kabupaten yang memperoleh penghargaan tersebut meningkat tajam menjadi 56 Kota/Kabupaten.

Data di atas menunjukkan adanya lonjakan yang tinggi dari pemerintah kota/kabupaten untuk memenuhi kriteria Permenkumham dalam penghormatan, perlindungan dan pemenuhan HAM. “Greget pemerintah daerah sangat tinggi untuk menciptakan kota/kabupaten ramah HAM,” kata Direktur Kerja Sama Kementerian Hukum dan HAM Arry Ardanta Sigit dalam Konferensi Nasional Human Rights Cities di Jakarta, 9 Desember 2014.

Menurutnya penghargaan tersebut untuk memacu pemerintah Kabupaten/Kota agar mengimplementasikan beberapa hal, yaitu 1) Rencana Aksi Nasional Hak Asasi Manusia (RANHAM); 2) Strategi Nasional Akses terhadap Keadilan; 3) Three Plus Track yang mencakup Pro; Poor, Job, Growth, Justice, and Environment; serta, 4) pelaksanaan Millenium Development Goals (MGDs).

Pemerintah memang telah memiliki program nasional Rencana Aksi Nasional Hak Asasi Manusia (RANHAM), yang diikuti dengan pembentukan panitia RANHAM hingga tingkat kabupaten/kota. RANHAM menjadi semacam pedoman bagi pemerintah, termasuk pemerintah daerah, untuk meningkatkan penghormatan, pemajuan, pemenuhan dan perlindungan HAM. Namun evaluasi dari masyarakat sipil menunjukkan kelemahan dalam pelaksanaannya. Dari 103 program RANHAM 2004-2009, hanya 56 program saja yang berjalan. Lainnya terhambat karena kurangnya dorongan politik mulai dari birokrasi lintas departemen sampai dengan pemerintah daerah, minimnya kecakapan panitia RANHAM di daerah, hingga perencanaan yang tidak disertai dengan penganggaran[3]. Hal yang sama juga terjadi pada RANHAM 2011-2014 yang dirasa masih banyak kelemahan substansial dan lemahnya pemahaman panitia RANHAM mengenai program RANHAM.[4]

Sementara terkait penilaian kabupaten/kota yang peduli HAM menurut pemerintah juga dinilai bermasalah. Pasalnya, beberapa kota/kabupaten yang dianggap peduli HAM ternyata sangat bertolak belakang dengan fakta di lapangan. Misalnya saja kasus-kasus diskriminasi yang masih terjadi di wilayah Jawa Timur, sementara ada 7 kabupaten/kota yang menerima penghargaan dari pemerintah sebagai kabupaten/kota peduli HAM di tahun 2014[5].

Dalam Konferensi Nasional Human Rights Cities yang digagas INFID dan didukung oleh ELSAM, pemerintah kabupaten Wonosobo, Save the Children, British Embassy dan ICCO pada 9 Desember lalu berhasil mengungkap inovasi yang baik serta kepemimpinan lokal yang cukup menonjol dari berbagai daerah. Sekitar 10 kepala daerah dari berbagai wilayah Indonesia mempresentasikan inovasi-inovasi yang telah dan sedang dijalankan oleh masing-masing kepala daerah tersebut. Kebanyakan kepala daerah itu mengungkapkan perubahan “wajah” kota/kabupaten di wilayah kekuasaannya, mulai dari pembangunan taman, saluran air, atau tempat wisata baru. Hal ini tentunya belum cukup untuk menyebut berbagai kota tersebut sebagai kota/kabupaten ramah HAM.

Kesempatan untuk mendorong kota/kabupaten menjadi ramah terhadap HAM menjadi sangat terbuka peluangnya setelah lahirnya Undang-undang Otonomi Daerah tahun 1999, sebagai awal mulanya era desentralisasi di Indonesia. Perimbangan kekuasaan pun perlahan-lahan beralih ke daerah-daerah (kota/kabupaten), mulai dari mengatur pemerintahan hingga pemilihan kepala daerah. Pembangunan di daerah tersebut, khususnya di kota, tentunya memunculkan perpindahan penduduk yang besar dari desa ke kota. Data WHO menunjukkan adanya perpindahan penduduk yang signifikan ke kota. Tahun 1990, warga dunia yang tinggal di perkotaan kurang dari 40%, sementara tahun 2010, kurang lebih 50% populasi di dunia hidup di perkotaan. WHO bahkan memprediksi pada tahun 2030, 6 dari 10 orang di dunia akan tinggal di kota[6]. Para ahli juga memperkirakan pada tahun 2050 tingkat urbanisasi di dunia mencapai 65%[7]. Sementara di Indonesia, data Bank Dunia menunjukkan hampir setengah dari 245 juta penduduk Indonesia tinggal di daerah perkotaan dan kebutuhan akan layanan pengelolaan air limbah yang aman bertumbuh dengan cepat[8].

Tingginya angka urbanisasi yang diprediksi oleh lembaga internasional dan para ahli tersebut disebabkan salah satunya karena model pembangunan yang diterapkan di sebagian besar negara-negara miskin. Model pembangunan tersebut ditandai dengan kecenderungan untuk melakukan konsentrasi pada pendapatan dan kekuasaan sehingga mengakibatkan terjadinya kemiskinan dan pengucilan, yang berkontribusi terhadap degradasi lingkungan, mempercepat proses migrasi dan urbanisasi, segregasi sosial dan spasial serta privatisasi kesejahteraan umum maupun ruang publik. Di Indonesia sendiri, jumlah penduduk miskin dan persentase penduduk miskin dari tahun 1970-2003 masih didominasi oleh pedesaan[9]. Tingginya kemiskinan di pedesaan inilah yang diduga menjadi penyebab utama perpindahan penduduk dari desa ke kota.

