W3vina.COM Free Wordpress Themes Joomla Templates Best Wordpress Themes Premium Wordpress Themes Top Best Wordpress Themes 2012

Tag Archive | "Susilo Bambang Yudhoyono"

Banyak janji Yudhoyono soal HAM ‘tidak terpenuhi’

LEMBAGA pegiat lain seperti Setara institute for Democracy and Peace menggaris bawahi kasus-kasus intoleransi beragama yang tidak juga diselesaikan. Dua di antaranya, menurut Setara, adalah kesulitan beribadah yang dialami oleh jemaat GKI Yasmin di Bogor dan penolakan terhadap pengikut Ahmadiyah [dan juga terhadap pengikut Syiah] di Sampang, Madura.

BBC Indonesia

PRESIDEN Susilo Bambang Yudhoyono hari Jumat (29/08) dijadwalkan akan menghadiri forum global United Nations Alliance of Civilizations di Bali.

SBY rencananya akan memberi sambutan mengenai isu global dan hak asasi manusia sesuai dengan tema forum tersebut “unity in diversity” atau persatuan dalam keberagaman, seperti yang diungkap staf khusus presiden bidang hubungan internasional Teuku Faizasyah.

Perserikatan Bangsa-Bangsa sebagai penyelenggara juga menganggap Indonesia sebagai negara besar, sangat beragam, damai dan cocok untuk menyelaraskan budaya timur dan barat serta Islam dan dunia agama lain, kata Michele Zaccheo, Direktur Pusat Informasi PBB di Indonesia.

Namun masalah hak asasi manusia justru dinilai memburuk selama masa pemerintahan Presiden Yudhoyono dan banyak janjinya terkait HAM tidak terpenuhi, jelas Andreas Harsono, peneliti Indonesia dari organisasi pegiat HAM Human Rights Watch.

“Ketika SBY mulai jadi presiden, dia kan berjanji menyelesaikan masalah-masalah HAM, hak asasi manusia. Yang terkenal kan janji dia soal Munir yah. Menyelesaikan masalah Munir itu kata dia, the test of our history, ujian kita oleh sejarah. Dia juga janji akan membereskan yang lain, ’65, orang hilang dan seterusnya. Ternyata itu semua tidak dia penuhi,” kata Andreas.

Lembaga pegiat lain seperti Setara institute for Democracy and Peace menggaris bawahi kasus-kasus intoleransi beragama yang tidak juga diselesaikan.

Dua diantaranya, menurut Setara, adalah kesulitan beribadah yang dialami oleh jemaat GKI Yasmin di Bogor dan penolakan terhadap pengikut Ahmadiyah [dan juga terhadap pengikut Syiah] di Sampang Madura.

Menanggapi pendapat tersebut, staf khusus presiden bidang hubungan internasional Teuku Faizasyah mengatakan situasi di Indonesia masih lebih baik dibandingkan dengan negara-negara lain.

“Karena justru, kalau kita bandingkan apa yang terjadi di dunia saat sekarang apa yang dilihat sebagai kasus-kasus intoleransi itu, tidak bisa dibandingkan dengan apa yang terjadi di Timur Tengah di kawasan lainnya di dunia. Bahkan apa yang terjadi juga belum lama ini di Amerika Serikat kan cerminan kasus-kasus intoleransi,” kata Teuku Faizasyah.

Harapan pada pemerintah baru

Di lain pihak, tidak banyak yang bisa dilakukan oleh pemerintahan Yudhoyono yang tinggal tujuh pekan lagi. Karenanya Bonar Tigor Naipospos, dari Setara Institute berharap pemerintah yang akan datang dapat memberi solusi terhadap kasus-kasus intoleransi beragama.

“Enam bulan pertama, dia (Jokowi) dapat mengambil langkah konkret misalnya, satu menyelesaikan persoalan GKI Yasmin. Kedua misalnya, mengembalikan fungsi masjid Al Misbah di Bekasi yang disegel oleh pemerintah kota. Kemudian memulangkan pengungsi Syiah yang sekarang ini ada di Sidoarjo ke Sampang,” ujar Bonar.

Bonar juga berharap pemerintah yang akan datang dapat menghapus regulasi dan peraturan pemerintah yang bersifat diskriminatif terhadap kelompok tertentu.

Forum global United Nations Alliance of Civilizations akan berlangsung hingga Sabtu (30/08) dan juga akan dihadiri oleh sekretaris jenderal PBB Ban Ki Moon.

Posted in Nasional, Persekusi, PerspektifComments (0)

KontraS rilis catatan pelanggaran HAM era Presiden SBY

“Misalnya, kasus Ahmadiyah dan pelarangan beribadah terhadap kaum minoritas lainnya. Tapi SBY mendiamkan organisasi lainnya yang melakukan kekerasan,” kata Chrisbiantoro di kantor KontraS, Jakarta Pusat, Minggu (24/08/2014).

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA – Ketua Biro Penelitian Hukum dan HAM Kontras Chrisbiantoro menuturkan banyak pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) yang dilakukan semasa dua periode Pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY).

Dalam catatan KontraS, Pemerintahan SBY kerap bertindak diskriminatif terhadap kelompok minoritas yang terjadi di beberapa tempat. Hal tersebut terlihat bagaimana sikap pemerintah mentolerir kelompok lain yang melakukan kekerasan.

“Misalnya, kasus Ahmadiyah dan pelarangan beribadah terhadap kaum minoritas lainnya. Tapi SBY mendiamkan organisasi lainnya yang melakukan kekerasan,” kata Chrisbiantoro di kantor KontraS, Jakarta Pusat, Minggu (24/08/2014).

Menurutnya, SBY tidak melakukan ketegasan normatif dalam beberapa hal seperti su pelanggaran HAM di Papua. Hal ini terganjal karena ketegasan pelaksanaan hukum terkait distribusi lahan berbeda dengan aturan hukum yang disetujuinya.

“Ketegasan pun sangat diskriminatif, parsial dan tanpa kontrol, tetapi tidak bisa melakukan perlindungan terhadap kaum minoritas,” terangnya.

Selain itu, sambung Chrisbiantoro, tidak ada upaya rekonsialisasi pada kondisi korban dan masyarakat terkait kejahatan HAM. Reformasi peradilan terhadap aktor keamanan tidak berjalan dengan baik.

Hal ini tampak dengan beberapa pelaku utama yang melenggang bebas seperti Prabowo Subianto, Hendropriyono dan pelaku kekerasan lainnya yang seakan kebal hukum. “Ini bukti bahwa pemerintahan SBY tidak melakukan penegakan HAM dengan baik,” katanya.

Penulis: Arif Wicaksono
Editor: Y. Gustaman

_
Berita lain yang ada hubungannya dengan HAM: EraBaru.net.