Namun ketika migrasi terjadi dari desa ke kota, hal ini belum tentu memperbaiki kondisi dan kualitas masyarakat yang bermigrasi. Hal ini dapat dilihat dari data BPS sebelumnya yang menunjukkan bahwa jumlah dan persentase penduduk miskin di perkotaan juga tidak berbeda jauh dengan di pedesaan. Menurut mahasiswa Ilmu Politik City University of New York dan Pemimpin Redaksi IndoprogressCoen Husain Pontoh, kemiskinan di perkotaan lebih disebabkan karena kapasitas ruang di perkotaan sangat terbatas untuk menampung jumlah penduduknya. Sementara model pembangunan yang diterapkan di perkotaan lebih untuk melayani kebutuhan segelintir penduduk menengah ke atas[10]. Sebagai contoh, hal ini dapat kita lihat dari menjamurnya pembangunan pusat perbelanjaan (mall) dan apartemen sebagai tempat tinggal untuk kelas menengah ke atas. Pada tahun 2013, di Jakarta sudah berdiri 173 unit mall yang memakan lahan seluas 3.920.618 meter persegi[11]. Sementara pertumbuhan apartemen pada tahun 2013 mencapai rekor tertinggi, yakni 117.276 unit apartemen baru. Pertumbuhan apartemen ini mencapai 20,2 persen lebih tinggi ketimbang 2011 yang mencapai 18,97 persen[12].

Meningkatnya kehadiran bangunan privat dibandingkan bangunan publik, menurut dosen Ilmu Politik Universitas Indonesia Irwansyah dimungkinkan oleh adanya serangkaian kebijakan dan relasi yang menyertai serta yang mengoptimalkan logika mekanisme pasar dalam praktek pengembangan dan pengelolaan ruang kota[13].

Konsekuensi dari banyaknya model pembangunan yang berorientasi privat tersebut adalah penggusuran terhadap warga miskin di perkotaan. Di Jakarta, misalnya, penggusuran terhadap warga miskin untuk pembangunan bangunan privat seperti mall dan apartemen kerap kali dilakukan[14]. Hal ini, menurut David Harvey, merupakan konsekuensi atas gerak internal kapitalisme yang harus selalu menguasai ruang sebagai sarana untuk ekstraksi nilai lebih[15]. Pada momen itulah, kapitalisme selalu akan berusaha untuk menghilangkan ruang-ruang yang tidak menguntungkan bagi dirinya.

Dalam wawancara bersama Coen Husain Pontoh[16], ia juga menyebutkan model pembangunan di perkotaan untuk melayani kelas menengah ke atas tersebut tidak nyambungdengan kebutuhan mayoritas penduduk kota yang miskin, sehingga lahir daerah-daerah kumuh, perumahan tak layak tinggal, sarana air bersih yang sangat terbatas, tingkat kriminalitas yang tinggi, pengangguran, pengemis, anak jalanan yang membludak, kesehatan yang buruk, pendidikan yang tidak berkualitas dan sebagainya.

Untuk mengubah wajah kota menjadi ramah HAM atau mementingkan kepentingan warga kotanya maka mutlak diperlukan keterlibatan warga kota. Selama ini warga kota disingkirkan keterlibatannya dari proses perencanaan dan pembangunan perkotaan. Tanpa pelibatan masyarakat yang luas, maka sebaik apapun pemerintahan kota yang terpilih, maka ia akan terjebak pada pola pembangunan kota sebelumnya, yang hanya melibatkan para teknokrat yang memiliki keahlian khusus. Walaupun beberapa kepala daerah hasil pemilihan kepala daerah dirasa cukup baik, namun keterlibatan warga kota untuk membangun kotanya mutlak diperlukan. Hal inilah yang Hak warga atas Kota.

Terminologi hak atas kota ini untuk pertama kalinya dikemukakan oleh sosiolog-cum filsuf Prancis Henri Lefebvre pada tahun 1968. Menurutnya hak terhadap kota merupakan sesuatu yang nyata, yang hadir dengan segala kerumitannya saat ini untuk kemudian mentransformasikan dan memperbaharui kota tersebut sesuai dengan konteks ekonomi politik kekinian[17]. Dengan pengertian ini, menurut Coen Husain Pontoh, warga miskin tidak hanya berhak untuk mengakses pendidikan dan kesehatan gratis, tetapi warga miskin yang menetap di kota juga aktif terlibat dalam proses perubahan itu.

Dalam konferensi nasional Human Rights Cities yang bertajuk “Membangun Kabupaten/Kota Ramah HAM di Indonesia,” pada 9 Desember lalu, hal senada juga diungkapkan oleh Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo. Menurutnya pelibatan masyarakat atau komunitas dalam merumuskan kebijakan di tingkat kota/kabupaten menjadi keharusan pada saat ini. Untuk itu, katanya, birokrat pemerintahan harus bisa melayani dan mudah disentuh oleh masyarakatnya, baik secara tatap muka maupun menggunakan teknologi informasi.

“Di waktu senggang, saya bermain twitter untuk mengontrol apa yang terjadi,” katanya dalam pembukaan konferensi nasional tersebut.

Marco Kusumawijaya dari Rujak Center for Urban Studies (RCUS) yang menjadi salah satu pembicara dalam sesi pleno di konferensi nasional tersebut menambahkan sebagai kota/kabupaten ramah HAM, kebijakan publik harus bisa diakses oleh masyarakat. “Kota mempunyai daya dukung yang dinamis, sehingga masyarakat harus terlibat,” ujarnya.

Selain partisipasi warga kota sebagai salah satu indikator kota/kabupaten ramah HAM, Shin Gyonggu dari Gwanju International Center juga mengungkapkan pentingnya pendidikan HAM juga bagi warga kota juga menjadi penting bagi pengembangan HAM di kota. Shin Gyonggu yang mempresentasikan kota Gwanju sebagai salah satu kota rujukan yang ramah HAM menjelaskan bahwa pembangunan memorialisasi dan pemenuhan hak atas pemulihan juga menjadi penting.

Pemaparan inovasi yang dilakukan kepala daerah yang diundang dalam konferensi nasional Human Rights Cities memang beragam. Namun yang menarik perhatian adalah inovasi yang dilakukan oleh Bupati Wonosobo dan Walikota Palu. Kedua kepala daerah ini bukan hanya memaparkan pembangunan yang dilakukan mereka di daerahnya masing-masing. Namun mereka juga memaparkan tindakan pemerintahan di kedua daerah tersebut dalam melakukan penghormatan, perlindungan dan pemenuhan HAM.

Pemerintahan Wonosobo, misalnya, menangani secara khusus serta melindungi kelompok Syiah dan Ahmadiyah di wilayahnya, dimana pemerintahan kabupaten/kota lainnya seakan membiarkan diskriminasi yang terjadi terhadap kedua kelompok tersebut. Sementara pemerintahan kota Palu, melalui Walikotanya meminta maaf kepada para korban peristiwa 1965 untuk merintis upaya rekonsiliasi antara korban dan pelaku peristiwa 1965 di wilayahnya. Selain meminta maaf, Walikota Palu juga menangani secara khusus kepada korban peristiwa 1965 dengan mengeluarkan kebijakan kesehatan gratis bagi korban peristiwa 1965. Hal ini tentunya lebih maju jika dibandingkan pemerintah pusat, yang hingga saat ini masih belum mengakui korban peristiwa 1965.

Apa yang dilakukan oleh kedua kepala daerah tersebut dapat kita sebut sebagai permulaan kota ramah HAM. Prinsip penghormatan, perlindungan dan pemenuhan HAM menjadi titik tolak dari apa yang dilakukan oleh kedua kepala daerah tersebut. Untuk itu, seharusnya pemerintah Indonesia, melalui Kementerian Hukum dan HAM, dapat mendorong penitikberatan penilaian untuk kota peduli HAM sesuai dengan prinsip-prinsip tersebut. Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, sejak tahun 2013 pemerintah memberikan penghargaan terhadap sejumlah kota/kabupaten yang peduli terhadap HAM. Namun sayangnya, kriteria dan indikator penilaian untuk kota/kabupaten peduli HAM masih belum mencakup prinsip-prinsip penghormatan, perlindungan dan pemenuhan HAM, sehingga masih banyak kritik dari masyarakat daerah tersebut, ketika suatu kota/kabupaten menerima penghargaan kota/kabupaten peduli HAM dari pemerintah. Untuk itu, revisi kriteria dan indikator pemerintah, khususnya Kementerian Hukum dan HAM, mengenai kota/kabupaten peduli HAM menjadi sangat penting untuk dilakukan agar sesuai dengan prinsip-prinsip HAM.

Charlotte Mathivet menjelaskan hak atas kota mencakup dimensi dan komponen-komponen sebagai berikut:[18] 1) hak terhadap habitat yang memfasilitasi sebuah jaringan kerja hubungan sosial; 2) hak terhadap kohesi sosial dan pembangunan kolektif dari kota; 3) hak untuk hidup secara bermartabat; 4) hak untuk bisa hidup berdampingan; 5) hak untuk mempengaruhi dan mendapatkan akses terhadap pemerintah kota; dan, 6) hak untuk diperlakukan secara sama.

Masih menurut Mathivet, hak atas kota atau kota/kabupaten ramah HAM tersebut dapat dicapai jika warga kotanya dijamin untuk melakukan hal-hal sebagai berikut: 1) melakukan aktivitas secara penuh sebagai warga negara; 2) mendapatkan perlakukan yang sama tanpa diskriminasi; 3) perlindungan khusus bagi kelompok-kelompok dan rakyat yang menghadapi situasi-situasi yang rentan; 4) adanya komitmen sosial dari sektor-sektor swasta; 5) adanya rangsangan bagi solidaritas ekonomi dan kebijakan pajak progresif; 6) manajemen dan perencanaan sosial atas kota; 7) produksi sosial di lingkungannya; 8) pembangunan perkotaan yang setara dan berkelanjutan; 9) hak atas informasi publik; 10) hak atas kebebasan dan integritas; 11) hak atas keadilan; 12) hak atas keamanan dan kedamaian publik, demi kehidupan bersama yang multikultur dan saling mendukung; 13) hak terhadap air, akses dan ketersediaan atas pelayanan publik dan domestik; 14) hak atas transportasi publik dan mobilitas perkotaan; 15) hak atas perumahan; 16) hak atas kerja; dan, 17) hak atas lingkungan yang bersih dan berkelanjutan.

Persoalan yang lain adalah banyak kepala daerah merasa telah memenuhi hak asasi warga kotanya ketika telah merubah “wajah” kota/kabupaten menjadi lebih indah. Hal ini terungkap dari presentasi yang dipaparkan oleh sejumlah kepala daerah yang diundang dalam konferensi nasional Human Rights Cities di Jakarta pada 9 Desember lalu. Jelas kriteria tersebut belum cukup untuk menyebut kota/kabupaten ramah HAM. Pertanyaan penting yang diajukan oleh dosen pasca sarjana Universitas Katolik Soegijapranata Semarang Budi Widianarko dalam sesi diskusi di konferensi nasional Human Rights Cities adalah apakah perubahan “wajah” kota/kabupaten dari kumuh menjadi indah tersebut dapat dinikmati oleh seluruh warga kota? Hal ini menjadi penting karena beberapa kepala daerah mengungkapkan bahwa mereka mengubah “wajah” kota/kabupaten dari wilayah yang kumuh menjadi tempat-tempat wisata. Apakah tempat wisata tersebut dapat diakses oleh seluruh warga kotanya, atau bahkan apakah ada warga kota yang dikorbankan dari perubahan “wajah” kota tersebut?

Hal ini juga dinyatakan oleh Wardah Hafidz dari Urban Poor Consortium (UPC) yang menegaskan bahwa salah satu prinsip kota ramah HAM adalah kota yang tidak ada penggusuran paksa. Menurutnya, pelibatan masyarakat menjadi penting dalam merumuskan tata kota. “Tata kota harus disusun dari bawah, dari tingkat RT/RW,” ujarnya.

Paradigma mengenai prinsip-prinsip HAM artinya juga harus dimiliki oleh seluruh kepala daerah untuk mewujudkan kota/kabupaten ramah HAM. Sederhananya, kota/kabupaten ramah HAM bukan hanya merubah “wajah” kota menjadi lebih indah melalui pembangunan infrastruktur, namun kepala daerah tersebut juga harus menghormati, melindungi dan memenuhi hak asasi warga kotanya. Peluang ini terbuka lebar bagi seluruh kepala daerah di Indonesia mengingat era desentralisasi telah dilaksanakan sejak tahun 1999. Melalui kebijakan desentralisasi tersebut, kekuasaan pemerintah daerah menjadi lebih luas, khususnya untuk menghormati, melindungi dan memenuhi hak asasi warga kotanya.