Posted in Nasional, Persekusi, PerspektifComments (0)

KontraS: Perlindungan dan pemenuhan Hak Asasi Manusia di era SBY buruk

HARIS mengatakan, banyak permasalahan kasus HAM yang tidak dapat diselesaikan pada era SBY. Di antaranya adalah kasus kekerasan terhadap kelompok minoritas yang marak terjadi, misalnya kasus Ahmadiyah dan kasus pelanggaran HAM yang dialami pemeluk Syah di Sampang, Madura.

JAKARTA, KOMPAS.com – Komisi untuk Orang Hilang dan Tindak Kekerasan (KontraS), menyatakan bahwa perlindungan dan pemenuhan Hak Asasi Manusia (HAM) di era pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono berlangsung buruk.

SBY dianggap tidak berhasil menyelesaikan permasalahan HAM selama dua periode pemerintahan. “10 tahun bersama SBY saya pikir kita hadapi kondisi HAM indonesia yang buruk,” ujar Koordinator KontraS, Haris Azhar, di Kantor KontraS, Jalan Borobudur no. 14, Menteng Jakarta Pusat, Minggu (24/8/2014).

Haris mengatakan, banyak permasalahan kasus HAM yang tidak dapat diselesaikan pada era SBY. Di antaranya adalah kasus kekerasan terhadap kelompok minoritas yang marak terjadi, misalnya kasus Ahmadiyah dan kasus pelanggaran HAM yang dialami pemeluk Syah di Sampang, Madura.

SBY dinilai melakukan tindakan pasif terhadap orang yang melanggar HAM terhadap kelompok minoritas di Indonesia.

“Diskriminasi terhadap kelompok minoritas berjalan cukup konsisten. Jika dilihat dari sisi pelaku, SBY patut dianggap tolerah terhadap organisasi yang tidak beradab yang melakukan kekerasan dan kebencian terhadap kelompok minoritas,” ujar Haris.

Selain pelanggaran HAM terhadap kelompok minoritas, SBY juga dianggap tidak dapat menangani dengan baik terjadinya pelanggaran HAM di Papua. Dalam catatan KontraS, selama periode SBY, tercatat telah terjadi 264 peristiwa kekerasan dengan jumlah korban tewas mencapai 54 orang, termasuk warga sipil, dan Anggota TNI/Polri.

Dalam upaya menyelesaikan kasus HAM di Papua, lanjut Haris, SBY hanya menjawab dengan pidato kenegaraan pada tahun 2010 di Gedung DPR RI, tanpa diketahui tindak lanjutnya.

KontraS juga menyoroti proses hukum kasus pelanggaran HAM berat masa lalu pada era pemerintahan SBY. Menurut Azhar, SBY seolah-olah menganggap persoalan HAM di masa lalu sudah selesai, dengan mengalihkan proses penyelesaian kasus HAM berat tersebut dari hukum ke jalur politik.

SBY, kata dia, telah memerintahkan Menkopolhukam membentuk tim kecil penyelesaian pelanggaran HAM berat. Namun, hingga kini hasil kerja tim kecil tidak jelas tindak lanjutnya.

“SBY dalam beberapa kesempatan mengatakan bahwa di masanya tidak terjadi pelanggaran HAM yang berat. Mengingkari adanya fakta-fakta pelanggaran HAM yang meluas secara perlahan dalam masa pemerintahannya.,” ucap Haris.

Penulis: Fathur Rochman. Editor: Desy Afrianti.
_
Serupa di tempat lain: Waspada Online.

Posted in Nasional, Persekusi, PerspektifComments (0)

President Yudhoyono’s blind side: Religious violence in Indonesia

THE targets? The many Christian congregations, Shiites and the Ahmadiyah. These groups have become targets of Sunni militant groups who label most non-Muslims as “infidels,” and Muslims who do not adhere to Sunni orthodoxy as “blasphemers.” Even Indonesia’s atheists live in fear of such groups.

Jakarta Globe

Outgoing President Susilo Bambang Yudhoyono broke his long silence on violent religious extremism the other day, describing it in an Aug. 21 interview as “shocking” and “becoming out of control.”

To the dismay of the many Indonesians who have fallen victim to the country’s rising tide of religious intolerance, Yudhoyono’s concerns were not for plight of the country’s besieged religious minorities, but rather a response to the actions of the Islamic State in Iraq and Syria. That group’s well-documented brutality and indications that Indonesians are joining its ranks is certainly cause for worry.

But Yudhoyono’s comments betray a troubling lack of concern about the acts of harassment, intimidation and violence suffered by Indonesia’s own religious minorities from Islamist militants during his decade as president. Instead, Yudhoyono downplayed such incidents in Indonesia by claiming it is “understandable that sometimes there will be conflict between different groups.”

That is more than gross understatement. Indeed, it could summarize the Yudhoyono government’s sorry record in adequately confronting religious intolerance and related violence during his administration. During the last decade, there have been numerous incidents of harassment, threats and violence against religious minorities. Indonesia’s Setara Institute, which monitors religious freedom in Indonesia, documented 220 cases of violent attacks on religious minorities in 2013, an increase from 91 such cases in 2007.

The targets? The many Christian congregations, Shiites and the Ahmadiyah. These groups have become targets of Sunni militant groups who label most non-Muslims as “infidels,” and Muslims who do not adhere to Sunni orthodoxy as “blasphemers.” Even Indonesia’s atheists live in fear of such groups.

The increasing violence against religious minorities — and the government’s failure to take decisive steps against it — does more than put the lie to Yudhoyono’s sunny assessment of Indonesia as a country in which “We respect all religions.” The government’s inaction violates guarantees of religious freedom in the Indonesian constitution and Indonesia’s obligations under the International Covenant on Civil and Political Rights, which Indonesia ratified in 2005.

Indonesia’s Shiite minority has had particular reason to worry in recent weeks. In April, the Anti-Shiite Alliance, a gathering of militant Sunni organizations, attracted thousands to hear speeches advocating “jihad” against the country’s Shiite minority. Among the participants were members of one of the country’s most violent Islamist organizations, the Islamic Defenders Front (FPI). The FPI that day opted for a uniform of black ski masks and camouflage jackets stenciled with the term “Heresy Hunters” to leave no question about their intentions.

But while Yudhoyono frets publicly about the far-away threat of the Islamic State, he and his government have allowed the FPI and kindred groups to carry out violence against religious minorities with near impunity. A June 2008 FPI attack on representatives of the interfaith National Alliance for Freedom of Faith and Religion at the base of the National Monument (Monas) in Jakarta injured dozens. More recently, the FPI forced the closure of an Ahmadiyah mosque in West Java in October 2013 after threatening to burn it down. Rather than confront the FPI, Yudhoyono and his government have chosen to coddle it. On Aug. 22, 2013, Indonesia’s then-religious affairs minister, Suryadharma Ali, opted to make the keynote speech at the FPI’s annual congress in Jakarta at which he praised the group as a “national asset.”

But Yudhoyno’s failure to protect religious freedom goes far beyond his acceptance of the depredations of Islamist thugs. On multiple occasions in recent years, police and government officials have been passively or actively complicit in incidents of harassment, intimidation or violence against religious minorities.

On Feb. 6, 2011, police stood by while a group of some 1,500 Islamist militants attacked 21 members of Cikeusik’s Ahmadiyah community who were holding a prayer meeting in a private home. The militants bludgeoned to death three Ahmadiyah men and seriously injured five others. A court sentenced 12 of the perpetrators to token prison sentences of three to six months. Adding insult to injury, the court also sentenced an Ahmadiyah man to a six-month prison term for merely attempting to defend himself. Police have yet to publicly release the results of their internal investigation into the attack.

Moreover, Indonesian government officials and security forces have often facilitated harassment and intimidation of religious minorities by militant Islamist groups. That includes making explicitly discriminatory statements, refusing to issue building permits for religious minorities’ houses of worship, and pressuring congregations to relocate. Such actions are in part made possible by discriminatory laws and regulations, including a blasphemy law that officially recognizes only six religions, and house of worship decrees that give local majority populations significant leverage over religious minority communities.

Indonesian government institutions have also played a role in the violation of the rights and freedoms of the country’s religious minorities. They include the Ministry of Religious Affairs and the Coordinating Board for Monitoring Mystical Beliefs in Society (Bakor Pakem) under the Attorney General’s Office. Also, the semi-official Indonesian Ulema Council (MUI) has eroded religious freedom by issuing decrees and fatwas (religious rulings) against members of religious minorities and pressing for the prosecution of “blasphemers.”

Yudhoyono will step down as Indonesia’s president in late October, leaving a toxic legacy of rising religious intolerance and related violence.

A key challenge of his successor, Joko Widodo, or Jokowi, will be to take immediate steps to recognize and reverse the malign impact of Yudhoyono’s decade of failure in protecting religious freedom. Prioritizing protection for the country’s religious minorities and a zero-tolerance policy for abuses by Islamist militants will be a vital step toward that goal.

_
Phelim Kine is a former Jakarta-based foreign correspondent and the deputy director of the Asia division at Human Rights Watch.

Posted in Nasional, Persekusi, PerspektifComments (0)

Voting against Indonesia’s religious intolerance

INDONESIAN Christians aren’t the only targets of discrimination by local government officials. On June 26, regency officials in Ciamis, West Java, sealed an Ahmadiyah mosque on the basis that Ahmadis are “heretics” and “blasphemous”. Syaiful Uyun, an Ahmadiyah imam, told Human Rights Watch that local governments in West Java have ordered the closure of at least 37 other Ahmadiyah mosques over the past six years.

PICTURE caption: “An Ahmadiyah mosque in Ciamis in West Java. The mosque management took down their name board after a West Java govertment bans Ahmadiyah activities in 2011. Ciamis is located in southeastern West Java. Totally there are 37 Ahmadiyah mosques in trouble in the area because of violence and government discrimination.” –Andreas Harsono; Facebook.com

_
Human Right Watch

Author: Andreas Harsono
Published in: MalaysiaKini

PROTESTANT church congregations in Singkil regency in Indonesia’s Aceh province in northern Sumatra are in the market for new video hardware.

But they did not source wide-screen televisions to view 2014 World Cup matches or the candidate debates for Indonesia’s July 9 presidential election.

Instead, the 10 churches wanted closed circuit television cameras (CCTV) to defend against possible arson attacks by violent Islamist militants.

Those church congregations have reason to be afraid during this election season. Pastor Erde Berutu, the minister of one of the Singkil congregations seeking CCTV cameras, told Human Rights Watch that memories of an arson attack on a Protestant church in Aceh’s Gunung Meriah area after the April 2012 local elections made the camera purchases an urgent priority.

Unknown attackers broke into the church in the early hours, doused the church pulpit, pews and walls with gasoline and then set them alight.

Berutu worries that the aftermath of the looming July 22 announcement of the results of the country’s presidential election between Jakarta Governor Joko Widodo and retired General Prabowo Subianto might foster tensions that could lead to similar violence.

For Malaysians more familiar with Indonesia’s national slogan of ‘unity in diversity’ accounts of fearful church congregations bracing for arson attacks by Islamist militants might come as a surprise.

Intolerance eating way at harmony

But behind the Indonesian government’s rhetoric of “religious harmony” in the world’s most populous Muslim nation, there has been steady erosion in Indonesia’s tradition of religious tolerance in recent years.

The result? Indonesia’s religious minorities are increasingly under threat by Islamist militants and a government that refuses to defend their constitutional guarantees of religious freedom.

Across Indonesia, Muslim minorities, including Ahmadiyah, Shia and Sufi, as well as Catholic and Protestant groups, are targets of harassment, intimidation, threats and, increasingly, acts of mob violence.

The perpetrators are Sunni Islamist militant groups such as the Islamic Defenders Front (FPI).

They mobilise gangs that swarm minority houses of worship. The groups’ leaders justify such thuggery as attacks against “infidels” and “blasphemers”.

Indonesia’s Setara Institute, which monitors religious freedom in Indonesia, documented 220 cases of violent attacks on religious minorities in 2013, an increase from 91 such cases in 2007.

Escalation in reported cases of religious violence against minorities in Indonesia:

YEAR CASES
2007 91
2008 257
2009 181
2010 216
2011 242
2012 264
2013 220

Source: Setara Institute

Recent incidents expose the human toll behind such statistics. On May 29, about a dozen robed Islamist militants attacked a Catholic prayer service at a private home in the ancient Javanese city of Yogyakarta.

The attackers inflicted serious injuries, including broken bones, on the home owner, three of his neighbours and a journalist.

Attacks on religious minorities can also come from government officials. On May 15, municipal government officials informed the congregation of the Pentecost Church in Rancaekek, near Bandung, West Java, that their church building would be immediately and forcibly renovated into a private residence.

Pentecost Church pastor Bennhard Maukar told Human Rights Watch that the pending destruction of the church building comes three years after the local government sealed the church as an “illegal” structure.

Indonesia’s 2006 national Decree on Houses of Worship gives local governments the power to approve the construction of houses of worship but it is not clear whether the government has the authority to demolish existing structures it disapproves of.

The decree routinely results in discriminatory construction prohibitions against religious minorities. In Aceh, it is even used to prevent Christian congregations from painting or undertaking renovations of their houses of worship.

Indonesian Christians aren’t the only targets of discrimination by local government officials. On June 26, regency officials in Ciamis, West Java, sealed an Ahmadiyah mosque on the basis that Ahmadis are “heretics” and “blasphemous”. Syaiful Uyun, an Ahmadiyah imam, told Human Rights Watch that local governments in West Java have ordered the closure of at least 37 other Ahmadiyah mosques over the past six years.

The government of President Susilo Bambang Yudhoyono, who leaves office in October after 10 years in power, has been part of the problem.

Feeding the fire of discord

Officials and security forces frequently facilitate harassment of religious minorities, in some cases even blaming the victims for the attacks.