Perubahan paradigma dari kepala daerah mengenai prinsip-prinsip HAM dalam mengelola kota/kabupatennya tentunya tidak semudah membalikkan tangan. Untuk itu, dibutuhkan pendidikan mengenai HAM bagi kepala daerah, bahkan bisa diperluas bagi seluruh perangkat pemerintahan daerah yang berkepentingan, untuk memahami HAM agar dalam mengelola kota/kabupatennya dapat sesuai dengan prinsip-prinsip HAM. Dengan pendidikan HAM yang terus menerus dan berkelanjutan bagi perangkat pemerintahan daerah di Indonesia, maka mewujudkan kota/kabupaten yang ramah HAM bukanlah sesuatu yang mustahil.

Selain perubahan atau revisi kriteria penilaian dari Kementerian Hukum dan HAM mengenai kota/kabupaten peduli HAM dan perubahan paradigma dari kepala daerah mengenai kota/kabupaten yang ramah HAM, yang lebih penting adalah mengenai pelibatan masyarakat atau warga kota dalam merumuskan kebijakan kotanya. Beberapa pengalaman kota-kota di belahan dunia lain telah mempraktekkan pelibatan warga kota dalam merumuskan kebijakan kotanya, seperti Gwangju, Porto Alegre atau pembangunan Dewan Komunal di Venezuela. Di Gwangju, partisipasi warga kota yang dimulai di Gwangju pada tahun 2001, akhirnya dijadikan model pelibatan masyarakat di Korea Selatan pada tahun 2014. Sementara anggaran partisipatoris diterapkan di Porto Alegre, Brazil pada tahun 1989. Melalui sistem ini, warga kota berpartisipasi dalam menentukan alokasi anggaran kota untuk kebutuhan warga kota. Sedangkan platform Dewan Komunal di Venezuela, yang diperkenalkan oleh mantan presiden Hugo Chavez, menjadi salah satu tulang punggung berjalannya pemerintahan di sana.

Pengalaman-pengalaman beberapa kota di belahan dunia tersebut menarik jika menjadi pembelajaran bagi kepala daerah untuk mewujudkan kota/kabupaten ramah HAM. Pengalaman dan keberhasilan beberapa kota tersebut tentunya dapat dijadikan acuan bagi pemerintahan kota/kabupaten di Indonesia dalam mewujudkan kota/kabupaten ramah HAM. Bahkan, dari berbagai pengalaman kota-kota di dunia tersebut, maka bukan tidak mungkin kepala daerah dan perangkat pemerintahan daerahnya merumuskan sendiri kebijakan-kebijakan yang ramah HAM sesuai dengan kebutuhan warga kotanya dan geografis wilayahnya.

 


[1] “Menteri Hukum Berikan Penghargaan Kota/Kabupaten Peduli HAM 2014,” detik.com, 11 Desember 2014, http://news.detik.com/read/2014/12/11/002512/2773923/10/1/menteri-hukum-berikan-penghargaan-kota-kabupaten-peduli-ham-2014(diakses 24 Desember 2014)

[2] Dalam lampiran Permenkumham No 25 Tahun 2013 dijelaskan indikator penilaian terhadap hak hidup mencakup 1) angka kematian ibu; angka kematian bayi; dan, 3) tutupan vegetasi pada kawasan berfungsi lindung. Indikator untuk hak mengembangkan diri mencakup: 1) persentase anak usia 7-12 tahun yang belum memperoleh pendidikan tingkat SD; 2) persentase anak usia 13-15 tahun yang belum memperoleh pendidikan tingkat SMP; 3) persentase anak berkebutuhan khusus yang memperoleh pendidikan; dan, 4) persentase penyandang buta aksara. Indikator Hak atas Kesejahteraan mencakup: 1) penyediaan air bersih untuk kebutuhan penduduk; 2) persentase keluarga berpenghasilan rendah yang tidak memiliki rumah; 3) persentase rumah tidak layak huni; 4) persentase angka pengangguran; 5) persentase penurunan jumlah anak jalanan dari tahun sebelumnya ke tahun berjalan; 6) persentase balita kurang gizi; dan, 7) persentase keluarga yang belum memiliki akses terhadap jaringan listrik. Indikator hak atas Rasa Aman mencakup jumlah demonstrasi yang anarkis. Sedangkan indikator Hak Perempuan mencakup: 1) persentase keterwakilan perempuan dalam jabatan pemerintahan daerah; dan, 2) persentase kekerasan terhadap perempuan.

[3]“Pemerintah Siapkan RANHAM Periode 2010-2014,” hukumonline.com, 4 Februari 2010,http://www.hukumonline.com/berita/baca/lt4b6aa27ae0e2f/ranham(Diakses 24 Desember 2014)

[4] Lihat Task Force Pemantauan RANHAM, Evaluasi Pelaksanaan RANHAM 2004-2009 dan Rencana Ratifikasi Optional Protocol to the Convention against Torture (CAT) dalam RANHAM 2004-2009 dan Perencanaan RANHAM 2010-2014 (Jakarta, The Partnership for Governance Reform, Juni 2012),http://www.kemitraan.or.id/sites/default/files/20120809092409.Evaluasi%20Pelaksanaan%20RANHAM%202004-2009.pdf(Diakses 24 Desember 2014). Lihat juga Matriks Perpres Nomor 23 Tahun 2011 tentang RANHAM 2011-2014,http://www.ohchr.org/Documents/Issues/NHRA/NAPIndonesiaTahun2011_2014.pdf

[5] “Pemprov Dinilai Tak Serius Tangani Kasus HAM,” Koran Sindo, 11 Desember 2014,http://www.koran-sindo.com/read/935796/151/pemprov-dinilai-tak-serius-tangani-kasus-ham(Diakses 24 Desember 2014)

[6] INFID, Booklet Konferensi Nasional Human Rights Cities, 2014, hlm 6,http://infid.org/pdfdo/1418192699.pdf

[7] Lihat Piagam Dunia Hak Atas Kota

[8] INFID, Loc.Cit., hlm 7

[9] Lihat data BPS mengenai Jumlah penduduk miskin dan persentase penduduk miskin, 1970-2003. Penduduk miskin di pedesaan sekitar 14,42%, sementara penduduk miskin di perkotaan sekitar 8,52% di September 2013, http://www.bps.go.id/tab_sub/view.php?kat=1&tabel=1&daftar=1&id_subyek=23¬ab=7