Authorities have made blatantly discriminatory statements, refused to issue building permits for houses of worship, and pressured minority congregations to relocate.

Police have sided with Islamist militants at the expense of the rights of minorities, ostensibly to avoid violence.

In some cases, police colluded with the attackers for religious, economic or political reasons.

In other instances, they lacked clear instructions from above or felt outnumbered by militants.

In all cases though, the poor police response reflects institutional failure to uphold the law and hold perpetrators of violent crimes to account.

The Religious Affairs Ministry, the Coordinating Board for Monitoring Mystical Beliefs in Society under the Attorney-General’s Office, and the semi-official Indonesian Ulama Council have all issued decrees and fatwas against members of religious minorities and pressed for the prosecution of “blasphemers.”

Advice to new president

Such behaviour contravenes the International Covenant on Civil and Political Rights, which Indonesia became a party to in 2005.

The winner of Indonesia’s presidential election on July 9 should make a decisive break with the Yudhoyono government’s failure to support and protect the rights of religious minorities.

The new presiden, whether Joko (left) or Prabowo, can, and should, revoke laws facilitating religious discrimination, as well as ensure the prosecution of all those implicated in criminal threats or violence against religious minorities. To prove he’s serious, he needs to adopt a “zero tolerance” approach to religious vigilantism.

Indonesia’s partners in the Association of South-East Asian Nations (Asean) can play an important role in protecting Indonesia’s religious minorities.

They can start by making it clear to the winner of the presidential election that a key element of healthy bilateral relations between Indonesia and Asean countries is respect for the rights of religious minorities.

Asean governments should be unequivocal that official tolerance for Islamist militant thugs is an impediment to building a stronger Asean community.

Failure to do so will only ensure that more of Indonesia religious minorities will live in fear of arson attacks – or worse – upon their houses of worship.

_
Andreas Harsono is the Jakarta-based Indonesia researcher for Human Rights Watch

Posted in Nasional, PersekusiComments (0)

No Peace for Minority Groups During Ramadan

JAI cleric Uyun says he has high hopes for this year’s presidential election, predicted to be won by reform-minded and moderate candidate Joko Widodo. “I really hope our next president will uphold the Pancasila [national ideology], the Constitution, Bhineka Tunggal Ika [national motto of ‘Unity in Diversity’],” he says. “If we uphold Pancasila, there will be no more closures of mosques and other houses of worship.

TheJakartaGlobe.com

EVERY night during Ramadan, Enok Juhanah, 63, performs the tarawih, a special prayer only performed during the Islamic holy month, and every night she chooses to do it at her mosque, the Nur Khilafat, in the district of Ciamis, West Java.

Some two dozen men, women and children have gathered for the same purpose this night, sitting at one side of the small mosque’s terrace, unable to enter the building because it was sealed off by the local government on June 26, just two days before the start of Ramadan.

Unable to perform their prayers inside, the courtyard became the venue of this month’s tarawih for the mosque’s congregation. Although Muslims can and do pray at home, many like Enok choose to pray at the terrace in an act of defiance — sometimes at their own risk.

It was raining cats and dogs on this particular night when the tarawih was performed, the wind blowing bitterly cold; Enok was shivering uncontrollably.

“I feel so sad. This is a house of prayer. Why did [the government] shut it down?” she says after the prayer.

Enok is a member of the Ahmadiyah, a minority Muslim group that has been accused of blasphemy by Sunni Muslims and subjected to countless acts of violence, intimidation and discrimination.

No time for peace

For many Muslims, the holy month of Ramadan is meant to be a time of peace, a chance to sideline earthly worries and focus on the spiritual; but this is hardly the case for Indonesia’s Muslim minority groups like the Ahmadiyah.

“We were banned from performing our prayers inside [the mosque], but the ban doesn’t say anything about the terrace,” says Dadan Andriana, a spokesman for the Ciamis chapter of the Indonesian Ahmadiyah Congregation (JAI).

Dadan says despite the loophole, there is still the risk that hard-line groups, which have long deemed it halal, or permissible in God’s eyes, to shed the blood of Ahmadis, may feel provoked and decide to attack the congregation.

“That is our biggest fear. When we pray, we don’t feel at peace at a time like this,” Dadan says, adding that each night two or three Ahmadiyah men stand guard during the prayers.

A congregation of the minority group praying on the terrace of their sealed-off mosque in Ciamis. (JG Photo/Yuli Krisna)

A congregation of the minority group praying on the terrace of their sealed-off mosque in Ciamis. (JG Photo/Yuli Krisna)

The Ahmadiyah congregation in Ciamis is not alone, says Syaiful Uyun, a senior cleric for the group in West Java. He notes that ever since a gubernatorial decree banning the Ahmadiyah was issued in 2011, acts of violence toward the congregation have escalated.

“In Tasikmalaya, an Ahmadiyah mosque was taken over. In Tolenjeng [another mosque] was burned and destroyed. In Sukapura, they also burned and ransacked [a mosque], and in Banjar they sealed [off a mosque],” he says.

For the Ahmadiyah congregation in Tasikmalaya’s Singaparna subdistrict, performing the tarawih as a group is no longer an option. “Every time we hold a communal prayer like the Friday prayer or Koranic recitals, we are always attacked by a group of people,” says Nanang Ahmad Hidayat, the head of the JAI’s Singaparna chapter.

The local Ahmadiyah mosque was last attacked in June 2007 and since then largely abandoned, with JAI leaders instructing the 500-strong congregation in Singaparna to pray in the safety of their homes. Even the mosque’s Islamic school had to be moved to another village.

For the last seven years, the mosque has only hosted groups of five to 10 people praying at a single time, Nanang says, while the rest perform the tarawih at home or at mushalla, prayer houses.

Rising intolerance

According to the religious freedom advocacy group The Setara Institute, cases of religious intolerance have been on the rise since President Susilo Bambang Yudhoyono took office in 2004. In 2012, the group recorded 371 cases of religious violence, intimidation and discrimination, up from 299 cases in 2011.

The Wahid Institute, another religious freedom advocacy group, recorded a similar increase, from 184 cases of religious violence in 2010 to 274 in 2012.

According to the National Commission on Human Rights (Komnas HAM), there were 20 cases of houses of worship being closed or attacked in 2012, and 17 cases where religious gatherings were attacked or disrupted.

JAI Ciamis spokesman Dadan says his congregation will not buckle without a fight. Since its mosque was sealed off last month, the congregation has repeatedly requested a meeting with Ciamis district head Iing Syam Arifin, but to no avail.

Dadan says the closure has no legal basis. The JAI also questions why the decision was done by “Muspida Plus,” which means a party other than the Muspida (Regional Leadership Board, comprising representatives of the local government, military, police, community and religious groups) was involved.

“We suspect that the Muspida Plus refers to the FPI,” he says, referring to the Islamic Defenders Front, a hard-line group notorious for its attacks on religious minorities such as the Ahmadiyah and the Shiites.

The JAI has also called on Komnas HAM and the Indonesian Ombudsman to weigh in on the closure and demand an explanation from the district chief.

In Wanasigra subdistrict, Tasikmalaya, the local Ahmadiyah congregation feels it is safe enough to hold regular communal tarawih prayers at its mosque. Each night during Ramadan, the Al Fadhal mosque is packed with Ahmadis listening to the pre-prayer sermon and staying on to perform the tarawih.

All 700 people in the village are Ahmadis, the congregation says, providing some security. But worries still linger.

On May 5 last year, the village was attacked by a mob of 150 machete-wielding men, who damaged 24 homes as well as the village’s main mosque.

“What I can’t understand is why the 100 heavily armed, heavily equipped police officers [deployed before the attack] did little to stop these people,” says Syamsul Ma’arif, who was in charge of the village’s security at the time.

For Khairunnisa, a resident, last year’s attack only reaffirmed her faith and emboldened her to pray at the mosque.

“I just leave everything to God. If we are afraid and we don’t go to the mosque, it is our loss,” she says.

Undeterred

Just as unperturbed by threats and the growing hatred toward his community is Hesti Rahardja, a Shiite and chairman of West Java chapter of the Indonesian Ahlul Bait Congregation (Ijabi).

He says the Shiites in Bandung continue to carry out religious activities this Ramadan, including breaking the fast with orphans and the poor, or holding religious discussions, despite several hard-line groups in Bandung forming an Anti-Shia Alliance just two months before Ramadan.

The alliance “doesn’t bother us at all. Usually the more someone is threatened, the better his prayers are,” Hesti says with a smile. “We are fine with people hating us… We respect their right to express themselves. As long as it doesn’t break the law we can’t complain.”

Shiites having a prayer discussion in Bandung, West Java. (JG Photo/Yuli Krisna)

Shiites having a prayer discussion in Bandung, West Java. (JG Photo/Yuli Krisna)

But Hesti is concerned that the formation of the alliance has set a bad precedent for the country. “In the end there will be hatred. Maybe now it is Ijabi, but one day others may be targeted as well. That’s something we don’t want,” he says.

Last November several Shiite groups in Bandung, Surabaya, Makassar, Yogyakarta and Jakarta were harassed as they tried to celebrate Assyura, the Shiite Day of the Martyrs. In Bandung several hard-liners blocked the entrance to a building where the Assyura was scheduled to take place, forcing the local congregation to find another venue.

Hopes for next president

JAI cleric Uyun says he has high hopes for this year’s presidential election, predicted to be won by reform-minded and moderate candidate Joko Widodo.

“I really hope our next president will uphold the Pancasila [national ideology], the Constitution, Bhineka Tunggal Ika [national motto of ‘Unity in Diversity’],” he says. “If we uphold Pancasila, there will be no more closures of mosques and other houses of worship.

“The government should only facilitate, not interfere with people’s beliefs. Deeming someone blasphemous or righteous should be left up to God.”

JAI Ciamis spokesman Dadan says the next president must resolve past cases of rights abuses and religious violence.

“Whoever is elected… human rights violations, specifically against religious freedom, must be resolved clearly. There should be no more people being threatened and intimidated because of their faith. No more houses of worship or mosques closed down,” he says.

_
By Yuli Krisna on 12:25 p.m., Jul 20, 2014
Category Featured, News, Religion
Tags: Ahmadiyah, minority religions

Posted in Nasional, PersekusiComments (0)

Dukung Petisi Pembukaan Masjid Ahmadiyah Ciamis Ini!

KBR, Jakarta\ – Solidaritas Korban Tindak Pelanggaran Kebebasan Beragama dan Berkepercayaan membuat mendesak Presiden Susilo Bambang Yudhoyono membuka Masjid Ahmadiyah Ciamis, Jawa Barat yang disegel. Untuk mengugatkan desakan itu mereka membuaut Petisi.

Petisi dibuat di situs Change.org oleh Koordinator Sobat KBB, Pendeta Palti Panjaitan. Petisi itu nantinya akan dikirim ke Bupati Ciamis, Iing Syam Arifin. Mereka minya Iing membuka kembali masjid dan menjaga hak-hak warganya untuk beribadah.

Penutupan Masjid Ahmadiyah di Ciamis dilakukan pada Kamis, (26/6) oleh Satpol PP Ciamis. Hal tersebut dilakukan tanpa ada pemberitahuan sebelumnya kepada Jemaah Ahmadiyah.

Berikut isi lengkap petisi tersebut:

Memasuki bulan Ramadhan, senin ( 23/6) kelompok FPI melakukan pawai, menemui Bupati Ciamis dan menuntut Ahmadiyah dilarang di Ciamis.

Kata Bupati, “Secara pribadi, bukan jabatan, saya menolak mengenai masalah Ahmadiyah. Secara jabatan ada aturan yang menghalangi itu dan jelas Bupati mengamankan aturan yang lebih atas. Hanya mengenai masalah Ahmadiyah ada beberapa langkah yang tadi kita sepakati dengan Kang Wawan, Insya Allah. Insya Allah kalau hari ini belum ada langkah konkrit, mungkin kita akan bicarakan. Karena menyangkut daripada aktivitas itu adalah ada aturan proses hukum yang harus ditempuh.”

Tiga hari kemudian Satpol PP datang ke Masjid warga Ahmadiyah, menutup masjid yang sudah berdiri sejak tahun 1960-an, lebih lama daripada lahirnya kelompok massa itu. Kepala Satpol PP menyatakan menutup masjid atas dasar Musyawarah Pimpinan Daerah (Muspida) PLUS. Belom tahu plus apa itu.

Kakek Nenek kita berjuang sampai mati untuk merdeka dari penjajahan, agar kita hidup aman dan damai. Kenapa sekarang Bupati bisa mencabut hak kita? Kalau memang tidak setuju atas sebuah masalah atau warga tertentu, ada kok cara beradab yaitu peradilan dan Undang-Undang, jangan main kuasa sepihak.

Saya tahu rasanya saat tempat yang kita pakai beribadah ditutup. Tak cuma sulit ibadah, tapi bingung menjelaskan ke anak saya kenapa sekarang selalu ibadah di rumah, jarang bersama-sama lagi. Gereja yang saya pimpin di Bekasi sudah dapat ijin Mahkamah Agung, sah dan tidak terbantahkan. Tapi tetap saja ditutup paksa. Kalau saya beribadah di halaman gereja, tiba-tiba ada kelompok penganggu yang teriak-teriak sampai lempar telor busuk.

Tidak cuma gereja, kawan saya dari Kupang juga sulit mendirikan Masjid di tengah kota mayoritas warga Kristen. Di tempat lain ada penganut Hindu, Budha, aliran kepercayaan bernasib sama. Bahkan kawan saya Muslim Syiah di Sampang diusir dari kampung mereka oleh muslim lain.