[10] Coen Husain Pontoh, wawancara dengan Rusman Nurjaman, Harian Indoprogress, 18 Februari 2003, http://indoprogress.com/2013/02/coen-husain-pontoh-partisipasi-warga-kunci-pembangunan-kota/(Diakses 24 Desember 2014)

[11] “Data Pertumbuhan Mal di Kawasan Jakarta,” tempo.co,18 September 2013,http://www.tempo.co/read/news/2013/09/18/083514312/Data-Pertumbuhan-Mal-di-Kawasan-Jakarta(Diakses 24 Desember 2014)

[12]“Apartemen Makin Menjamur di Jakarta,” tempo.co,8 Januari 2013,http://www.tempo.co/read/news/2013/01/08/093452994/Apartemen-Makin-Menjamur-Di-Jakarta/(Diakses 24 Desember 2014)

[13] “Irwansyah: Wargalah Yang Sehari-hari Membentuk Kota,” wawancara dengan Fathimah Fildzah Izzati, Left Book Review, 17 Desember 2013,http://indoprogress.com/2013/12/irwansyah-wargalah-yang-sehari-hari-membentuk-kota/(Diakses 24 Desember 2014)

[14] “Hak atas Kota: Hak untuk Bermukim di Pusat Kota!” 13 Juni 2013,http://rujak.org/tag/penggusuran/(Diakses 24 Desember 2014)

[15] David Harvey, “Social Justice and The City” (New York: Routledge, 1973) seperti dikutip dalam Rio Apinino, “Penyingkiran Kaum Miskin Kota dan Hak Atas Kota,” Harian Indoprogress, 20 Agustus 2014, http://indoprogress.com/2014/08/penyingkiran-kaum-miskin-kota-dan-hak-atas-kota/(Diakses 24 Desember 2014)

[16] Coen Husain Pontoh, Loc Cit., 18 Februari 2013

[17] “Hak Atas Kota,” Harian Indoprogress, 25 Januari 2013,http://indoprogress.com/2013/01/hak-atas-kota-2/(Diakses 24 Desember 2014)

[18]City for All: Proposals and Experiences towards the RIght to the City, eds. Ana Sugranyes., Charlotte Mathivet (Santiago: Habitat International Coalition, 2010) seperti dikutip oleh Coen Husain Pontoh., Ibid

Posted in Nasional, PerspektifComments (0)

Catatan The Wahid Institute tentang potret kebebasan beragama dan berkeyakinan di Indonesia

“Hingga saat ini, ratusan warga Syiah dan Ahmadiyah masih menjadi pengungsi, setelah keyakinan mereka ditolak warga di kampung halaman mereka,” ujarnya istri politikus Gerindra Dhohir Farizi itu.

Lebih Mudah Dirikan Diskotek daripada Tempat Ibadah

Jawa Pos ¦ 30 Desember 2014, 05:07 WIB

GAMBAR: BANYAK PELANGGARAN: Yenny Wahid dalam keterangan pers di kantor The Wahid Institute, Jakarta, Senin (29/12). (M. Ali/Jawa Pos)

Laporan pelanggaran kebebasan beragama/berkeyakinan (KBB) masih mewarnai sejumlah wilayah di Indonesia. Data yang dirangkum The Wahid Institute menyebutkan, masih ditemukan intoleransi di 18 provinsi di Indonesia.

DIREKTUR The Wahid Institute Zannuba Arifah Chafsoh Wahid atau Yenny Wahid menyatakan, pihaknya merekam peristiwa-peristiwa yang terkait KBB selama 2014. Sebagian temuan merupakan kasus lama atau menahun yang tidak terselesaikan.

’’Kami tidak bisa menyimpulkan peristiwa-peristiwa pelanggaran KBB hanya terjadi di wilayah itu. Keterbatasan jaringan yang kami miliki mengakibatkan wilayah lain tidak terpantau dengan maksimal,’’ ujar Yenny dalam keterangan pers di kantor The Wahid Institute, Jakarta, Senin (29/12).

Sebanyak 18 wilayah yang menjadi cakupan Wahid Institute meliputi Jawa Barat, DKI Jakarta, Banten, Jawa Tengah, DI Jogjakarta, Jawa Timur, Maluku Utara, Bali, Sulawesi Tengah, Sulawesi Selatan, Kalimantan Tengah, Nanggroe Aceh Darussalam, Sumatera Barat, Sumatera Utara, Nusa Tenggara Barat, Nusa Tenggara Timur, Kepulauan Riau, dan Papua.

Total temuan pelanggaran KBB sepanjang 2014 adalah 158 kasus. Putri kedua mantan Presiden Abdurrahman Wahid itu menyebut, dari sisi pelaku, negara sebagai aktor pelanggaran KBB tercatat di 80 kasus. Di 78 kasus lainnya dilakukan aktor non-negara. Keterlibatan negara muncul karena pemerintah setempat atau aparat keamanan ikut mengambil keputusan saat pelaku intoleran melaporkan kelompok minoritas yang dinilai mengganggu lingkungannya.

’’Secara umum, angka pelanggaran KBB ini menurun. Pada 2013, The Wahid Institute mencatat 245 kasus. Namun, angka ini tidak menunjukkan adanya peningkatan tanggung jawab negara dalam menyelesaikan masalah mendasar dari KBB,’’ kata mantan Sekjen DP PKB tersebut.

Yenny menyatakan, turunnya angka pelanggaran KBB bisa disebabkan berbagai faktor. Pada 2014, terjadi momen pemilu legislatif dan pemilu presiden. Isu intoleransi tidak menjadi fokus utama pemberitaan media massa, di mana salah satu sumber riset The Wahid Institute berasal dari situ. ’’Hal ini mengakibatkan isu kebebasan beragama menjadi berkurang,’’ ujarnya.

Yenny mengungkapkan, kontribusi pemerintah sebagai aktor pelanggaran KBB terlihat dari masih banyaknya ratusan perundang-undangan yang diskriminatif dan bertentangan dengan konstitusi, serta belum adanya penegakan hukum yang fair dan adil. Sejumlah aktor non-negara yang menjadi pelaku pelanggaran KBB juga tidak diselesaikan sesuai hukum yang ada.

“Hingga saat ini, ratusan warga Syiah dan Ahmadiyah masih menjadi pengungsi, setelah keyakinan mereka ditolak warga di kampung halaman mereka,” ujarnya istri politikus Gerindra Dhohir Farizi itu.

Yenny menyatakan, selama era pemerintahan SBY, sudah ada sejumlah langkah yang dilakukan. Kini, di era pemerintahan Joko Widodo, Yenny mencatat betul ada visi misi dalam nawa cita yang ingin menghapus regulasi yang berpotensi melanggar HAM kelompok rentan. Pemerintahan Jokowi juga berjanji memberikan jaminan perlindungan dan kebebasan beragama dan berkeyakinan, serta melakukan langkah hukum terhadap pelaku kekerasan yang mengatasnamakan agama.

’’Janji tersebut harus betul-betul dibuktikan dalam bentuk tindakan nyata. Sejauh ini, belum ada kebijakan langsung atas keduanya,’’ kata alumnus Harvard’s Kennedy School of Government tersebut.

Wakil Ketua Komnas HAM Imdadun Rahmat di tempat yang sama menyatakan, fakta-fakta yang ditemukan The Wahid Institute terkonfirmasi oleh Komnas HAM. Imdadun menilai, pelanggaran KBB terjadi karena ada kecenderungan negara memihak kepada kelompok yang dominan, dibanding kelompok minoritas yang memiliki agama/kepercayaan yang spesifik. ’’Apa yang terjadi selama ini cenderung bukan menangkap pelaku kekerasan, tapi menangkap si korban,’’ kata Rahmat.

Menurut Rahmat, dari sisi non-negara, inisiatif kekerasan muncul dari kelompok dominan. Mereka melakukan kekerasan kepada korban, mendemo pemerintah daerah, kemudian terjadi lobi. ’’Actor state (pelaku negara, Red) kemudian tersandera, memaksa pemerintah melakukan penyegelan, pembubaran, seperti menjalankan order dari kelompok non pemerintah,’’ kata Rahmat.

Rahmat menilai, catatan tersebut harus menjadi evaluasi dan perbaikan bersama. Dia meminta kepada seluruh pihak untuk mengawasi perilaku elite politik dalam memperlakukan kelompok intoleran. Kelompok minoritas yang menjadi korban diharapkan bisa memperkuat dirinya. ’’Saya sedih melihat elite politik menggandeng kelompok intoleran. Yang terjadi kemudian adalah impunitas terhadap kelompok tertentu,’’ ujarnya.

Salah satu ironi pelanggaran KBB adalah sulitnya pendirian rumah ibadah di wilayah tertentu. Kasus GKI Yasmin di Bogor bisa menjadi contoh. Menurut Rahmat, hal itu merupakan sebuah ironi. ’’Kita hidup di negara Pancasila. Namun, mendirikan night club dan diskotek lebih mudah daripada pendirian rumah ibadah,’’ jelasnya.

Rahmat menambahkan, salah satu kesalahan negara saat ini adalah kewajiban sebuah negara untuk membela agama. Paradigma itu keliru. Sebab, negara seharusnya melindungi hak warga negaranya dalam hal kebebasan beragama dan memeluk keyakinan.

’’Kita perlu bahwa negara tidak menempatkan diri sebagai pembela agama. Negara tidak bisa secara langsung membatasi, bahkan melarang, terhadap sebuah keyakinan/agama,’’ tegasnya.(trimujokobayuaji/c17/tom)

Posted in Nasional, Persekusi, PerspektifComments (0)

Wahid Institute desak pemerintah perbaiki regulasi diskriminatif bagi minoritas

SELANJUTNYA Keputusan Bersama Menteri Agama, Jaksa Agung dan Menteri Dalam Negeri Tahun 2008 tentang peringatan dan perintah kepada penganut Jamaah Ahmadiyah; serta Peraturan bersama Menteri Nomor 9 dan Nomor 8 Tahun 2006 tentang pedoman pelaksanaan tugas kepala daerah dalam pemeliharaan kerukuman umat beragama, pemberdayaan forum kerukunan umat beragama dan pendirian rumah ibadat.

Berita Satu ¦ Senin, 29 Desember 2014 | 16:40

GAMBAR: Jemaat HKBP Filadelfia dan GKI Yasmin melakukan ibadah Natal di depan Istana Negara, Jakarta, Kamis (25/12).

Jakarta-Wahid Institute mendesak pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) untuk memperbaiki atau menghapus undang-undang yang bersifat diskriminatif.

Direktur Wahid Institute Yenny Wahid menengarai salah satu akar masalah kebebasan beragama dan berkeyakinan adalah masih berlakunya regulasi diskriminatif terhadap kaum minoritas.

“Kami berkesimpulan, ketegasan pemimpin memiliki korelasi langsung dengan sikap tolerasi di daerah. Ketika pemimpin memberikan rambu-rambu terhadap apa yang disebut intoleransi, maka masyarakat akan mematuhinya. Tapi kalau abai ini menjadikan tafsir intoleransi semena-mena, sehingga pemimpin menjadi faktor penting,” katanya kepada wartawan di Jakarta Pusat, Senin (29/12).

Pemimpin, dalam hal ini pemerintah dan DPR, kata Yenni, dapat diukur ketegasannya saat menjalankan fungsi pengawasan dan evaluasi pelaksanaan UU daerah yang terkait urusan beragama.

“Kami misalnya, mencatat dalam visi-misi yang disampaikan Presiden Joko Widodo (Jokowi) dan Wapres Jusuf Kalla, atau yang dikenal dengan Nawacita, mereka berjanji menghapus regulasi yang berpotensi melanggar hak asasi manusia (HAM) kelompok rentan,” ujarnya.

Di luar itu, Yenny menilai, pemerintah Jokowi-JK sudah menunjukkan langkah positif untuk menumbuhkan kebebasan beragama dan berkeyakinan di Indonesia, di antaranya rencana Menteri Agama Lukman Hakim Saefudin membentuk UU tentang kebebasan dan kerukunan umat beragama.