Jadi ini bukan masalah satu kelompok saja, kejadian-kejadian ini bisa terjadi pada siapapun di tempat-tempat yang berbeda. Sebenarnya tugas Negara lewat Polisi dan Kepala Daerah untuk menjaga dan menfasilitasi agar kita semua bisa beribadah dengan damai dan aman.

Sekarang saya minta dukungan kawan-kawan semua minta Bupati Ciamis agar membuka kembali Masjid Ahmadiyah dan menjaga hak-hak setiap warganya untuk beribadah.

Salam Bhinneka!

Pdt. Palti Panjaitan
Koordinator Sobat KBB (Solidaritas Korban Tindak Pelanggaran Kebebasan Beragama dan Berkepercayaan)

Mohon untuk mendukung petisi ini dengan mengirimkan ke:

  • Presiden RI. H. Soesilo Bambang Yudhoyono
  • Menteri Dalam Negeri RI
  • Kapolri
  • Kapolda Jawa Barat
  • Gubernur Jawa Barat
  • Bupati Ciamis

 

Ingin mendukung petisi ini? Silakkan masuk ke laman ini: CHANGE.org.

_
Editor: Pebriansyah Ariefana

Posted in NasionalComments (0)

Lukman Hakim Saifuddin: Saya bukan menyelamatkan Suryadharma

Majalah Detik 23-29 juni 2014
Rachman Haryanto/detikcom

DI sisa waktu yang sempit, ia bertekad membenahi manajemen haji. Lebih luwes berbicara soal pluralitas dan toleransi antarumat beragama.

::halaman 32

SEJAK awal terbentuknya Kabinet Indonesia Bersatu, Lukman Hakim Saifuddin mengaku ditawari menjadi menteri. Tapi justru baru di masa bakti yang tersisa empat bulan ini ia bersedia dilantik menjadi Menteri Agama. Lukman menggantikan koleganya di Partai Persatuan Pembangunan, Suryadharma Ali, yang mengundurkan diri karena ditetapkan sebagai tersangka kasus korupsi. Jabatan Menteri Agama menjadi istimewa bagi pria kelahiran Jakarta, 25 November 1962, ini. Sebab, ayahnya, K.H. Saifuddin Zuhri, menempati pos yang sama pada 1962-1967.

“Saya kayak mimpi saja ketika tiba-tiba harus menjadi Menteri Agama. Saya merasa ada panggilan tersendiri,” kata Lukman kepada majalah detik di kantor Kementerian Agama, 18 Juni lalu.

Lukman memaparkan beberapa persoalan yang dibahasnya bersama Komisi Pemberantasan Korupsi soal perbaikan manajemen penyelenggaraan haji. Wawasan alumnus Pondok Pesantren Modern Gontor ini soal isu pluralitas dan toleransi antarumat beragama juga terasa lebih luwes.

Dia, misalnya, tak serta-merta menyalahkan kehadiran kaum Ahmadiyah. Apalagi hendak memaksa mereka kembali bersyahadat seperti banyak didengungkan sebelumnya.

Seperti apa persisnya pandangan Lukman soal perbaikan manajemen haji dan toleransi? Simak petikan perbincangannya berikut ini.

Sehari setelah dilantik, Anda mendatangi Komisi Pemberantasan Korupsi. Ada apa?

Penyelenggaraan haji ini menjadi fokus kami dalam empat bulan ke depan, sehingga saya sangat berkepentingan mendatangi KPK untuk

::halaman 33

MENAG w SBYmengetahui apa saja hasil-hasil pemantauan lembaga itu, sekaligus apa saja rekomendasi-rekomendasinya. Pada saat yang sama, saya juga menyampaikan hasil temuan dan masukan-masukan dari kalangan internal kepada KPK. Ada sejumlah masalah yang perlu mendapatkan kesamaan cara pandang, sehingga tidak akan menimbulkan masalah di kemudian hari.

Apa persoalan krusial dalam penyelenggaraan haji yang berpotensi menimbulkan masalah hukum?

Misalnya soal sisa kuota (jemaah) pemberangkatan. Ini selalu menjadi masalah karena, faktanya, sisa kuota itu sesuatu yang tidak bisa dihindarkan. Hal itu bisa terjadi karena ada jemaah haji yang telah ditetapkan untuk berangkat pada tahun tertentu, namun, karena satu dan lain hal, berhalangan. Misalnya meninggal, sakit, atau salah satu pasangannya, istri atau suami, tak bisa berangkat secara bersamaan pada saat itu, sehingga mereka membatalkan diri. Akhirnya terjadilah kekosongan.

Lantas, siapa yang mengisi kekosongan itu? Ya, tentu, sesuai dengan sistem urut kacang,
mereka yang berada pada urutan teratas dalam daftar tunggu. Masalahnya, ternyata tidak
semua orang yang masuk dalam urutan atas itu semua siap. Ada berbagai alasan, karena

::halaman 34

"...Penyelenggaraan ibadah haji tahun ini menjadi pertaruhan bagi kami, apakah bisa memenuhi harapan masyarakat..."

“…Penyelenggaraan ibadah haji tahun
ini menjadi pertaruhan bagi kami, apakah
bisa memenuhi harapan masyarakat…”

kesiapan mental, dana, kesehatan, dan sebagainya. Akhirnya, terjadilah sisa kuota.

Ini yang kemudian dinilai menjadi potensi penyimpangan?

Ya. Karena keterbatasan waktu dan berdasarkan peng­alaman menteri-menteri terdahulu, itu digunakan untuk memenuhi permintaan berbagai kalangan. Mulai instansi pemerintah, lembaga negara, ormas keagamaan, tokoh-tokoh masyarakat, termasuk dari teman-teman kalangan pers. Semua
merasa perlu diprioritaskan. La, apa enggak bikin pusing itu? Karena asas manfaat, mengingat sewa pemondokan, transportasi, dan lainnya sudah dibayar, maka digunakan untuk itu. Tapi mereka bayar ongkos sendiri, bukan dari dana haji. Cuma tidak ikut antre saja. Inilah yang dinilai tidak adil.

Secara legal-formal, pemanfaatan sisa kuota itu diizinkan?

Dalam hal ini tidak ada aturan yang tegas. Dalam ketentuan, harus dikembalikan pada daerah yang mendapat kuota tersebut untuk

::halaman 35

digunakan secara maksimal dengan diberikan kepada urutan berikutnya, berdasarkan urut kacang. Hanya, dalam kenyataannya, pemanfaatan itu tidak bisa dilakukan secara maksimal karena berbagai alasan tadi. Itulah antara lain yang saya konsultasikan kepada KPK, sehingga, ke depan, kalau di kemudian hari ada masalah, saya tidak dipermasalahkan.

Menurut Anda sendiri, sebaiknya bagaimana?

Ya, kalau saya mau mencari safe, demi keselamatan saya, ya sisa kuota berapa pun adanya itu dikembalikan saja. Tetapi, yang saya minta, jangan sampai nanti (oleh KPK) saya justru dianggap
inefisiensi. Tidak bisa menyerap secara maksimal, padahal tempat pemondokan, transportasi, dan
konsumsi di Mekah dan Madinah itu sudah disewa, dibayar. La, kalau kemudian tidak terisi, itu
kan inefisiensi. Masalah lagi, kan?