Yenny menyebutkan, ada beberapa UU yang masih memiliki substansi diskriminatif di antaranya UU Nomor 1 PNPS Tahun 1965 tentang pencegahan penyalahgunaan dan atau penodaan agama; UU Nomor 23 Tahun 2006 tentang administrasi kependudukan.

Selanjutnya Keputusan Bersama Menteri Agama, Jaksa Agung dan Menteri Dalam Negeri Tahun 2008 tentang peringatan dan perintah kepada penganut Jamaah Ahmadiyah; serta Peraturan bersama Menteri Nomor 9 dan Nomor 8 Tahun 2006 tentang pedoman pelaksanaan tugas kepala daerah dalam pemeliharaan kerukuman umat beragama, pemberdayaan forum kerukunan umat beragama dan pendirian rumah ibadat.

Penulis: Hizbul Ridho/WBP

Posted in Nasional, Persekusi, PerspektifComments (0)

Gus Dur sang pejuang toleransi

TAK heran jika Gus Dur melindungi kaum Ahmadiyah yang sering dikejar-kejar dan tak diberi ruang hidup dan berkembang oleh sekelompok masyarakat tertentu yang menginginkan apa yang mereka sebut sebagai ‘pemurnian agama’.

PortalKBR.com
Written by Antonius Eko Mon,29 December 2014 | 13:00

Serial tulisan terkait Gus Dur ini kami turunkan dalam rangka peringatan lima tahun meninggalnya tokoh toleransi Indonesia. Selain tulisan, kami juga menyajikan kutipan-kutipan menarik dari Gus Dur.

 

Abdurrahman Wahid (Gus Dur) dan toleransi adalah dua hal yang tak bisa dipisahkan. Salah tindakannya yang mendukung toleransi di negeri ini adalah membuat Konghucu menjadi sebuah agama yang resmi. Padahal, pada masa Orde Baru, agama yang satu ini dilarang.

Dia memberi ruang hidup yang lebih terhormat bagi kelompok minoritas keturunan Tionghoa untuk menjadi bagian dari bangsa Indonesia.

Tak ada lagi kebingungan di kalangan masyarakat Tionghoa di Indonesia mengenai pilihan antara mengambil pendekatan asimilasi atau integrasi seperti pada era Presiden Soekarno.

Berbagai aksara Tiongkok, yang pada era Presiden Soeharto amat ditabukan kecuali untuk surat kabar Indonesia beraksara Tiongkok, tidak mengalami penghitaman kembali oleh Kejaksaan Agung. Pertunjukan barongsai yang dulu dilarang, pada era Gus Dur juga diperbolehkan dan kelompok kesenian ini pun tumbuh bak jamur di musim hujan.

Agama Konghucu juga berkembang tanpa kekangan. Kebijakan untuk menghapus surat bukti kewarganegaraan Republik Indonesia (SBKRI) bagi orang Indonesia keturunan Tionghoa juga mulai dirintis sejak era Gus Dur.

Tak ada lagi perbedaan pribumi dan nonpribumi, bahkan Gus Dur mengaku, entah benar atau tidak, bahwa ada nenek moyangnya yang berasal dari Tiongkok.

Pada tanggal 10 Maret 2004, beberapa tokoh Tionghoa Semarang memberikan penghargaan KH Abdurrahman Wahid sebagai “Bapak Tionghoa”.

Melindungi minoritas

Gus Dur juga melindungi kelompok minoritas yang menganut agama atau kepercayaan di luar kelompok aliran utama agama-agama besar. Tak heran jika Gus Dur melindungi kaum Ahmadiyah yang sering dikejar-kejar dan tak diberi ruang hidup dan berkembang oleh sekelompok masyarakat tertentu yang menginginkan apa yang mereka sebut sebagai ‘pemurnian agama’.

Dalam banyak hal terkadang Gus Dur memilih bersebrangan dengan umat Islam yang lain. Misalnya ketika ada usulan untuk peraturan yang mewajibkan hukuman mati bagi orang Islam yang murtad, Gus Dur menentangnya. Ia beralasan, hal ini hanya akan mengotori nama Islam.

Dalam bukunya “Islamku, Islam Anda, Islam Kita” (2006), Gus Dur menjadikan pluralisme dan perbedaan sebagai kata kunci. Tulisannya ini berangkat dari perspektif korban, terutama minoritas agama, gender, keyakinan, etnis, warna kulit, posisi sosial.

Menurut Gus Dur ‘Tuhan tak perlu dibela, tapi manusia haruslah dibela’ dan salah satu konsekuensi dari pembelaannya itu adalah kritik dan terkadang harus mengecam jika sudah melewati ambang toleransi.

Gus Dur juga berani menentang sikap sejumlah ulama yang mengharamkan umat Islam memberikan ucapan selamat Natal.

Romo Antonius Benny Susetyo, Pastor dan Aktivis dalam buku berjudul: Damai Bersama Gus Dur, menulis begini: “Di tengah sakit yang mendera pada 25 Desember 2009, seperti biasanya Gus Dur masih menyempatkan diri menelepon untuk mengucapkan “Selamat Natal dan Tahun Baru”, sekaligus menyampaikan salam kepada Romo Kardinal dan teman-teman sejawat lainnya.”

Cerita Romo Benny itu cukup menggambarkan betapa Gus Dur masih teguh memegang prinsip toleransi antar umat beragama di negeri yang majemuk ini.

Satu hal yang juga kontroversial, Gus Dur bahkan menjadi anggota masyarakat epistemik agama Yahudi. Bagi Gus Dur, mereka yang menganut agama samawi keturunan Nabi Ibrahim adalah bersaudara. Ini sesuai dengan rukun iman dalam Islam yang mengakui kitab-kitab Allah dari Taurat, Zabur, Injil sampai Alquran.

Ini juga sesuai dengan makna surat Al-Kafirun, ”Bagimu agamamu, bagiku agamaku” tanpa harus menyebut mereka yang tak menganut Islam sebagai ‘kafir’.

Selain berani membela hak minoritas, Gus Dur juga merupakan pemimpin tertinggi Indonesia pertama yang menyatakan permintaan maaf kepada para keluarga PKI yang mati dan disiksa (antara 500.000 hingga 800.000 jiwa) dalam gerakan pembersihan PKI oleh pemerintahan Orde Baru.

Menjaga NKRI

Setelah jatuhnya rezim Soeharto, Indonesia mengalami ancaman disintegrasi kedaulatan Negara, konflik pun meletus di berbagai daerah. Menghadapi hal itu, Gus Dur melakukan pendekatan yang lunak terhadap daerah-daerah yang berkecamuk.

Gus Dur mengeluarkan kebijakan untuk mengganti nama Provinsi Irian Jaya menjadi Provinsi Papua pada tahun 2000 dan menyebut orang Irian sebagai orang Papua. Dia juga memberi bantuan dana bagi tokoh-tokoh masyarakat Papua untuk menggelar Kongres Nasional Rakyat Papua II pada Maret 2000. Kongres itu kemudian menetapkan berdirinya Presidium Dewan Papua yang dipimpin oleh dua tokoh Papua,Theys Hiyo Eluay asal Sentani dan Tom Beanal asal Pegunungan Tengah.

Tak cuma itu, Gus Dur bahkan memperbolehkan berkibarnya bendera Bintang Kejora sebagai simbol adat Papua bersama Sang Saka Merah Putih sebagai bendera negara. Bahkan lagu “Hai Tanahku Papua” pun boleh didendangkan setelah lagu kebangsaan Indonesia Raya.

Gus Dur menjadi pemimpin yang meletakan pondasi perdamaian Aceh. Pada masa pemerintahan Gus Dur lah terjadi pembicaraan damai antara Gerakan Aceh Merdeka (GAM). Meski sejumlah tokoh nasional mengecam pendekatannya dengan Aceh, Gus Dur tetap memilih pendekatan penyelesaian yang simpatik dengan mengajak tokoh GAM duduk satu meja untuk membicarakan Aceh secara damai.

Pada Maret tahun 2000, pemerintahan Gus Dur mulai melakukan negosiasi dengan GAM. Hasilnya, dua bulan kemudian pemerintah menandatangani kesepahaman dengan GAM.

Posted in Nasional, PerspektifComments (0)

Aparat negara saling lempar urusi pelanggaran kemerdekaan beragama

KASUS utama yang diangkat untuk memotret pengalaman ini adalah kasus Ahmadiyah, Gki Yasmin, HKBP Cikeuting dan HKBP Filadelfia, Syiah, Bahai, komunitas Islam lainnya yang kesulitan mendirikan mesjid.

Era Baru
Dibuat: 26 Desember 2014 Ditulis oleh Muhamad Asari

Jakarta – Sejatinya aparat negara sebagai pelaksana Negara yang merupakan state partics yang terikat, menjamin kebebasan beragama dan berkeyakinan bagi rakyat. Namun demikian, fakta yang terjadi di Indonesia antar aparat negara saling lempar tanggung jawab ketika pelenggaran kebebasan beragama terjadi.

“Pemerintah itu saling lempar misalnya masalah Gereja Yasmin,” kata Istri Presiden RI ke-4 almarhum Gus Dur, Shinta Nuriyah Wahid di Jakarta, Senin (22/12/2014).

Menurut dia selaku pelapor khusus Komnas Perempuan tentang pelanggaran kekerasan umat beragama, lempar tanggungjawab yang terjadi misalnya terhadap penghambatan pendirian Gereja GKI Taman Yasmin, Bogor, Jawa Barat.

Saat menemui para aparat di lapangan, lanjut dia, para aparat negara awalnya mendukung untuk pemberian kemerdekaan beragama bagi jamaah GKI Yasmin. Namun demikian, mereka justru saling lempar tanggungjawab dari aparat di bawah hingga ke jajaran tingkat atas.

Shinta Nuriyah mencontohkan lempar tanggungjawab yang terjadi adalah para pejabat mulai dari Bupati dan Gubernur saling melempar tanggungjawab ke pejabat di atas mereka hingga ke tingkat menteri. Semestinya selaku aparat negara, para pejabat seharusnya menjelaskan kepada masyarakat tentang persoalan yang terjadi.

“Jangan main lempar-lempar seperti itu, tidak mendidik rakyat,” tegasnya.

Menegaskan hasil pemantauan pelaporan khusus kekerasan terhadap umat beragama, Komnas Perempuan menyebutkan bahwa peranan pemerintah daerah yang disertai peranan kelompok intoleran berperan aktif menjalankan lembaga negara bersifat diskiminatif.

“Memainkan peran lembaga diskriminatif dengan lewat kebijakan yang diksriminatif,” ujar Komisioner Komnas Perempuan, Andy Yentriyani.

Tidak hanya soal kebijakan diskriminatif, tambah Andy, masih terjadi perkara mengkriminalkan di luar agama dari enam agama yang diakui oleh pemerintah. Bahkan fakta yang terjadi, masyarakat menolak mengakui penganut aliran kepercayaan dengan menolak pemakaman jenazah penganut.

Menurut Andy, warga negara yang dimaksud menjadi korban itu, justru terjebak dengan istilah diakui dan tidak diakui oleh Negara. Bahkan berpengaruh kepada catatan kartu penduduk hingga terhadap kaum penghayat. Petugas negara dinilai lebih memihak kepada kelompok intoleransi dengan mendengarkan pendapatan kelompok intoleransi.

Berdasarkan laporan yang dirilis pada hasil pemantauan Pelapor Khusus dan timnya di 40 kota/kabupaten di 12 provinsi se-Indonesia, sejak Juni 2012 sampai dengan Juni 2013. Hasil pemantauan menyebutkan bahwa kerentanan kaum perempuan semakin meningkat ketika ia menjadi bagian dari komunitas minoritas agama dalam situasi intoleransi.

Kasus utama yang diangkat untuk memotret pengalaman ini adalah kasus Ahmadiyah, Gki Yasmin, HKBP Cikeuting dan HKBP Filadelfia, Syiah, Bahai, komunitas Islam lainnya yang kesulitan mendirikan mesjid.

Posted in Nasional, Persekusi, PerspektifComments (0)

Page 2 of 512345

@WartaAhmadiyah

Tweets by @WartaAhmadiyah

http://www.youtube.com/user/AhmadiyahID

Kanal Youtube

 

Tautan Lain


alislam


 
alislam


 
alislam


 
alislam

Jadwal Sholat

shared on wplocker.com