Sehari setelah dilantik menjadi Menteri Agama, Lukman menyambangi gedung KPK, 10 Juni. (Lamhot Aritonang/detik.com)

Sehari setelah dilantik menjadi Menteri Agama, Lukman menyambangi gedung KPK, 10 Juni. (Lamhot Aritonang/detik.com)

Sehari setelah dilantik menjadi Menteri Agama, Lukman menyambangi gedung KPK, 10 Juni. (lamhot aritonang/detikcom)

Jadi, pemanfaatan sisa kuota itu memang tidak ada landasan hukumnya?

Tidak ada aturan yang secara eksplisit memperbolehkan seperti itu. Tapi ini merupakan kebijakan yang ditempuh oleh peme-

::halaman 36

MENAG hotel ahmed alhamid jeddahrintah, yang di kemudian hari dipermasalahkan KPK.

Apa solusi alternatif yang dihasilkan bersama KPK?

Belum ada solusi yang benar-benar mujarab.

Soal sewa pemondokan, transportasi, dan konsumsi tak bisa direnegosiasi bila ada sisa kuota?

Persoalannya, masalah ini kan bukan G to G, tetapi dengan pihak pemilik atau broker-broker. Tetapi broker itu kan berlisensi, kredibel. Dan yang menjadi masalah kan dalam sewa itu satu paket. Misalnya kita sewa satu kompleks pemondokan yang isinya 25 bangunan. Nah, ketika yang kita butuhkan ternyata hanya 20 bangunan, yang 5 bangunan itu juga harus dibayar. Tidak bisa tidak. Ini yang kemudian dinilai merugikan negara.

Ini yang sedang kami cari persamaan persepsi (dengan KPK). Karena, di lapangan, kenyataannya, tentu ada deviasi-deviasi, tinggal berapa besar deviasi itu bisa ditoleransi. Bukan berarti kita membenarkan penyelewengan atau penyalahgunaan wewenang… bukan, bukan itu.

Selain teknis penyelenggaraan haji yang berpotensi diselewengkan, bagaimana soal pengelolaan dana?

Kami saat ini tengah mendorong lahirnya undang-undang yang memungkinkan

::halaman 37

berdirinya lembaga independen semacam BLU (Badan Layanan Umum), yang khusus mengelola dana haji. Mereka yang duduk di dalam lembaga itu tidak harus pegawai negeri sipil atau dari lingkungan kementerian ini saja. Mereka bisa berasal dari luar atau bahkan kalangan swasta. Syaratnya ber-
integritas, berkualitas, dan profesional. Jadi, Direktorat Jenderal Penyelenggaraan Haji
tak lagi mengelola dana. Kami juga minta agar ada verifikasi yang intensif terhadap kondisi pemondokan di Mekah. Jangan sampai ada yang berusia tua. Begitu juga sarana transportasi, seperti bus dan katering.

Beberapa kalangan menduga kedatangan Anda ke KPK sebagai bagian dari upaya menyelamatkan SDA?

Ha-ha-ha…, sama sekali tidak benar. Bagaimana mau menyelamatkan Pak SDA? Kita hormati saja proses hukum. KPK tidak bisa diintervensi, apalagi yang mengintervensi saya.

Anda merasa ada distorsi kepercayaan masyarakat terhadap kementerian ini?

::halaman 38

Presiden Susilo Bambang Yudhoyono memberi ucapan selamat kepada Lukman Hakim Saifuddin, yang dilantik menjadi Menteri Agama di Istana Negara, Jakarta, Senin (9/6). (abror rizki/rumnggapres)

Presiden Susilo Bambang Yudhoyono memberi ucapan selamat kepada Lukman
Hakim Saifuddin, yang dilantik menjadi Menteri Agama di Istana Negara, Jakarta,
Senin (9/6). (abror rizki/rumnggapres)

Oh, iya, iya, saya menyadari betul hal itu. Beberapa kasus yang terjadi belakangan memang menjadikan tingkat kepercayaan publik terhadap Kementerian Agama berada pada titik yang cukup rendah. Bahkan mungkin terendah dalam sejarah kementerian ini. Karena itulah menjadi tanggung jawab saya untuk mengembalikan kepercayaan itu. Karena itu, penyelenggaraan ibadah haji tahun ini menjadi pertaruhan bagi kami, apakah bisa memenuhi harapan masyarakat atau, kalau tidak bisa, masyarakat bisa mengerti apa duduk masalahnya.

Pekerjaan besar Anda yang lain adalah isu pluralitas terkait keyakinan. Bagaimana Anda melihat?

Ini persoalan klasik yang sudah ada sejak berabad-abad lalu. Jangan pernah punya pretensi, persoalan seperti itu akan hilang atau berhenti. Mengapa? Karena ini persoalan keyakinan yang ada dalam diri masing-masing orang. Sedangkan keyakinan atau agama itu mempunyai misi dakwah, menyebarluaskan ajaran. Karena itu, gesekan-gesekan pun akan terjadi. Saya mengajak semua agama, terutama

::halaman 39

Menteri Agama Lukman Hakim Saifuddin (tengah) bersama Wakil Ketua KPK Busyro Muqoddas (kedua dari kanan) dan Bambang Widjojanto (kedua dari kiri) memaparkan hasil pertemuan, Selasa (10/5). (Yudhi Mahatma/ANTARA FOTO)

Menteri Agama Lukman Hakim Saifuddin (tengah) bersama Wakil Ketua KPK Busyro Muqoddas (kedua dari kanan) dan Bambang Widjojanto (kedua dari kiri) memaparkan hasil pertemuan, Selasa (10/5). (Yudhi Mahatma/ANTARA FOTO)

tokoh-tokoh agama, untuk menyebarkan agamanya sesuai dengan esensi dari agamanya. Tujuan agama itu kan memanusiakan manusia, perdamaian, keselamatan. Seharusnya itu yang dikedepankan.

Jadi, soal toleransi?

Iya, toleransi itu kan kemampuan untuk mengerti dan memahami orang lain. Jangan bicara toleransi bila ternyata tidak memahami atau mengerti apa kebutuhan dan keberadaan orang lain. Jangan bicara toleransi kalau hanya banyak menuntut orang lain mengerti dan memahami dirinya. Seharusnya juga proaktif, dirinyalah yang proaktif mengerti dan memahami orang lain yang berbeda dengan dirinya. Terlebih, faktanya, Indonesia itu majemuk, plural.

Beberapa waktu lalu ada pernyataan

::halaman 40

Jangan bicara toleransi bila ternyata tidak memahami atau mengerti apa kebutuhan dan keberadaan orang lain. (Andika Wahyu/ANTARA FOTO)

Jangan bicara toleransi bila ternyata tidak memahami atau mengerti apa kebutuhan dan keberadaan orang lain. (Andika Wahyu/ANTARA FOTO)

agar Ahmadiyah tidak memakai embel-embel Islam hingga mereka bersyahadat kembali. Menurut Anda?

Begini, dalam hal itu, prosesnya, yang mainstream atau yang arus besar harus memiliki kesediaan untuk mengayomi yang belum besar. Sebab, mereka itulah yang perlu dirangkul dan diajak untuk mengedepankan titik-titik persamaannya. Tetapi kita juga harus memiliki kesadaran bahwa sesungguhnya perbedaan itu sunatullah, sesuatu yang given. Memang dari sananya Tuhan itu menciptakan perbedaan-perbedaan itu. Jadi, kesadaran seperti itu yang harus dibangun.

Artinya, eksistensi aliran dan keyakinan yang berbeda, seperti Ahmadiyah dan Syiah, juga diakui?

Ya, saya pikir harus ada kesadaran memahami itu, karena yang dituntut dari kita adalah mengajak (memahami keyakinan kita). Soal hasilnya, itu bukan urusan kita lagi, tapi urusan pribadi masing-masing dengan Yang Ada di Sana (Tuhan).■

ARIF ARIANTO

MENAG RINama: Lukman Hakim Saifuddin
Tempat/Tanggal Lahir: Jakarta,25 November 1962
Istri: Trisna Willy
Anak: Naufal Zilal Kemal, Zahira Humaira, Sabilla Salsabilla

Pendidikan:

  • Pondok Pesantren Modern Gontor, Ponorogo, Jawa Timur, 1983
  • Sarjana (S-1) Universitas Islam As-Syafi’iyah Jakarta, 1990

Organisasi:

  • Wakil Sekretaris Pimpinan Pusat Lembaga Kemaslahatan Keluarga NU, 1985-1988
  • Sekretaris Lajnah Kajian dan Pengembangan Sumber Daya Manusia NU, 1988-1999
  • Wakil Ketua Umum PPP, 2009 sampai sekarang

Karier:

  • Wakil Ketua MPR RI Periode 2009-2014
  • Anggota DPR RI Periode 2004-2009
  • Anggota DPR RI Periode 1999-2004
  • Anggota DPR RI Periode 1997-1999
  • Project Manager Helen Keller International, Jakarta, 1995-1997

Karya:
Buku Riwayat Hidup dan Perjuangan PROF. K.H. SAIFUDDIN ZUHRI Ulama Pejuang Kemerdekaan, 2013. Disusun bersama Ali Zawawi, Zubairi Hasan, dan Sahlul Fuad.

Posted in Nasional, RabthahComments (0)

Ini janji capres untuk tuntaskan intoleransi

JAWABAN.com

SEPANJANG kepemimpinan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, beragam kasus intoleransi sudah kerap terjadi. Sebut saja pelanggaran kebebasan berkumpul kelompok minoritas seperti Kristen, Ahmadiyah, Syiah dan Bahai.

Untungnya, persoalan ini mendapat perhatian dari pasangan Capres dan Cawapres Prabowo-Hatta dan Jokowi-Jusuf Kalla (JK). Dalam kesempatan kampanyenya, keduanya berjanji memfokuskan diri dalam penuntaskan beragam kasus intoleransi yang marak dihadapi kaum minoritas. Berikut janji masing-masing pasangan capres-cawapres bila dipercayakan memimpin Indonesia nanti.

Prabowo-Hatta – Siap tuntaskan kasus GKI Yasmin

Melalui Wakil Ketua Dewan Pembina Partai Gerindra Hashim Djojohadikusumo, mengatakan bahwa Prabowo telah berjanji akan menuntaskan kasus GKI Yasmin yang hingga kini masih menggantung. Ia mengaku Prabowo adalah pribadi yang menjunjung tinggi pluralisme dan Pancasila. Ia bahkantelah membuktikan tindakan itu dengan mengusung Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) yang notabene berlatar belakang double minority (beragama Kristen dan etnis Tionghoa) menjadi Wakil Gubernur DKI Jakarta. Selain itu, dirinya juga turut andil dalam penyelamatan TKI Wilfrida yang notabene beragama Katolik.

“Bahwa sesungguhnya kakak saya (Prabowo) menghargai agama dan warga negara lain. Prabowo dari dulu komit tentang agama. Dari dulu yang minta Ahok memimpin Jakarta adalah Prabowo, saya menentang, tapi pak Prabowo ngotot, dan saya sangat khawatir dengan kasus intoleransi yang marak terjadi”.

“Prabowo sudah janji sama saya dan kawan-kawan, Gereja Yasmin akan diselesaikan. Sudah tiga tahun lalu, sudah lama. Saya pun sedih sekali,” kata Hashim seperti dilansir Merdeka.com, Selasa (17/6) lalu.

Selain itu, hal senada juga disampaikan Prabowo dalam kampanyenya di kota Manado pada Selasa, 17 Juni 2014 kemarin. Sebagai mantan prajurit, dirinya mengaku menghargai keberagaman suku, agama dan ras di Indonesia dan bukan anti agama tertentu.

Jokowi-JK – Siap lindungi kaum minoritas

Kubu pasangan Jokowi-JK menyampaikan komitmennya untuk menghapuskan kolom agama di Kartu Tanda Penduduk (KTP) bila terpilih nanti. Pengamat Politik Universitas Indonesia, Boni Hargens menilai, langkah ini akan menjadi terobosan baru yang belum pernah dilakukan pemimpin-pemimpin sebelumnya. Sehingga Jokowi dapat menunjukkan bahwa dirinya adalah tokoh yang menghargai pluralisme di Indonesia.

Usulan penghapusan kolom agama ini ditegaskan oleh anggota tim pemenangan Capres dan Cawapres Jokowi-JK, Musdah Mulia. Penghapusan ini dinilai efektif untuk menghindari konflik antar agama di Indonesia.

Idealnya, sudah menjadi tanggung jawab seorang pemimpin untuk menuntaskan segala bentuk persoalan yang terjadi di tengah-tengah bangsa. Bila pemerintahan sebelumnya tampaknya vakum dan abai dengan persoalan intoleransi di bangsa ini, maka Presiden baru nantinya diharap dapat membawa angin segar bagi kebebasan beragama di tanah air.

Posted in UncategorizedComments (0)

Belief in One God

NEW MANDALA — EARLIER this month, municipal government officials once again sealed the entrance to an Ahmadiyah mosque in Bekasi, on the outskirts of Jakarta.

The mosque had previously been closed in February 2013, and had been at the center of the debate about the role of Ahmadiyah worshippers in Indonesia. Read the full story

Posted in NasionalComments (0)

Page 2 of 41234

@WartaAhmadiyah

Tweets by @WartaAhmadiyah

http://www.youtube.com/user/AhmadiyahID

Kanal Youtube

 

Tautan Lain


alislam


 
alislam


 
alislam


 
alislam

Jadwal Sholat

shared on wplocker.com